Oleh Muhammad Nasir
Mau tahu rasanya menjadi perantau miskin, cobalah seperti Lano. Sehari itu ia meronggoh saja di tepi bandar. Memancing! Seratus cacing mungkin sudah ia sematkan di mata kail. Tetapi tak satupun ikan yang dapat. Sejauh ini Lano tak hendak meninggalkan bandar, karena setiap kail terumban ke dasar bandar, setiap itu pula mata kail itu dikutil ikan. Sayang tak ada yang menyangkut.
Entah mengapa nasib Lano seperti pemancing. Sudah seribu cara ia coba, tetapi tak satupun membuat kaya. Jangankan kaya, berkecukupan saja jarang. Setiap usaha selalu saja menjanjikan laba. Tetapi begitu harapan meninggi kenyataan membuatnya rugi. Persis seperti pemancing yang sial.
“Hari ini tak ada kerja,” lapor Lano pada bininya.
Lani, bini yang baik itu maklum saja. Apalah daya seorang Lano di kota yang tak tahu berkerabat. Berbeda ketika tiga tahun yang lalu di sebuah dusun kecil di kaki gunung merapi. Tak nasi ubi disungkah. Tanahnya yang subur memberi harapan dari hari ke hari. Betul-betul surga dunia.
Merantau adalah pilihan mereka berdua, orang-orang kecil yang tak punya sejarah di kampungnya. Satu-satunya yang patut disebut orang di kampungnya adalah anak kuminih, anak-anak keturunan PKI. Jika itu pantas disebut sejarah, alangkah malang. Sebab, Hitler tidak dinamakan tokoh sejarah karena meninggalkan ribuan mayat dan puing-puing.
Kakek mereka berdua memang anggota PKI. Dengan alasan sederhana membalas dendam kepada Angku Gadur nama kecil penghulu suku Pitopang yang tega merampas ladang kulit manis yang diteruka oleh nenek moyang mereka dari dulu-dulu. Tetapi apalah daya seorang simpatisan kecil PKI yang kerjanya ke sawah menanam padi.
Tangan-tangan kakek mereka memang tak berlumur darah. Tetapi kakek mereka ikut serta membakar rumah gadang suku Pitopang yang sudah kosong. Tidak disangka api yang berkobar-kobar ikut menghanguskan seorang perempuan pikun, yang entah kapan dan bagaimana tiba di rumah itu. Julukan kuminih kejam semakin lekat pada kakek-kakek mereka. Ditambah kewajiban lapor ke koramil di masa Orde Baru.
Tinggal di kampung tidak masalah. Tetapi selalu menjadi orang-orang tak bersejarah memang melelahkan. Puncak keinginan meninggalkan kampung halaman terjadi sehari setelah helat pernikahan. Hujan berkepanjangan membuat orang-orang enggan datang ke perhelatan. Lano dan Lani kecewa. Betapa tidak, dalam waktu yang tak jauh beda, seminggu sebelumnya keturunan Angku Gadur juga berhelat, orang kampung datang selaksa embun. Pasti dan berkerumun. “Sudahlah, tak ada yang dapat dipandang dari kita,” begitu kata mamak rumah mereka.
“Pergilah memancing, sejerat dua ikan cukuplah untuk hari ini. Beras segantang kemarin masih bersisa setekong,” saran Lani.
Begitulah sejarahnya Lano sampai ke tepi bandar. Semalam hujan lebat. Air tumpah sampai ke rumah. Periuk nasi bininya melayang kian kemari dibuai banjir. Periuk aluminium itu kosong melompong. Biasanya ikan banyak di bandar. Hujan lebat pasti melimpahkan keramba di muara isi-isinya. Itulah yang diharapkan Lano.
Begitupula apung-apung di atas air. Selalu saja berdenyut memberi harapan. Tetapi ikan yang diharap tak kunjung datang. Antara sabar dan harap Lano membiarkan kailnya berdenyut. Makin lama makin kuat. Hingga... “assalamu’alaikum langit, assalamu’alaimum bumi, assalamu’alaikum air, hep tah dapat! Puss... tali nilon itu putus menjelang ke tepi bandar. Ikan lele yang sangat besar terangkat sebelum terjun lagi ke air. Nasib belum berpihak kepada Lano.
“Ah, pancing kalera,” umpat Lano.
***
Entah sadar entah tidak , Lano sudah berada di dalam air. Berenang menyelinap di antar rumput banto. ”Ikan kalera itu harus dapat!” tekad Lano. Satu yang ada dalam benaknya, kalau tidak ikan itu yang dapat, pancingnya harus kembali. Lano yakin, mata pancingnya pasti ada di mulut ikan lele itu.
Dalam air yang keruh, terang-terang tanah ia dapat melihat ekor itu berkibar-kibar. Ow, ia berenang melawan arus. Suatu yang tak lazim bagi seekor lele. Biasanya ikan licin itu pasti menyelusup ke lubuk yang terdalam, terkelam dan terkeruh. Tetapi ini tidak. Lano yakin pasti ikan ini sedang mempermainkannya.
“Akan ku kejar kau sampai ke muara!” teriak Lano marah. Suaranya menggelembung-gelembung di dalam air.
Makin lama arus semakin deras. Seiring dengan itu air berkilauan di timpa cahaya matahari. Airpun lama-kelamaan semakin jernih. Ikan lele itu masih terus berenang ke muara. Hingga lambat laun ia melihat sebuah gunung. Itu gunung Merapi.
“Aha, pucuk dicinta ulampun tiba. Aku berharap kau ikan peliharaan Angku Gadur,” Lano semakin gembira. Ia berharap ikan itu terus berenang ke muara hingga ke sebuah lubuk di belakang rumahnya, di mana ia sering memancing sewaktu bujang. Ia teringat, ada sebuah tangguk di belakang dapur. “Nasibmu berakhir di sebuah tangguk,” ancam Lano.
Benar saja, ikan itu berenang terus ke sebuah tempat yang sangat dikenal oleh Lano. Itulah lubuk di belakang rumahnya. Ia segera keluar dari lubuk. Tubuhnya bersih meski basah kuyup. Tujuannya jelas, ke belakang dapur mengambil tangguk. Ikan lele itu harus ia dapatkan dan dipersembahkan kepada istri tercinta; Lani!
“Akhirnya kau pulang juga Lano,” sapa seseorang.
“Aih, Biyai,” Lano terperanjat. Seseorang itu adalah ibunya. Entah mengapa, saat bertemu muka hatinya rindu. Tiga tahun merantau, perempuan tua itu entah di mana. Ingatannya tak sampai pada perempuan yang melahirkannya.
“Bagaimana engkau bisa sampai ke sini?, mana istrimu?” tanya perempuan itu.
“Lewat tali bandar ini. Ikan lele celaka itu telah memutus kailku. Aku terpaksa mengejarnya sampai ke sini,” jawab Lano.
“Kau bergurau Lano, mana mungkin?” bantah perempuan itu.
“Buktinya, aku sampai ke sini. Lihatlah, ini aku Biyai!” tegas Lano meyakinkan.
“Ya, sudahlah, tangkap ikanmu!” perempuan itu menyerah.
Menangkap ikan adalah perkara mudah. Orang sekampung tahu, Lano adalah hantu ikan. Di mana ada air di situlah rezeki Lano. Menanggkap ikan adalah permainan masa kanak-kanak baginya. Tak heran beberapa waktu kemudian lele itu sudah berada dalam tangguknya.
“Duduklah!” pinta ibunya lembut.
Lano duduk di samping ibunya. Selaksa rasa berkecamuk dalam dadanya. Rindu, malu dan entah apa lagi. Jujur saja, ia memang rindu pada ibunya.
“Sejauh itu dari kota, hanya ikan ini yang kau kejar?” perempuan itu bertanya. Wajahnya menyiratkan perasaan heran.
Lano bingung. Dari kota menangkap ikan hinga ke kampung halaman? Tidak mungkin! Lano ingin memukul-mukul kepalanya. Apa yang terjadi? Rasanya semua terjadi dengan penuh kewajaran. Sekejap saja. Ia ingat, ketika pancing ia sentakkan, lele itu terangkat sedepa, kemudian jatuh lagi ke air. Ia tahu pancingnya putus dan lele itu membawa serta mata kail yang tersangkut dimulutnya. Ia berenang mengejar ikan lele itu. Lalu sampai di kampung halaman. Mustahil. Apa yang harus ia jawab? Tak mungkin ada yang percaya.
“Begitulah Biyai,” jawabnya ragu-ragu.
“Sebaiknya kau memang harus kembali ke kampung. Bawa serta istrimu,” perempuan itu memberi saran.
“Pulang kampung? Memalukan. Tidak Biyai! Aku sudah bertekat tak pulang dulu sebelum berhasil!, sergah Lano. Pulang kampung meski sempat terpikir, bukanlah cita-citanya.
“Tapi, sudah tiga tahun kau tak pulang. Tanpa kabar baik ataupun buruk. Sekarang kau terlihat susah.” Perempuan itu seperti membaca keadaan Lano dari tubuhnya yang kurus dan bajunya yang lusuh. Selain itu, Lano terlihat tua. Pengalaman sebagai orang tua telah memberinya kearifan.
“Tidak, Biyai. Biarlah di rantau sengsara daripada di kampung tak dianggap siapa-siapa. Hari ini juga aku akan kembali!” Lano mengeluarkan kata mutiara. Tetapi orang-orang pasti tahu, itu ungkapan emosional orang-orang kalah.
“Ada sawah dan ladang yang bisa kau garap. Selain itu tak ada laki-laki di rumah ini, membuat keluarga kita semakin tak berarti.orang-orang bersilantas-angan saja pada kita.” Perempuan itu masih berharap.
“Nantilah aku pikirkan. Sekarang aku harus pulang!” tampik Lano.
“Kalau itu maumu,” jawab perempuan itu putus asa. Perempuan itu masuk melalui dapur. Beberapa saat kemudian tangannya menating sekantong beras.
“Ini, bawalah untuk istrimu. Untuk cucuku juga kalau sudah ada.” Perempuan itu mengangsur bungkusan itu ke tangan Lano.
Lano jengah. Ada sesuatu yang bergerak dari ujung kaki ke ujung kepalanya. Lano tahu yang bergerak itu adalah urat --urat malu--.
“Jangan Biyai, aku hanya butuh mata pancingku. Ikan lele ini untuk Biyai saja,” seraya menepis hibah kasih sayang itu.
Seusai berkata Lano langsung terjun ke tempat semula. Dari lubuk ke tali bandar hingga membiarkan dirinya hanyut dibawa arus ke hilir. Mata pancing itu masih di tangan kirinya. Dalam hati ia berucap. “alhamdulillah, mata pancing itu berhasil aku ambil!”
Dalam khidmatnya bersyukur, kepalanya terasa terantuk batu. Begitu membuka mata ia sudah berada di tepi bandar, tertelentang menghadap langit. Ada banyak orang disekitarnya. Satu saja yang berwajah khawatir; Lani istrinya.
“Uda mungkin lapar, hingga pingsan jatuh ke bandar,” kata Lani menahan tangis.
“Pingsan?” Lano terkejut. Buru-buru ia melihat ke tangan kirinya. Mata pancing itu terselip antara ibu jari dan telunjuknya. Tidak mungkin! Mata pancing ini ia kejar hingga ke kampung. Dan mustahil juga bila ia sebut ke orang-orang bahwa ia baru saja bertemu ibunya.
“Bagaimana bisa?” Teriakan Lano membuat orang tertawa-tawa. [MN]
Banda Bakali,31 Juli 2008
Daftar Istilah Minang
Kuminih : Cara kebanyakan orang Minangkabau melafalkan kata “Komunis”
Kalera : Umpatan khas Minang, senada dengan kata “Sialan”
Biyai : Sepadan dengan Ibu, dialek Agam Timur dan sebagian Bukittinggi.
bersilantas-angan : Berbuat semaunya, seenaknya.
Mau tahu rasanya menjadi perantau miskin, cobalah seperti Lano. Sehari itu ia meronggoh saja di tepi bandar. Memancing! Seratus cacing mungkin sudah ia sematkan di mata kail. Tetapi tak satupun ikan yang dapat. Sejauh ini Lano tak hendak meninggalkan bandar, karena setiap kail terumban ke dasar bandar, setiap itu pula mata kail itu dikutil ikan. Sayang tak ada yang menyangkut.
Entah mengapa nasib Lano seperti pemancing. Sudah seribu cara ia coba, tetapi tak satupun membuat kaya. Jangankan kaya, berkecukupan saja jarang. Setiap usaha selalu saja menjanjikan laba. Tetapi begitu harapan meninggi kenyataan membuatnya rugi. Persis seperti pemancing yang sial.
“Hari ini tak ada kerja,” lapor Lano pada bininya.
Lani, bini yang baik itu maklum saja. Apalah daya seorang Lano di kota yang tak tahu berkerabat. Berbeda ketika tiga tahun yang lalu di sebuah dusun kecil di kaki gunung merapi. Tak nasi ubi disungkah. Tanahnya yang subur memberi harapan dari hari ke hari. Betul-betul surga dunia.
Merantau adalah pilihan mereka berdua, orang-orang kecil yang tak punya sejarah di kampungnya. Satu-satunya yang patut disebut orang di kampungnya adalah anak kuminih, anak-anak keturunan PKI. Jika itu pantas disebut sejarah, alangkah malang. Sebab, Hitler tidak dinamakan tokoh sejarah karena meninggalkan ribuan mayat dan puing-puing.
Kakek mereka berdua memang anggota PKI. Dengan alasan sederhana membalas dendam kepada Angku Gadur nama kecil penghulu suku Pitopang yang tega merampas ladang kulit manis yang diteruka oleh nenek moyang mereka dari dulu-dulu. Tetapi apalah daya seorang simpatisan kecil PKI yang kerjanya ke sawah menanam padi.
Tangan-tangan kakek mereka memang tak berlumur darah. Tetapi kakek mereka ikut serta membakar rumah gadang suku Pitopang yang sudah kosong. Tidak disangka api yang berkobar-kobar ikut menghanguskan seorang perempuan pikun, yang entah kapan dan bagaimana tiba di rumah itu. Julukan kuminih kejam semakin lekat pada kakek-kakek mereka. Ditambah kewajiban lapor ke koramil di masa Orde Baru.
Tinggal di kampung tidak masalah. Tetapi selalu menjadi orang-orang tak bersejarah memang melelahkan. Puncak keinginan meninggalkan kampung halaman terjadi sehari setelah helat pernikahan. Hujan berkepanjangan membuat orang-orang enggan datang ke perhelatan. Lano dan Lani kecewa. Betapa tidak, dalam waktu yang tak jauh beda, seminggu sebelumnya keturunan Angku Gadur juga berhelat, orang kampung datang selaksa embun. Pasti dan berkerumun. “Sudahlah, tak ada yang dapat dipandang dari kita,” begitu kata mamak rumah mereka.
“Pergilah memancing, sejerat dua ikan cukuplah untuk hari ini. Beras segantang kemarin masih bersisa setekong,” saran Lani.
Begitulah sejarahnya Lano sampai ke tepi bandar. Semalam hujan lebat. Air tumpah sampai ke rumah. Periuk nasi bininya melayang kian kemari dibuai banjir. Periuk aluminium itu kosong melompong. Biasanya ikan banyak di bandar. Hujan lebat pasti melimpahkan keramba di muara isi-isinya. Itulah yang diharapkan Lano.
Begitupula apung-apung di atas air. Selalu saja berdenyut memberi harapan. Tetapi ikan yang diharap tak kunjung datang. Antara sabar dan harap Lano membiarkan kailnya berdenyut. Makin lama makin kuat. Hingga... “assalamu’alaikum langit, assalamu’alaimum bumi, assalamu’alaikum air, hep tah dapat! Puss... tali nilon itu putus menjelang ke tepi bandar. Ikan lele yang sangat besar terangkat sebelum terjun lagi ke air. Nasib belum berpihak kepada Lano.
“Ah, pancing kalera,” umpat Lano.
***
Entah sadar entah tidak , Lano sudah berada di dalam air. Berenang menyelinap di antar rumput banto. ”Ikan kalera itu harus dapat!” tekad Lano. Satu yang ada dalam benaknya, kalau tidak ikan itu yang dapat, pancingnya harus kembali. Lano yakin, mata pancingnya pasti ada di mulut ikan lele itu.
Dalam air yang keruh, terang-terang tanah ia dapat melihat ekor itu berkibar-kibar. Ow, ia berenang melawan arus. Suatu yang tak lazim bagi seekor lele. Biasanya ikan licin itu pasti menyelusup ke lubuk yang terdalam, terkelam dan terkeruh. Tetapi ini tidak. Lano yakin pasti ikan ini sedang mempermainkannya.
“Akan ku kejar kau sampai ke muara!” teriak Lano marah. Suaranya menggelembung-gelembung di dalam air.
Makin lama arus semakin deras. Seiring dengan itu air berkilauan di timpa cahaya matahari. Airpun lama-kelamaan semakin jernih. Ikan lele itu masih terus berenang ke muara. Hingga lambat laun ia melihat sebuah gunung. Itu gunung Merapi.
“Aha, pucuk dicinta ulampun tiba. Aku berharap kau ikan peliharaan Angku Gadur,” Lano semakin gembira. Ia berharap ikan itu terus berenang ke muara hingga ke sebuah lubuk di belakang rumahnya, di mana ia sering memancing sewaktu bujang. Ia teringat, ada sebuah tangguk di belakang dapur. “Nasibmu berakhir di sebuah tangguk,” ancam Lano.
Benar saja, ikan itu berenang terus ke sebuah tempat yang sangat dikenal oleh Lano. Itulah lubuk di belakang rumahnya. Ia segera keluar dari lubuk. Tubuhnya bersih meski basah kuyup. Tujuannya jelas, ke belakang dapur mengambil tangguk. Ikan lele itu harus ia dapatkan dan dipersembahkan kepada istri tercinta; Lani!
“Akhirnya kau pulang juga Lano,” sapa seseorang.
“Aih, Biyai,” Lano terperanjat. Seseorang itu adalah ibunya. Entah mengapa, saat bertemu muka hatinya rindu. Tiga tahun merantau, perempuan tua itu entah di mana. Ingatannya tak sampai pada perempuan yang melahirkannya.
“Bagaimana engkau bisa sampai ke sini?, mana istrimu?” tanya perempuan itu.
“Lewat tali bandar ini. Ikan lele celaka itu telah memutus kailku. Aku terpaksa mengejarnya sampai ke sini,” jawab Lano.
“Kau bergurau Lano, mana mungkin?” bantah perempuan itu.
“Buktinya, aku sampai ke sini. Lihatlah, ini aku Biyai!” tegas Lano meyakinkan.
“Ya, sudahlah, tangkap ikanmu!” perempuan itu menyerah.
Menangkap ikan adalah perkara mudah. Orang sekampung tahu, Lano adalah hantu ikan. Di mana ada air di situlah rezeki Lano. Menanggkap ikan adalah permainan masa kanak-kanak baginya. Tak heran beberapa waktu kemudian lele itu sudah berada dalam tangguknya.
“Duduklah!” pinta ibunya lembut.
Lano duduk di samping ibunya. Selaksa rasa berkecamuk dalam dadanya. Rindu, malu dan entah apa lagi. Jujur saja, ia memang rindu pada ibunya.
“Sejauh itu dari kota, hanya ikan ini yang kau kejar?” perempuan itu bertanya. Wajahnya menyiratkan perasaan heran.
Lano bingung. Dari kota menangkap ikan hinga ke kampung halaman? Tidak mungkin! Lano ingin memukul-mukul kepalanya. Apa yang terjadi? Rasanya semua terjadi dengan penuh kewajaran. Sekejap saja. Ia ingat, ketika pancing ia sentakkan, lele itu terangkat sedepa, kemudian jatuh lagi ke air. Ia tahu pancingnya putus dan lele itu membawa serta mata kail yang tersangkut dimulutnya. Ia berenang mengejar ikan lele itu. Lalu sampai di kampung halaman. Mustahil. Apa yang harus ia jawab? Tak mungkin ada yang percaya.
“Begitulah Biyai,” jawabnya ragu-ragu.
“Sebaiknya kau memang harus kembali ke kampung. Bawa serta istrimu,” perempuan itu memberi saran.
“Pulang kampung? Memalukan. Tidak Biyai! Aku sudah bertekat tak pulang dulu sebelum berhasil!, sergah Lano. Pulang kampung meski sempat terpikir, bukanlah cita-citanya.
“Tapi, sudah tiga tahun kau tak pulang. Tanpa kabar baik ataupun buruk. Sekarang kau terlihat susah.” Perempuan itu seperti membaca keadaan Lano dari tubuhnya yang kurus dan bajunya yang lusuh. Selain itu, Lano terlihat tua. Pengalaman sebagai orang tua telah memberinya kearifan.
“Tidak, Biyai. Biarlah di rantau sengsara daripada di kampung tak dianggap siapa-siapa. Hari ini juga aku akan kembali!” Lano mengeluarkan kata mutiara. Tetapi orang-orang pasti tahu, itu ungkapan emosional orang-orang kalah.
“Ada sawah dan ladang yang bisa kau garap. Selain itu tak ada laki-laki di rumah ini, membuat keluarga kita semakin tak berarti.orang-orang bersilantas-angan saja pada kita.” Perempuan itu masih berharap.
“Nantilah aku pikirkan. Sekarang aku harus pulang!” tampik Lano.
“Kalau itu maumu,” jawab perempuan itu putus asa. Perempuan itu masuk melalui dapur. Beberapa saat kemudian tangannya menating sekantong beras.
“Ini, bawalah untuk istrimu. Untuk cucuku juga kalau sudah ada.” Perempuan itu mengangsur bungkusan itu ke tangan Lano.
Lano jengah. Ada sesuatu yang bergerak dari ujung kaki ke ujung kepalanya. Lano tahu yang bergerak itu adalah urat --urat malu--.
“Jangan Biyai, aku hanya butuh mata pancingku. Ikan lele ini untuk Biyai saja,” seraya menepis hibah kasih sayang itu.
Seusai berkata Lano langsung terjun ke tempat semula. Dari lubuk ke tali bandar hingga membiarkan dirinya hanyut dibawa arus ke hilir. Mata pancing itu masih di tangan kirinya. Dalam hati ia berucap. “alhamdulillah, mata pancing itu berhasil aku ambil!”
Dalam khidmatnya bersyukur, kepalanya terasa terantuk batu. Begitu membuka mata ia sudah berada di tepi bandar, tertelentang menghadap langit. Ada banyak orang disekitarnya. Satu saja yang berwajah khawatir; Lani istrinya.
“Uda mungkin lapar, hingga pingsan jatuh ke bandar,” kata Lani menahan tangis.
“Pingsan?” Lano terkejut. Buru-buru ia melihat ke tangan kirinya. Mata pancing itu terselip antara ibu jari dan telunjuknya. Tidak mungkin! Mata pancing ini ia kejar hingga ke kampung. Dan mustahil juga bila ia sebut ke orang-orang bahwa ia baru saja bertemu ibunya.
“Bagaimana bisa?” Teriakan Lano membuat orang tertawa-tawa. [MN]
Banda Bakali,31 Juli 2008
Daftar Istilah Minang
Kuminih : Cara kebanyakan orang Minangkabau melafalkan kata “Komunis”
Kalera : Umpatan khas Minang, senada dengan kata “Sialan”
Biyai : Sepadan dengan Ibu, dialek Agam Timur dan sebagian Bukittinggi.
bersilantas-angan : Berbuat semaunya, seenaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar