11 Agustus 2008

CANGKUL


Oleh: Muhammad Nasir

(Satu)

25 Juli 2006
Sipir itu memberikan cangkul. Sedikit instruksi yang ia berikan.
"Tolong bersihkan taman sekitar LP dan juga sampah di dalam selokan", katanya bersahabat.

Sipir itu berlalu tanpa beban. Sebatang rokok menyala terang di mulutnya.
"Sss..hhh…", begitu suara desisan kenikmatannya merasuk ke paru-paru.
"Semoga bukan rokok itu yang membunuhmu", rutukku dalam hati.

Meskipun namanya Lembaga Pemasyarakatan, bagiku tetap penjara. Mengurung diriku di tempat sempit di mana manusia yang ada hanya itu ke itu saja. Sesekali berganti hanya penghuni lama dan baru. Seminggu di sini, aku rasa baru satu yang menghabiskan masa hukumannya. Yang lainnya datang dengan berbagai alasan. Pindahan dari LP lain atau mungkin titipan kejaksaan. Entahlah, aku tak tahu persis tentang mereka yang datang dan pergi dari penjara ini.

Beberapa saat, aku mulai sadar ternyata cangkul itu telah berada dalam genggamanku. Perlahan dan malas-malasan pandanganku tertuju pada taman. Bunga-bunga tumbuh mekar dan belum kulihat satupun kumbang hinggap di sana. Aku juga bukan kumbang itu.

Aku juga melihat selokan. Airnya hitam seperti kelamnya sel itu bila sipir memadamkan lampu. Penghematan, kata sipir. Konon, PLN saat ini mengalami kelebihan beban. Terpaksa lampu dimatikan. Nanti, pukul 22.00 WIB dinyalakan. Dan air selokan itu memang hitam. Aku tidak dapat berkaca, melihat diriku sendiri di air yang tenang. Aku juga bukan selokan itu, yang hitam dan bau.

Taman yang bagus ada yang membersihkan. Selokan yang bau ada yang memperhatikan. Aku tidak bersih dan tidak bau. Adakah yang mensucikan?
Tiba-tiba aku merasa hitam legam.

"Brukk…".

Cangkul itu aku lemparkan.
Pikiran kelamkulah yang membawaku ke penjara ini.

(Dua)

Namaku Aswad. Kulitku putih bersih, kontras dengan namaku yang dalam bahasa Arab berarti hitam. Kata orang tuaku, Aswad itu berasal dari batu bersejarah di Ka'bah yang selalu dicium orang saat umrah dan musim hajji. Hajar Aswad.

Baru dua bulan aku di kampung semenjak diwisuda. Pulang dengan membawa gelar sarjana pertanian. Kepulanganku bukan tanpa kesengajaan. Di samping rindu kampung halaman, saat musim pemilihan kepala daerah sekarang ini, aku ditugaskan untuk menjadi simpul pemenangan pemilu di daerahku. Maklum mantan aktivis kampus yang malang melintang antara kantor Pemda dan ruang sidang legislatif, tenagaku dianggap perlu. Sungguh suatu kebanggaan bagi diriku. Tidak semua pemuda seusiaku yang dapat melakukannya.

Kini aku termenung di dangau tengah sawah. Mengingat kembali masa kecil 15 tahun yang lalu. Sawah basah yang puas ku rancah untuk mendapatkan ikan dengan tangguk kecil yang dibelikan ibu. Tali Bandar yang mengairi sawah telah ku telusuri. Tali Bandar itu masih seperti dulu. Bersih dengan sedikit rumput hijau menghias pinggiran pematang. Air bening mengalir menyanyikan kepastian hokum alam. Mengalir dari hulu menuju hilir. Bila saat diperlukan air itu dituntun mengairi sawah, patuh dan pasrah sesuai sunnatullah.

Selepas SD aku melanjutkan ke pesantren, tentu saja di luar desaku. Desaku sekarang sudah berubah menjadi Nagari. Pasca Orde Baru, desaku menjadi Jorong, unit terkecil di bawah pemerintahan Nagari di Sumatera Barat.

Anganku berlanjut. Kemaren Pak Jorong, begitu warga jorong ini menyebut Wali Jorong kami mengeluhkan diskriminasi Wali Nagari terhadap jorong kami. Diskriminasi itu kata pak wali jorong disebabkan letak geografis daerah ini yang tidak menguntungkan. Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN) ternyata tidak cukup untuk membangun jembatan yang menghubungkan antar jorong yang dibatasi sungai selebar 20 meter atau lebih. Saat ini hanya ada jembatan gantung yang kami sebut rajang. Jembatan itu bergoyang bila dilintasi orang, mengikuti irama langkah orang yang tenang maupun gamang.

"Apa yang harus kita lakukan Aswad?. Kamu kan sarjana, saya pikir kamu bisa memberikan jalan ke luar mengatasi ketertinggalan kampung kita ini", demikian suatu kali Pak Jorong membagi beban pikirannya pada ku.

Sekarang aku melamun di dangau buatan ayah.

"Aswad, ayah sudah membeli cangkul baru. Bagaimana menurutmu, bagus tidak?".
Tersadar aku. Ternyata ayah sudah ada di depanku. Memang tadi pagi ayah menyuruhku duluan ke sawah. Ayah harus ke tukang apa Ternyata urusan cangkul.

"Dapat dari mana, 'yah?". Bodohnya aku. Sudah gaharu cendana pula.Sudah tahu bertanya pula. Padahal pertanyaan konyol itu sekedar memunculkan kesan tertarik. Agar ayahku tidak kecewa.

"Bagus, tidak?"

Oow, ternyata ayah butuh penilaianku.
"Ya, bagus yah, rasanya kita tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk mengayunnya", akhirnya aku memberi penilaian seraya menimang-nimang cangkul itu. Sungguh mati, aku tidak tahu banyak tentang cangkul.

"Apa cangkul ini memenuhi persyaratan?. Apa kampusmu punya standar tentang cangkul yang baik, Aswad? Atau…kira-kira merk apakah yang dipakai di kampusmu, Cap Buaya kah?" Ayah bertanya bertubi-tubi.

Sungguh mati, pertanyaan ini lebih sulit dari pertanyaan para penguji dalam ujian komprehensif yang mengantarku jadi sarjana. Apa sarjana pertanian seperti aku ini juga harus tahu soal cangkul?

Tiba-tiba aku merasa ada komunikasi yang terputus antara aku, ilmu pertanian dan masyarakat petani seperti ayah. Begitu dangkalkah pengetahuan masyarakat tentang fakultas pertanian atau fakultas pertanian yang berdiri terlalu tinggi sehingga tidak mengenal apa sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat petani. 

Ini baru soal cangkul. Terus terang, aku hanya tahu soal hama dan penyakit tanaman, meski seumur-umur, secara persis aku belum melihat bagaimana rupa hama yang dikaji di almamaterku. Aku cukup hapal nama-nama latin dari hama. Tetapi bagaimana rupa dan bahasa ayahku menyebut hama latin itu, wallahua'lam.

"Ha…ha…ha…". Aku tertawa selepasnya seperti apung-apung yang timbul tenggelam di goda ikan.

"Kenapa, nak ?"

"Tidak yah, tidak ada standard cangkul di kampusku. Bahkan Prof. Dr. Ir. Pertanianpun belum tentu hapal merek-merek cangkul yang beredar di masyarakat tani".

"Lalu…?

"Yang penting cangkul itu bisa digunakan dan tidak melepuhkan tangan petani yang memegangnya", jawabku mencoba berpendapat.

"Ha…ha…ha…". Kami tertawa berbarengan.

"Aku kira…, ah, sudahlah Aswad. Ayah coba dulu cangkul ini. Kau boleh pilih, mau memakai cangkul baru ini atau cangkul lama? Cangkul lama ada di bawah kolong. Ayah turun ke sawah dulu sekedar membersihkan pematang."

Aku tidak melihat beban di kepala Ayah. Sepertinya, begitu ayah tahu aku menyelesaikan studi, ayah merasa bahagia. Menguliahkan anak bagi seorang petani kecil seperti ayah adalah sebuah kebanggaan. Begitupun bagiku, menjadi sarjana ke tiga di jorongku. Pertama, Saifuddin, Sarjana Agama. Kedua, Sahmadan, sarjana sosial dan ke tiga aku sendiri, Aswad, Sarjana Pertanian. Belum ada sarjana yang wanita.

Ayahku memang petani. Sementara aku? Sarjana pertanian. Petani bukan, ahli pertanian juga bukan. Mungkin aku pengangguran. Statistic di BPS mungkin bertambah. Aku salah satunya.

Enam tahun masa kuliah, aku habiskan di organisasi. Teman-teman menyebutku aktivis. Adik-adik tingkatku memanggilku Abang. Asal tahu saja, setiap tahun panggilan abang ini seolah-olah menambah wibawaku di mata mahasiswa. Tak jarang dadaku menggembung seperti tembolok ayam saking bangganya. 

Bahuku naik setinggi telinga seperti kucing sedang bertengkar. Selama itu, mungkin hanya lima semester aku merasa benar-benar kuliah. Selebihnya, larut dalam dinamika organisasi. Hanya duapuluh persen ilmu pertanian yang aku serap. Itupun karena kewajiban menulis skripsi. Soal politik, jangan tanya lagi. Akulah jagonya. 

Koran-koran menulisku tokoh mahasiswa angkatan reformasi, yang selalu dimintai pendapat. Soal BBM, presiden, Pilkada, korupsi dan sebagainya. Kumpulan kliping korang tentang diriku selalu ku bawa ke mana-mana. Kadang-kadang aku perlihatkan kepada siapa saja. Sekarang aku berpikir, kenapa dahulu aku tidak berdemo tentang cangkul? Tepatnya, cangkul murah untuk petani seperti ayahku.

Aku ambil cangkul di kolong itu. Cangkul usang. Mungkin hanya tinggal sepertiga dari aslinya. Kasihan ayah, selalu mengayun cangkul usang. Betapa sering telapak tangan ayah terkelupas mengayun cangkul buruk ini.

"Made in China", tertulis di sisa cangkul itu. Yang dibeli ayah tadi made in Indonesia. Cuma adakah tertulis di cangkul itu made in Indonesia?

"Aswad, kau pulanglah duluan, tak usah bekerja sekarang. Taruh saja cangkulmu, di rumah Pak Jorong mungkin sudah menunggu. Ia ingin bicara denganmu. Tadi ayah lupa menyampaikannya".

Ayah berteriak di ujung sawah.

(Tiga)
Benar saja. Pak Jorong sudah menunggu di rumah. Sebatang cangkul parkir di depan pintu rumah ibuku.

"Sudah lama Pak Jorong?", sapaku.

"Ah, kau Aswad? Belum,belum lama, baru saja". Pak Jorong berseri-seri. Sepertinya kehadiranku ditunggu-tunggu. Ada perasaan lain. Tak pernah kurasakan rasa harap yang begitu besar terpancar dari orang-orang yang pernah menungguku, sewaktu menjadi aktivis. Sungguh keceriaan yang tulus.

Kegiatan basa-basi telah usai. Aku segera menuntun Pak Jorong menuju persoalan.
"Ada apa Pak Jorong?, Apa ada informasi bagus untukku?

"Ah, tidak. Biasa saja Ad, -[itu panggilanku waktu kecil]-,besok kita akan gotong royong. Jadi…"

"Jangan repot-repot Pak Jorong, kalau cuma itu tak perlu sampai harus mengunjungiku. Titip pesan sama orang lainpun bisa. Aku pasti hadir besok". Aku memotong perkataan Pak Jorong, persisi interupsi anggota dewan.

"Begini Aswad, betul kita besok gotong royong, hanya saja aku butuh kamu besok".

"Iya, aku setuju"

"Tentang Jorong kita, Aswad. Pak Wali Nagari bersedia membangun jembatan ke Jorong kita. Syaratnya kita harus bersedia membersihkan jalan menuju lokasi. Setelah itu, rajang itu harus diperbaiki agar bisa dilewati".

"Kenapa begitu Pak Jorong? Kenapa tidak dibongkar saja rajang tersebut, dan sekalian kita bangun yang baru?"

"Aswad,.. dasar anak muda". Pak Jorong tersenyum. Senyum itu memukulku. "Dasar anak Muda?". Aku langsung tersipu. Aku malu, merasa dapat menyelesaikan segala-galanya dengan mudah. Maklum mantan aktivis.

"Itulah masalahnya. Kata Pak Wali Nagari, jalan dan jembatan itu akan ditinjau oleh Pak Datuk Tanamo, itu… calon bupati kita, dari partai…entah aku sendiri lupa partainya. Meski cuma calon bupati, rasanya tak enak dipandang mata. Bila kondisi jalan dan rajang kita semrawut".

Nah, ini yang langka!. Pelayanan yang ikhlas dari rakyat. Agar kampung tidak semrawut, agar sepatu calon bupati tidak kotor, masyarakat harus bekerja keras. Tapi kondisi ini yang tidak aku senangi. Ketika calon bupati atau malah bupati sekalian yang akan hadir, rakyat berusaha keras memberi pelayanan yang baik. Coba saja, kalau rakyat yang datang ke kantor bupati, belum tentu ada bentangan karpet merah. Bahkan baru-baru ini, saking lugunya, seorang warga kampungku mesti menanggalkan terompa dan berjalan membungkuk-bungkuk. Menegur Pak…Buk…kiri kanan, meski yang disapa cuma tukang sapu di kantor itu.

"Biar saja begitu,Pak. Apa adanya. Mudah-mudahan Pak Datuk Tanamo itu tersentuh melihat kondisi daerah kita, dan siapa tahu ia berbaik hati menebar uang kepada warga yang melambaikan tangan disepanjang jalan. Kan mantap, kampung kita ini beraspal uang. Ha…ha..ha..", aku mencoba berseloroh. Tertawa seperti kuda kegirangan.
Pak Jorong juga tertawa. Tawanya ku dengar seperti VCD rusak. Lagi-lagi aku tersipu malu.

"Begini Ad", Pak Jorong memperbaiki posisi duduknya. Mencoba membuatku lebih serius. Ia melanjutkan ucapannya. "Ini kan musim Pilkada. Para calon bupati berlomba-lomba datang ke kampung kita. Lumayan, di sini ada sekitar 2000 lebih suara. Maksud saya, terlepas dari persoalan Pilkada, jalan dan rajang kita memang sudah pantas untuk dibersihkan dan diperbaiki. Syukur, kalau ada bantuan dari calon bupati. 

Kalau tidak ada, ya… tak apa-apa. Toh, yang bersih itu kampung kita juga. Jadi menurut saya, kita manfaatkan momen ini untuk bersih-bersih. Kalau tidak begini caranya, susah mengajak masyarakat kita untuk berpartisipasi, bergotong royong", papar Pak Jorong panjang lebar.

Luar biasa Pak Jorong. Di luar dugaanku. Pak Jorong yang tamat SD tetapi…
Untuk kesekian kalinya aku digunduli. Aku merasa konyol dan tolol di muka Pak Jorong.

"Lalu, apa yang bisa saya lakukan Pak?"

Barulah aku sadar, ternyata Pak Jorong sedang berusaha memancing aku. Sejauh mana kepintaranku membaca situasi dan mengambil manfaat dari situasi itu.

"Aswad, bagiku, yang penting kampung ini bersih dan rapi. Aku juga berharap kampung kita dapat bantuan. Gotong royong itu, biar aku yang urus. Cuma, masalah bantuan, aku berharap kamu bisa menyusun permohonan, proposal atau apalah namanya. Aku juga berharap, kau langsung bicara dengan Pak Datuk Tanamo. Beliau lama tinggal di Jakarta. Katanya ia tidak begitu fasih berbahasa Minang. Kata orang kampung lain yang sudah dikunjunginya, ia selalu bicara bahasa Jakarta. Kau kan sarjana, Ad. Ku pikir bahasa Indonesiamu lebih bagus. Aku khawatir seandainya aku yang bicara bahasa Indonesia lidahku bisa terpatah-patah, ha…ha..", Pak Jorong meledakkan tawanya.

Sejenak ku resapi maksud Pak Jorong sampai…

"Baiklah Pak Jorong. Besok Pak Jorong terima proposalnya".

"Terima kasih Aswad, kalau begitu aku pamit dulu, sekalian menuju sawah".

Pak Jorong pergi. Cangkul yang tadi parkir di depan pintu kembali pindah ke bahu. Alangkah berwibawanya Pak Jorong dengan cangkul itu. Pria tinggi besar, kuat. Berbaju kaus lusuh. Celana disingsing setinggi betis. Sebatang cangkul dipanggul di bahu kiri. Persis seperti lukisan yang kulihat di pameran. Tentu saja di kota. Di kota, jarang sekali aku melihat petani.

(Empat)

Ada sekitar seratus lebih cangkul hinggap di kulit bumi. Setapak demi setapak, rumput liar yang mengerubuti lapisan bumi terkelupas. Aroma tanah yang segar menguap ke udara. Begitupun telapak tanganku. Setiap hunjaman cangkul ke tanah, satu kulit telapak tanganku terkelupas. Terasa perih. Pangkal jari-jariku berbuku-buku, juga perih. Aku tak hendak menangis.

Mendadak aku jadi gamang dengan kesarjanaanku. Bagaimana aku bisa menjelaskan kepada petani cara-cara mengolah tanah yang baik bila aku tidak mengerti cara mencangkul?

Cangkul itu aku lempar. Pantatkupun aku hempaskan ke bibir parit.

"Sudahlah, Aswad. Jangan dipaksakan, ini pekerjaan kami. Kau kembali saja ke kota, he…he…he…!"

"Hey, Kau Tando". Itu temanku sewaktu SD. Gembira bercampur malu. Merah pipiku, hangat membakar dadaku.

"Buat apa sekolah tinggi-tinggi, jika harus memegang cangkul? Hayo..sekarang apa idemu ?". Tando seolah menatangku berkelahi. Berkelahi antar kultur anak muda desa yang terampil dengan kultur anak sekolahan seperti aku yang tertangkap pandir.

"Entahlah…’ndo"

Tak pernah aku sebingung ini. Kampung ini serasa asing bagiku.
Tiba-tiba terdengar suara ribut. Di ujung jalan sana telah terjadi kerumunan. Samar-samar kulihat sebatang tubuh digotong dan ditidurkan di pinggir jalan. Aku segera berlari kesana.

Ayah!. Ya, itu ayahku. Ayah memang tidak ikut gotong royong, karena hari itu bukan gilirannya. Sekujur badannya berlumur darah. Aku tak tahu di mana lukanya. Kuperiksa secara seksama ternyata bahu ayah luka menganga.

"Siapa yang melakukannya?"

Aku berteriak marah. Seperedaran mata, kulihat seorang pria setengah baya berdiri ternganga, persis seperti luka di bahu ayah. Cangkul berlumur darah dan tanah sawah berada di tangannya. Aku melihat rasa bersalah di matanya.

"Crash.."

Satu tebasan hinggap di bahunya.

(Lima)

25 Juli 2006
Bunga di taman penjara. Tetap cantik. Rumput liar di sekitar taman menjadi nuansa sendiri, mempertegas anggunnya bunga. Masih tak ada kumbang. Yang ada hanya aku dan sebatang cangkul.

Tiba-tiba aku merasa muak melihat cangkul ini. Meski bukan yang ini, yang sedang aku genggam, cangkul lah yang membawa aku ke penjara. Aku kalap dan gelap mata. Tanpa bertanya, cangkulku hinggap di bahu Pak Mancayo, pria setengah baya yang berdiri ternganga. Luka menganga juga meruyak di bahunya.

Aku telah membunuh Pak Mancayo. Aku kira, dialah yang melukai ayahku. Memang iya, menurut saksi mata, hanya ada pertengkaran kecil antara dia dan ayahku. Biasa bagi mereka yang hidup di kampung. Ayah dan Pak Mancayo bertengkar soal pematang sawah.

Pak Mancayo yang sawahnya lebih tinggi berusaha membersihkan pematang. Karena terlalu tebal mengikis pematang, membuat pematang pembatas sawahnya dan sawah ayahku meniipis. Ayah selalu menambal. Karena itu terjadi setiap musim ke sawah, ayah berusaha menegurnya. Ayah mulai tidak sabar karena lama-kelamaan sawah pak Mancayo semakin luas dan memakan sedikit dari sawah ayahku. Sawah pak Mancayo membuncit ke arah sawah ayah.

Pada waktu itu terjadi keributan kecil. Ayah berusaha merebut cangkul Pak Mancayo. Hingga keduanya tergelincir dari pematang. Cangkul itu hinggap di bahu ayah.
Ayah terluka dan masih hidup. Pak Mancayo juga terluka, olehku, dan meninggal dunia.
Kematiannya membawaku ke penjara. Keluarganya tidak bisa menerima.

Kembali kuamati cangkul di tanganku. Cangkulkah yang membawaku ke penjara ?
Tiba-tiba aku merasa muak. Terbayang di pelupuk mataku, cangkul berlumur darah dan tanah sawah. Aku mendadak muntah.
"Hoaaakh…" !!!
 


Tidak ada komentar: