11 Agustus 2008

Empatbelas juta


Cerpen Muhammad Nasir


“Setidaknya, saya butuh empatbelas juta, rupiah.” Suara itu terdengar lemah dan takut-takut. Setelah itu hanya diam. Rumah yang terletak di perkampungan sejuk itu berubah seperti kotak yang hanya memuat satu rekaman saja.

Dingin yang menusuk-nusuk tidak dapat ditahan oleh Wan Leno. Paru-parunya bengkak. Sebongkah air seolah membeku di sana. Air itu mungkin saja air mata. Air mata yang jatuh ke dalam. Suara jangkrik dan pekikan kodok entah ke mana. Si Pirang, anjing kesayangan Wan Leno tak lagi mendengus. Betina siapa lagi yang hendak dikawininya.

***

Keheningan itu akhirnya pecah di atap. Butiran air itu terasa menabuh genderang perang, perang di kepala Wan Leno dan juga Saparman. Sungguh tak berirama, kecuali gemuruh yang memekakkan telinga.

Wan Leno lantas teringat kerbau yang dikandangkan di ladang. Nun, setengah kilo dari rumah. Setidaknya malam ini kerbau betina itu harus tidur di dangau samping rumah. Esok Mak Gindo akan meminjam kerbau itu untuk mengilang tebu. Sudah dua hari ini kerbau Mak Gindo mogok bekerja, sebab anaknya yang berumur satu tahun hilang.

Sekarang hujan. Wan Leno tak mungkin lewat di sela-selanya. Tetapi dingin yang menusuk tak menghalangi langkah tuanya. 

***

Saparman Tanjung tak pernah mengimpikan kemewahan di tengah pestapora kemiskinan keluarganya. Beberapa kertas yang dimiliki ayahnya, di antaranya timah rokok, kotak obat nyamuk dan entah apa lagi berisi catatan hutang.

Di tengah itu semua, Saparman Tanjung mendekam di kamar yang senatiasa setia memelihara ingatannya semenjak kecil. Dinding kamar itu tidak berubah dari tahun-ke tahun. Kalaupun boleh disebut perubahan, warna kekuning-kuningan dan sebagian menghitam adalah wujud menuanya usia bangunan itu. Tidak terlalu tua, paling tidak sedikit saja di bawah usianya yang sekarang menginjak sembilan belas tahun.

Dinding itu merekam semuanya. Salahsatu dinding ke arah kiblat memuat goresan ayahnya, Wan Leno; Husni, lhr tgl 06/06 1993. Itu nama adiknya, almarhum meninggal 3 tahun setelah dilahirkan. Kata ayah, Husni meninggal karena jatuh di dekat sumur. Orang kampung menyebutnya tasapo.* Begitu jatuh senja itu, esoknya badan Husni panas tinggi. Seminggu setelah itu Husni meninggal, sesuatu bengkak bernanah sebesar telur ayam tumbuh di alis kiri Husni.

Di utara kamar ada lukisan pertamanya: gambar kerbau dan seorang wanita. Gambar itu tidak bagus. Darmi, Ibunya pernah memarahinya habis-habisan, karena arang yang ia gunakan untuk melukis itu jatuh ke lantai, dan di sana ada selendang yang akan dipakainya ke sekolah, menjemput rapor Saparman. Di atas coretan itu ada foto perempuan berusia tak lebih dari tigapuluh. Itulah ibunya. Wan Leno tak hendak kawin lagi. Katanya malu dengan kemiskinan yang lekat di badan dirinya. Tak percaya diri.

“Empatbelas juta!” Saparman menikmati gumamnya. 

Gumam itu tidak mempengaruhi suasana. Entah mengapa frasa itu telah menciutkan tulang rusuknya masuk kedalam. Dan udara segera memenuhi rongga dadanya.

***

“Kenapa tidak masuk IAIN saja? Setidaknya aku bisa berpikir mencari akal untuk memenuhi biaya masuknya.” Wan Leno mencoba menawar. Ia telah kembali dari ladang. Dengus kerbau sudah terdengar.

Empatbelas Juta. Wan Leno merasa itulah angka tertinggi dalam sejarah hidupnya. Belum pernah ia menginginkan sesuatu dengan besaran angka segitu. Saparman mengatakan, berdasarkan pengalaman orng sudah berangkat kuliah ke Timur Tengah, harus ada uang di tangan sekitar jumlah itu dengan kurs rupiah zaman sekarang. Angka itu mulai diukur dari kampung hingga ke Timur Tengah. Alangkah jauh dan mewah.

Saparman terpekur dalam. Saat itu sebenarnya ia ingin masuk ke rongga terdalam mata orang tua itu. Apa yang dipikirkan ayah yang sangat dihormatinya. Dulu ayah pernah sekali dua mengatakan, sebaiknya setelah tamat Aliyah istirahat saja dulu. Jangan berpikir untuk kuliah. Nanti kalau ada jalan, beliau berjanji akan menguliahkan Saparman.

Saparman sangat mengerti. Ada kegamangan dalam batin Wan Leno. Saparman memang tak pernah berpikir untuk kuliah. Impian itu terlalu mewah untuk anak miskin seperti dirinya.

“Orang-orang sangat mengharapkan kehadiranmu di kampung kita. Haji Usman sudah terlalu tua untuk menjadi Imam. Ada banyak anak yang bisa kau ajar mengaji. Dan selebihnya waktumu dapat kau gunakan ke sawah bersama ayah. Rasanya tak kurang mulianya hidup menjadi petani dan ustad kampung,” Wan Leno setengah berpetuah.

Saparman merasa itu sebagai bahasa kekalahan dari ayahnya. Dalam kekalahan itu, ayahnya tak ingin terpuruk terlalu dalam dan berusaha menahan serangan Saparman. Serangan? Entahlah. Saparman merasakan berita kelulusannya untuk program beasiswa ke Timur Tengah memukul mental Wan Leno. Terutama tentang angka-angkanya. Empatbelas juta.

“Ayah, sebenarnya aku memang tak ingin kuliah. Tapi...”

Saparman ingat, siang itu Pak Masri, guru bahasa Arab di Aliyah tempat ia bersekolah menerima sepucuk surat undangan untuk mengikuti tes beasiswa S.1 ke Timur Tengah. Pak Masri sangat tahu, ke mana surat itu harus di berikan. Saparman Tanjung, orangnya.

“Sebaiknya engkau coba dulu. Inikan beasiswa. Mudah-mudahan inilah caranya supaya engkau bisa terus belajar agama,” kata Pak Masri.

“Apa saya bisa, Pak?” jawab Saparman tak yakin. Bertahun-tahun belajar agama, tak sekalipun terlintas untuk pergi ke Timur Tengah, tempat di mana agama ini meneruka sejarah.

“Ya, sekolah ini menaruh harapan besar padamu. Sejauh ini kaulah yang paling banyak hapal al Qur’an dan paling baik bahasa Arabnya.” Pak Masri mencoba membesarkan.

Harap dan sesal berbaur menjadi satu. Perasaan itu menjelma dalam diri Wan Leno. Saparman Tanjung merasa telah mengganggu kegembiraan Wan Leno, ayahnya seusai perayaan perpisahan sekolah. 

Tak terbayangkan bangganya Wan Leno ketika Drs. Bidar Alamsyah, kepala sekolah memuji-muji Saparman Tanjung setinggi langit. Wan Leno, yang sudah akrab dengan pujian kepala sekolah itu, merasa inilah pidato terbaik pria jangkung asal seberang itu.

“Saparman Tanjung! Entah mengapa nama ini memaksa kami dari pihak madrasah untuk memesan limaratus eksemplar koran, yang sekarang ada di tangan bapak-bapak dan ibuk-ibuk.” Kata Drs. Bidar Alamsyah ba’da mukaddimah. 

Koran? Wan Leno baru tahu apa arti bagi-bagi koran pagi tadi. Awalnya ia menduga ada kampanye. Misalnya, salah seorang anggota Komite Sekolah akan maju menjadi anggota legislatif. Buru-buru koran itu ia bolik-balik.

Tepuk tangan bergemuruh. Suaranya seperti memijit seluruh tubuh Wan Leno. Hilang sudah penat tubuh. Tiba-tiba tubuhnya bersimbah peluh menahan rasa bangga. Entah mengapa ia sudah berdiri dan bertepuk tangan dengan keras. Akhirnya ia malu sendiri, begitu kepala sekolah melanjutkan pidato.

“Di sanalah foto Saparman Tanjung, dengan latar belakang madrasah kita ini dimuat. Saya sudah pesan salah seorang wartawan terbaik dari koran terbaik untuk menulis besar-besar nama Saparman Tanjung dan nama madrasah ini.”

Wan Leno merasa seluruh pujian juga melimpah kepadanya. Setidaknya, seusai pidato nanti kepala sekolah pasti memanggil Saparman dan dirinya menuju pentas. Terbayang ada bingkisan untuk Saparman dan sedikit pujian untuk lelaki hebat sepertinya.

“Saparman telah berhasil mengangkat nama baik madrasah ini, dengan memperoleh nilai ujian akhir tertinggi se-kabupaten. Atas nama sekolah saya mengucapkan terima kasih kepada Saparman Tanjung.”

Tepuk tangan kembali bergemuruh. Tetapi hingga usai pidato, pujian dan panggilan tidak kunjung keluar dari mulut pak kepala sekolah. Wan Leno ingin merobek-robek koran itu. Harganya lima ribu.

Wan Leno ingat, kemarin Saparman Tanjung meminta uang limaribu rupiah. Katanya, Pak Kepala Sekolah ingin membeli koran untuk dibagikan ke wali murid. Isinya tentang kemajuan sekolah. Ia melihat harga di pojok koran itu. Harga eceran tigaribu rupiah! 

“Guru Kalera!* Wan Leno langsung menyumpah.

Hujan sudah reda. Tetapi malam tidak bisa dihentikan. Meskipun begitu malam terasa lama. Dua beranak itu hanya bisa membisu. Hanyut dalam pikiran masing-masing. Foto Darmi, ibu Saparman Tanjung langsung menjadi saksi bisu dua pria yang mungkin tak sempat ia suguhi kasih sayang. Darmi yang malang mati muda. Di foto ia tersenyum kecut, itulah peninggalannya, senyum yang takut-takut, wanita desa yang penurut.

“Tidak ada jalan lain, kita jual saja kerbau itu.” Wan Leno memecah keheningan.

Saparman terperanjat. Ia tahu kerbau itu satu-satunya kekayaan ayahnya. Semenjak ia sekolah makhluk hitam bulat itu sudah seperti istri ke dua bagi ayahnya. Rumput di carikan, kubangan disediakan, kotor dimandikan. Sekali waktu ia dengar ayahnya bercerita-cerita dengan kerbau itu.

“Tapi ‘yah, aku belum putuskan...” Saparman tercekat.

“Sudahlah”

“Yah, aku belum putuskan, apakah aku harus terima beasiswa itu atau tidak. Aku baru menyampaikan saja.”

***

Pagi muncul dengan percaya diri. Kokok ayam bersahut-sahutan. Tetapi di rumah masih gelap. Listrik kembali padam. Sepertinya kokok ayam sudah cukup pengganti azan. Subuh sudah datang. Wan Leno tidak ada di rumah. 


Ah, biasa, pikir Saparman. Memang itulah kebiasaan ayahnya. Paling-paling setelah subuh ia segera ke sawah, memastikan tidak ada pematang yang runtuh. Hujan semalam memang terlalu deras. Berjuta ton air tumpah ke bumi dan sedikit di antaranya menggenangi dada Saparman. Pembicaraan malam terlalu berat. 

Tetapi tiba-tiba...

“Saparmannnn...!” suara itu parau, suara Wan Leno.

Itu suara ayahnya. Saparman bergegas menuju arah suara itu. Tidak salah lagi itu dari kandang kerbau. Apa sepagi ini Wan Leno sudah hendak berangkat menjualnya.

“Ada apa ‘Yah?”

“Kerbau kita hilang!”

Ah, Saparman merasa pembicaraan tadi malam terlalu mahal. Bermimpi saja tak dapat, kenyataan malah terjual. Lenyap dibawa kerbau.

Dalam terang-terang tanah, antara cemas dan gundah, Saparman masih sempat bertanya; 

“Berapa harganya ‘Yah?”

Setidaknya ada delapan atau sembilan juta!” [*]
Parak Jigarang, 16 Juli 2008

Istiah bhs. Minang:
Tasapo: kerasukan roh halus
Kalera: sialan [umpatan]


Kredit Foto:
http://blontankpoer.blogsome.com/2006/01/30/kerbau-bule/

Tidak ada komentar: