15 Agustus 2008

Merdeka setinggi tingginya

Oleh: Muhammad Nasir

aku bawakan bunga untuk kau pahlawan bangsa
yang kubeli murah dipasar bawah dari ibu siapapun dia
rencananya akan kutabur di pusaramu yang bertopi baja

“wahai pahlawanku yang kesohor dan yang mati konyol!
sekedar informasi; bunga ini akan layu esok hari!”

setelah ini akan aku kabarkan
bahwa kemerdekaan itu berarti bendera
yang diderek tinggi-tinggi
yang tersisa hanya rasa perih di mata
ketika penghormatan dengan tangan d ijidat
dan mata meyipit kearah mentari
jam sepuluh pagi

kemudian dari pada itu kemerdekaan yang ada
hanya tangis haru veteran tua yang pulang upacara
setelah terima bintang mahaputra

adapun di jalan-jalan
masih ada teriakan halus dan kasar
dari rasa haus dan lapar
seterusnya pasti ada teriakan merdeka ! merdeka!
Setinggi-tingginya di ruang hampa tanpa gema
Sampai tahun berikutnya

agus2003

Republik Mutilasi


Republik Mutilasi
Oleh Muhammad Nasir

Bagaimana mungkin
orang yang tubuhnya cerai berai
dapat berpikir utuh

Bendera yang kokoh berkibar
tangan-tangan menjulur
merogoh apa saja yang mungkin
untuk diri mereka sendiri

kesatuan
tidak lebih seragam usang
pada saat perayaan pagan
nasionalis semu

potong!
potonglah apa yang mungkin
untuk memupus harapan kemarin

Proklamasi

Oleh: Muhammad Nasir

Sementara kami harus bersabar
Karena tiada tempat untuk masuk barisan
Menunggu detik-detik yang senatiansa berulang
Dari dulu hingga mendatang

Semua telah berbaris rapi
Jam sepuluh pagi
Matahari menghajar pegawai negeri
Perwira TNI dan Polisi
Membuat mata menyipit setengah hati
Sementara kami disini
Menikmati liburan hari ini
Sembari menonton televisi

Proklamasi
Denyutan sirene lebih mirip erangan
Tentang nasi yang terlanjur basi
Masak malam dimakan pagi

17082007

11 Agustus 2008

Pancing

Oleh Muhammad Nasir

Mau tahu rasanya menjadi perantau miskin, cobalah seperti Lano. Sehari itu ia meronggoh saja di tepi bandar. Memancing! Seratus cacing mungkin sudah ia sematkan di mata kail. Tetapi tak satupun ikan yang dapat. Sejauh ini Lano tak hendak meninggalkan bandar, karena setiap kail terumban ke dasar bandar, setiap itu pula mata kail itu dikutil ikan. Sayang tak ada yang menyangkut.

Entah mengapa nasib Lano seperti pemancing. Sudah seribu cara ia coba, tetapi tak satupun membuat kaya. Jangankan kaya, berkecukupan saja jarang. Setiap usaha selalu saja menjanjikan laba. Tetapi begitu harapan meninggi kenyataan membuatnya rugi. Persis seperti pemancing yang sial.

“Hari ini tak ada kerja,” lapor Lano pada bininya.

Lani, bini yang baik itu maklum saja. Apalah daya seorang Lano di kota yang tak tahu berkerabat. Berbeda ketika tiga tahun yang lalu di sebuah dusun kecil di kaki gunung merapi. Tak nasi ubi disungkah. Tanahnya yang subur memberi harapan dari hari ke hari. Betul-betul surga dunia.

Merantau adalah pilihan mereka berdua, orang-orang kecil yang tak punya sejarah di kampungnya. Satu-satunya yang patut disebut orang di kampungnya adalah anak kuminih, anak-anak keturunan PKI. Jika itu pantas disebut sejarah, alangkah malang. Sebab, Hitler tidak dinamakan tokoh sejarah karena meninggalkan ribuan mayat dan puing-puing.

Kakek mereka berdua memang anggota PKI. Dengan alasan sederhana membalas dendam kepada Angku Gadur nama kecil penghulu suku Pitopang yang tega merampas ladang kulit manis yang diteruka oleh nenek moyang mereka dari dulu-dulu. Tetapi apalah daya seorang simpatisan kecil PKI yang kerjanya ke sawah menanam padi.

Tangan-tangan kakek mereka memang tak berlumur darah. Tetapi kakek mereka ikut serta membakar rumah gadang suku Pitopang yang sudah kosong. Tidak disangka api yang berkobar-kobar ikut menghanguskan seorang perempuan pikun, yang entah kapan dan bagaimana tiba di rumah itu. Julukan kuminih kejam semakin lekat pada kakek-kakek mereka. Ditambah kewajiban lapor ke koramil di masa Orde Baru.

Tinggal di kampung tidak masalah. Tetapi selalu menjadi orang-orang tak bersejarah memang melelahkan. Puncak keinginan meninggalkan kampung halaman terjadi sehari setelah helat pernikahan. Hujan berkepanjangan membuat orang-orang enggan datang ke perhelatan. Lano dan Lani kecewa. Betapa tidak, dalam waktu yang tak jauh beda, seminggu sebelumnya keturunan Angku Gadur juga berhelat, orang kampung datang selaksa embun. Pasti dan berkerumun. “Sudahlah, tak ada yang dapat dipandang dari kita,” begitu kata mamak rumah mereka.

“Pergilah memancing, sejerat dua ikan cukuplah untuk hari ini. Beras segantang kemarin masih bersisa setekong,” saran Lani.

Begitulah sejarahnya Lano sampai ke tepi bandar. Semalam hujan lebat. Air tumpah sampai ke rumah. Periuk nasi bininya melayang kian kemari dibuai banjir. Periuk aluminium itu kosong melompong. Biasanya ikan banyak di bandar. Hujan lebat pasti melimpahkan keramba di muara isi-isinya. Itulah yang diharapkan Lano.

Begitupula apung-apung di atas air. Selalu saja berdenyut memberi harapan. Tetapi ikan yang diharap tak kunjung datang. Antara sabar dan harap Lano membiarkan kailnya berdenyut. Makin lama makin kuat. Hingga... “assalamu’alaikum langit, assalamu’alaimum bumi, assalamu’alaikum air, hep tah dapat! Puss... tali nilon itu putus menjelang ke tepi bandar. Ikan lele yang sangat besar terangkat sebelum terjun lagi ke air. Nasib belum berpihak kepada Lano.

“Ah, pancing kalera,” umpat Lano.

***

Entah sadar entah tidak , Lano sudah berada di dalam air. Berenang menyelinap di antar rumput banto. ”Ikan kalera itu harus dapat!” tekad Lano. Satu yang ada dalam benaknya, kalau tidak ikan itu yang dapat, pancingnya harus kembali. Lano yakin, mata pancingnya pasti ada di mulut ikan lele itu.

Dalam air yang keruh, terang-terang tanah ia dapat melihat ekor itu berkibar-kibar. Ow, ia berenang melawan arus. Suatu yang tak lazim bagi seekor lele. Biasanya ikan licin itu pasti menyelusup ke lubuk yang terdalam, terkelam dan terkeruh. Tetapi ini tidak. Lano yakin pasti ikan ini sedang mempermainkannya. 

“Akan ku kejar kau sampai ke muara!” teriak Lano marah. Suaranya menggelembung-gelembung di dalam air.

Makin lama arus semakin deras. Seiring dengan itu air berkilauan di timpa cahaya matahari. Airpun lama-kelamaan semakin jernih. Ikan lele itu masih terus berenang ke muara. Hingga lambat laun ia melihat sebuah gunung. Itu gunung Merapi.

“Aha, pucuk dicinta ulampun tiba. Aku berharap kau ikan peliharaan Angku Gadur,” Lano semakin gembira. Ia berharap ikan itu terus berenang ke muara hingga ke sebuah lubuk di belakang rumahnya, di mana ia sering memancing sewaktu bujang. Ia teringat, ada sebuah tangguk di belakang dapur. “Nasibmu berakhir di sebuah tangguk,” ancam Lano.

Benar saja, ikan itu berenang terus ke sebuah tempat yang sangat dikenal oleh Lano. Itulah lubuk di belakang rumahnya. Ia segera keluar dari lubuk. Tubuhnya bersih meski basah kuyup. Tujuannya jelas, ke belakang dapur mengambil tangguk. Ikan lele itu harus ia dapatkan dan dipersembahkan kepada istri tercinta; Lani!

“Akhirnya kau pulang juga Lano,” sapa seseorang.

“Aih, Biyai,” Lano terperanjat. Seseorang itu adalah ibunya. Entah mengapa, saat bertemu muka hatinya rindu. Tiga tahun merantau, perempuan tua itu entah di mana. Ingatannya tak sampai pada perempuan yang melahirkannya.

“Bagaimana engkau bisa sampai ke sini?, mana istrimu?” tanya perempuan itu.

“Lewat tali bandar ini. Ikan lele celaka itu telah memutus kailku. Aku terpaksa mengejarnya sampai ke sini,” jawab Lano.

“Kau bergurau Lano, mana mungkin?” bantah perempuan itu.

“Buktinya, aku sampai ke sini. Lihatlah, ini aku Biyai!” tegas Lano meyakinkan.

“Ya, sudahlah, tangkap ikanmu!” perempuan itu menyerah.

Menangkap ikan adalah perkara mudah. Orang sekampung tahu, Lano adalah hantu ikan. Di mana ada air di situlah rezeki Lano. Menanggkap ikan adalah permainan masa kanak-kanak baginya. Tak heran beberapa waktu kemudian lele itu sudah berada dalam tangguknya.

“Duduklah!” pinta ibunya lembut.

Lano duduk di samping ibunya. Selaksa rasa berkecamuk dalam dadanya. Rindu, malu dan entah apa lagi. Jujur saja, ia memang rindu pada ibunya.

“Sejauh itu dari kota, hanya ikan ini yang kau kejar?” perempuan itu bertanya. Wajahnya menyiratkan perasaan heran.

Lano bingung. Dari kota menangkap ikan hinga ke kampung halaman? Tidak mungkin! Lano ingin memukul-mukul kepalanya. Apa yang terjadi? Rasanya semua terjadi dengan penuh kewajaran. Sekejap saja. Ia ingat, ketika pancing ia sentakkan, lele itu terangkat sedepa, kemudian jatuh lagi ke air. Ia tahu pancingnya putus dan lele itu membawa serta mata kail yang tersangkut dimulutnya. Ia berenang mengejar ikan lele itu. Lalu sampai di kampung halaman. Mustahil. Apa yang harus ia jawab? Tak mungkin ada yang percaya.

“Begitulah Biyai,” jawabnya ragu-ragu.

“Sebaiknya kau memang harus kembali ke kampung. Bawa serta istrimu,” perempuan itu memberi saran.

“Pulang kampung? Memalukan. Tidak Biyai! Aku sudah bertekat tak pulang dulu sebelum berhasil!, sergah Lano. Pulang kampung meski sempat terpikir, bukanlah cita-citanya.

“Tapi, sudah tiga tahun kau tak pulang. Tanpa kabar baik ataupun buruk. Sekarang kau terlihat susah.” Perempuan itu seperti membaca keadaan Lano dari tubuhnya yang kurus dan bajunya yang lusuh. Selain itu, Lano terlihat tua. Pengalaman sebagai orang tua telah memberinya kearifan.

“Tidak, Biyai. Biarlah di rantau sengsara daripada di kampung tak dianggap siapa-siapa. Hari ini juga aku akan kembali!” Lano mengeluarkan kata mutiara. Tetapi orang-orang pasti tahu, itu ungkapan emosional orang-orang kalah.

“Ada sawah dan ladang yang bisa kau garap. Selain itu tak ada laki-laki di rumah ini, membuat keluarga kita semakin tak berarti.orang-orang bersilantas-angan saja pada kita.” Perempuan itu masih berharap.

“Nantilah aku pikirkan. Sekarang aku harus pulang!” tampik Lano.

“Kalau itu maumu,” jawab perempuan itu putus asa. Perempuan itu masuk melalui dapur. Beberapa saat kemudian tangannya menating sekantong beras.

“Ini, bawalah untuk istrimu. Untuk cucuku juga kalau sudah ada.” Perempuan itu mengangsur bungkusan itu ke tangan Lano.

Lano jengah. Ada sesuatu yang bergerak dari ujung kaki ke ujung kepalanya. Lano tahu yang bergerak itu adalah urat --urat malu--.

“Jangan Biyai, aku hanya butuh mata pancingku. Ikan lele ini untuk Biyai saja,” seraya menepis hibah kasih sayang itu. 

Seusai berkata Lano langsung terjun ke tempat semula. Dari lubuk ke tali bandar hingga membiarkan dirinya hanyut dibawa arus ke hilir. Mata pancing itu masih di tangan kirinya. Dalam hati ia berucap. “alhamdulillah, mata pancing itu berhasil aku ambil!”

Dalam khidmatnya bersyukur, kepalanya terasa terantuk batu. Begitu membuka mata ia sudah berada di tepi bandar, tertelentang menghadap langit. Ada banyak orang disekitarnya. Satu saja yang berwajah khawatir; Lani istrinya.

“Uda mungkin lapar, hingga pingsan jatuh ke bandar,” kata Lani menahan tangis.

“Pingsan?” Lano terkejut. Buru-buru ia melihat ke tangan kirinya. Mata pancing itu terselip antara ibu jari dan telunjuknya. Tidak mungkin! Mata pancing ini ia kejar hingga ke kampung. Dan mustahil juga bila ia sebut ke orang-orang bahwa ia baru saja bertemu ibunya.

“Bagaimana bisa?” Teriakan Lano membuat orang tertawa-tawa. [MN]

Banda Bakali,31 Juli 2008

Daftar Istilah Minang
Kuminih : Cara kebanyakan orang Minangkabau melafalkan kata “Komunis”
Kalera : Umpatan khas Minang, senada dengan kata “Sialan”
Biyai : Sepadan dengan Ibu, dialek Agam Timur dan sebagian Bukittinggi.
bersilantas-angan : Berbuat semaunya, seenaknya.



CANGKUL


Oleh: Muhammad Nasir

(Satu)

25 Juli 2006
Sipir itu memberikan cangkul. Sedikit instruksi yang ia berikan.
"Tolong bersihkan taman sekitar LP dan juga sampah di dalam selokan", katanya bersahabat.

Sipir itu berlalu tanpa beban. Sebatang rokok menyala terang di mulutnya.
"Sss..hhh…", begitu suara desisan kenikmatannya merasuk ke paru-paru.
"Semoga bukan rokok itu yang membunuhmu", rutukku dalam hati.

Meskipun namanya Lembaga Pemasyarakatan, bagiku tetap penjara. Mengurung diriku di tempat sempit di mana manusia yang ada hanya itu ke itu saja. Sesekali berganti hanya penghuni lama dan baru. Seminggu di sini, aku rasa baru satu yang menghabiskan masa hukumannya. Yang lainnya datang dengan berbagai alasan. Pindahan dari LP lain atau mungkin titipan kejaksaan. Entahlah, aku tak tahu persis tentang mereka yang datang dan pergi dari penjara ini.

Beberapa saat, aku mulai sadar ternyata cangkul itu telah berada dalam genggamanku. Perlahan dan malas-malasan pandanganku tertuju pada taman. Bunga-bunga tumbuh mekar dan belum kulihat satupun kumbang hinggap di sana. Aku juga bukan kumbang itu.

Aku juga melihat selokan. Airnya hitam seperti kelamnya sel itu bila sipir memadamkan lampu. Penghematan, kata sipir. Konon, PLN saat ini mengalami kelebihan beban. Terpaksa lampu dimatikan. Nanti, pukul 22.00 WIB dinyalakan. Dan air selokan itu memang hitam. Aku tidak dapat berkaca, melihat diriku sendiri di air yang tenang. Aku juga bukan selokan itu, yang hitam dan bau.

Taman yang bagus ada yang membersihkan. Selokan yang bau ada yang memperhatikan. Aku tidak bersih dan tidak bau. Adakah yang mensucikan?
Tiba-tiba aku merasa hitam legam.

"Brukk…".

Cangkul itu aku lemparkan.
Pikiran kelamkulah yang membawaku ke penjara ini.

(Dua)

Namaku Aswad. Kulitku putih bersih, kontras dengan namaku yang dalam bahasa Arab berarti hitam. Kata orang tuaku, Aswad itu berasal dari batu bersejarah di Ka'bah yang selalu dicium orang saat umrah dan musim hajji. Hajar Aswad.

Baru dua bulan aku di kampung semenjak diwisuda. Pulang dengan membawa gelar sarjana pertanian. Kepulanganku bukan tanpa kesengajaan. Di samping rindu kampung halaman, saat musim pemilihan kepala daerah sekarang ini, aku ditugaskan untuk menjadi simpul pemenangan pemilu di daerahku. Maklum mantan aktivis kampus yang malang melintang antara kantor Pemda dan ruang sidang legislatif, tenagaku dianggap perlu. Sungguh suatu kebanggaan bagi diriku. Tidak semua pemuda seusiaku yang dapat melakukannya.

Kini aku termenung di dangau tengah sawah. Mengingat kembali masa kecil 15 tahun yang lalu. Sawah basah yang puas ku rancah untuk mendapatkan ikan dengan tangguk kecil yang dibelikan ibu. Tali Bandar yang mengairi sawah telah ku telusuri. Tali Bandar itu masih seperti dulu. Bersih dengan sedikit rumput hijau menghias pinggiran pematang. Air bening mengalir menyanyikan kepastian hokum alam. Mengalir dari hulu menuju hilir. Bila saat diperlukan air itu dituntun mengairi sawah, patuh dan pasrah sesuai sunnatullah.

Selepas SD aku melanjutkan ke pesantren, tentu saja di luar desaku. Desaku sekarang sudah berubah menjadi Nagari. Pasca Orde Baru, desaku menjadi Jorong, unit terkecil di bawah pemerintahan Nagari di Sumatera Barat.

Anganku berlanjut. Kemaren Pak Jorong, begitu warga jorong ini menyebut Wali Jorong kami mengeluhkan diskriminasi Wali Nagari terhadap jorong kami. Diskriminasi itu kata pak wali jorong disebabkan letak geografis daerah ini yang tidak menguntungkan. Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN) ternyata tidak cukup untuk membangun jembatan yang menghubungkan antar jorong yang dibatasi sungai selebar 20 meter atau lebih. Saat ini hanya ada jembatan gantung yang kami sebut rajang. Jembatan itu bergoyang bila dilintasi orang, mengikuti irama langkah orang yang tenang maupun gamang.

"Apa yang harus kita lakukan Aswad?. Kamu kan sarjana, saya pikir kamu bisa memberikan jalan ke luar mengatasi ketertinggalan kampung kita ini", demikian suatu kali Pak Jorong membagi beban pikirannya pada ku.

Sekarang aku melamun di dangau buatan ayah.

"Aswad, ayah sudah membeli cangkul baru. Bagaimana menurutmu, bagus tidak?".
Tersadar aku. Ternyata ayah sudah ada di depanku. Memang tadi pagi ayah menyuruhku duluan ke sawah. Ayah harus ke tukang apa Ternyata urusan cangkul.

"Dapat dari mana, 'yah?". Bodohnya aku. Sudah gaharu cendana pula.Sudah tahu bertanya pula. Padahal pertanyaan konyol itu sekedar memunculkan kesan tertarik. Agar ayahku tidak kecewa.

"Bagus, tidak?"

Oow, ternyata ayah butuh penilaianku.
"Ya, bagus yah, rasanya kita tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk mengayunnya", akhirnya aku memberi penilaian seraya menimang-nimang cangkul itu. Sungguh mati, aku tidak tahu banyak tentang cangkul.

"Apa cangkul ini memenuhi persyaratan?. Apa kampusmu punya standar tentang cangkul yang baik, Aswad? Atau…kira-kira merk apakah yang dipakai di kampusmu, Cap Buaya kah?" Ayah bertanya bertubi-tubi.

Sungguh mati, pertanyaan ini lebih sulit dari pertanyaan para penguji dalam ujian komprehensif yang mengantarku jadi sarjana. Apa sarjana pertanian seperti aku ini juga harus tahu soal cangkul?

Tiba-tiba aku merasa ada komunikasi yang terputus antara aku, ilmu pertanian dan masyarakat petani seperti ayah. Begitu dangkalkah pengetahuan masyarakat tentang fakultas pertanian atau fakultas pertanian yang berdiri terlalu tinggi sehingga tidak mengenal apa sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat petani. 

Ini baru soal cangkul. Terus terang, aku hanya tahu soal hama dan penyakit tanaman, meski seumur-umur, secara persis aku belum melihat bagaimana rupa hama yang dikaji di almamaterku. Aku cukup hapal nama-nama latin dari hama. Tetapi bagaimana rupa dan bahasa ayahku menyebut hama latin itu, wallahua'lam.

"Ha…ha…ha…". Aku tertawa selepasnya seperti apung-apung yang timbul tenggelam di goda ikan.

"Kenapa, nak ?"

"Tidak yah, tidak ada standard cangkul di kampusku. Bahkan Prof. Dr. Ir. Pertanianpun belum tentu hapal merek-merek cangkul yang beredar di masyarakat tani".

"Lalu…?

"Yang penting cangkul itu bisa digunakan dan tidak melepuhkan tangan petani yang memegangnya", jawabku mencoba berpendapat.

"Ha…ha…ha…". Kami tertawa berbarengan.

"Aku kira…, ah, sudahlah Aswad. Ayah coba dulu cangkul ini. Kau boleh pilih, mau memakai cangkul baru ini atau cangkul lama? Cangkul lama ada di bawah kolong. Ayah turun ke sawah dulu sekedar membersihkan pematang."

Aku tidak melihat beban di kepala Ayah. Sepertinya, begitu ayah tahu aku menyelesaikan studi, ayah merasa bahagia. Menguliahkan anak bagi seorang petani kecil seperti ayah adalah sebuah kebanggaan. Begitupun bagiku, menjadi sarjana ke tiga di jorongku. Pertama, Saifuddin, Sarjana Agama. Kedua, Sahmadan, sarjana sosial dan ke tiga aku sendiri, Aswad, Sarjana Pertanian. Belum ada sarjana yang wanita.

Ayahku memang petani. Sementara aku? Sarjana pertanian. Petani bukan, ahli pertanian juga bukan. Mungkin aku pengangguran. Statistic di BPS mungkin bertambah. Aku salah satunya.

Enam tahun masa kuliah, aku habiskan di organisasi. Teman-teman menyebutku aktivis. Adik-adik tingkatku memanggilku Abang. Asal tahu saja, setiap tahun panggilan abang ini seolah-olah menambah wibawaku di mata mahasiswa. Tak jarang dadaku menggembung seperti tembolok ayam saking bangganya. 

Bahuku naik setinggi telinga seperti kucing sedang bertengkar. Selama itu, mungkin hanya lima semester aku merasa benar-benar kuliah. Selebihnya, larut dalam dinamika organisasi. Hanya duapuluh persen ilmu pertanian yang aku serap. Itupun karena kewajiban menulis skripsi. Soal politik, jangan tanya lagi. Akulah jagonya. 

Koran-koran menulisku tokoh mahasiswa angkatan reformasi, yang selalu dimintai pendapat. Soal BBM, presiden, Pilkada, korupsi dan sebagainya. Kumpulan kliping korang tentang diriku selalu ku bawa ke mana-mana. Kadang-kadang aku perlihatkan kepada siapa saja. Sekarang aku berpikir, kenapa dahulu aku tidak berdemo tentang cangkul? Tepatnya, cangkul murah untuk petani seperti ayahku.

Aku ambil cangkul di kolong itu. Cangkul usang. Mungkin hanya tinggal sepertiga dari aslinya. Kasihan ayah, selalu mengayun cangkul usang. Betapa sering telapak tangan ayah terkelupas mengayun cangkul buruk ini.

"Made in China", tertulis di sisa cangkul itu. Yang dibeli ayah tadi made in Indonesia. Cuma adakah tertulis di cangkul itu made in Indonesia?

"Aswad, kau pulanglah duluan, tak usah bekerja sekarang. Taruh saja cangkulmu, di rumah Pak Jorong mungkin sudah menunggu. Ia ingin bicara denganmu. Tadi ayah lupa menyampaikannya".

Ayah berteriak di ujung sawah.

(Tiga)
Benar saja. Pak Jorong sudah menunggu di rumah. Sebatang cangkul parkir di depan pintu rumah ibuku.

"Sudah lama Pak Jorong?", sapaku.

"Ah, kau Aswad? Belum,belum lama, baru saja". Pak Jorong berseri-seri. Sepertinya kehadiranku ditunggu-tunggu. Ada perasaan lain. Tak pernah kurasakan rasa harap yang begitu besar terpancar dari orang-orang yang pernah menungguku, sewaktu menjadi aktivis. Sungguh keceriaan yang tulus.

Kegiatan basa-basi telah usai. Aku segera menuntun Pak Jorong menuju persoalan.
"Ada apa Pak Jorong?, Apa ada informasi bagus untukku?

"Ah, tidak. Biasa saja Ad, -[itu panggilanku waktu kecil]-,besok kita akan gotong royong. Jadi…"

"Jangan repot-repot Pak Jorong, kalau cuma itu tak perlu sampai harus mengunjungiku. Titip pesan sama orang lainpun bisa. Aku pasti hadir besok". Aku memotong perkataan Pak Jorong, persisi interupsi anggota dewan.

"Begini Aswad, betul kita besok gotong royong, hanya saja aku butuh kamu besok".

"Iya, aku setuju"

"Tentang Jorong kita, Aswad. Pak Wali Nagari bersedia membangun jembatan ke Jorong kita. Syaratnya kita harus bersedia membersihkan jalan menuju lokasi. Setelah itu, rajang itu harus diperbaiki agar bisa dilewati".

"Kenapa begitu Pak Jorong? Kenapa tidak dibongkar saja rajang tersebut, dan sekalian kita bangun yang baru?"

"Aswad,.. dasar anak muda". Pak Jorong tersenyum. Senyum itu memukulku. "Dasar anak Muda?". Aku langsung tersipu. Aku malu, merasa dapat menyelesaikan segala-galanya dengan mudah. Maklum mantan aktivis.

"Itulah masalahnya. Kata Pak Wali Nagari, jalan dan jembatan itu akan ditinjau oleh Pak Datuk Tanamo, itu… calon bupati kita, dari partai…entah aku sendiri lupa partainya. Meski cuma calon bupati, rasanya tak enak dipandang mata. Bila kondisi jalan dan rajang kita semrawut".

Nah, ini yang langka!. Pelayanan yang ikhlas dari rakyat. Agar kampung tidak semrawut, agar sepatu calon bupati tidak kotor, masyarakat harus bekerja keras. Tapi kondisi ini yang tidak aku senangi. Ketika calon bupati atau malah bupati sekalian yang akan hadir, rakyat berusaha keras memberi pelayanan yang baik. Coba saja, kalau rakyat yang datang ke kantor bupati, belum tentu ada bentangan karpet merah. Bahkan baru-baru ini, saking lugunya, seorang warga kampungku mesti menanggalkan terompa dan berjalan membungkuk-bungkuk. Menegur Pak…Buk…kiri kanan, meski yang disapa cuma tukang sapu di kantor itu.

"Biar saja begitu,Pak. Apa adanya. Mudah-mudahan Pak Datuk Tanamo itu tersentuh melihat kondisi daerah kita, dan siapa tahu ia berbaik hati menebar uang kepada warga yang melambaikan tangan disepanjang jalan. Kan mantap, kampung kita ini beraspal uang. Ha…ha..ha..", aku mencoba berseloroh. Tertawa seperti kuda kegirangan.
Pak Jorong juga tertawa. Tawanya ku dengar seperti VCD rusak. Lagi-lagi aku tersipu malu.

"Begini Ad", Pak Jorong memperbaiki posisi duduknya. Mencoba membuatku lebih serius. Ia melanjutkan ucapannya. "Ini kan musim Pilkada. Para calon bupati berlomba-lomba datang ke kampung kita. Lumayan, di sini ada sekitar 2000 lebih suara. Maksud saya, terlepas dari persoalan Pilkada, jalan dan rajang kita memang sudah pantas untuk dibersihkan dan diperbaiki. Syukur, kalau ada bantuan dari calon bupati. 

Kalau tidak ada, ya… tak apa-apa. Toh, yang bersih itu kampung kita juga. Jadi menurut saya, kita manfaatkan momen ini untuk bersih-bersih. Kalau tidak begini caranya, susah mengajak masyarakat kita untuk berpartisipasi, bergotong royong", papar Pak Jorong panjang lebar.

Luar biasa Pak Jorong. Di luar dugaanku. Pak Jorong yang tamat SD tetapi…
Untuk kesekian kalinya aku digunduli. Aku merasa konyol dan tolol di muka Pak Jorong.

"Lalu, apa yang bisa saya lakukan Pak?"

Barulah aku sadar, ternyata Pak Jorong sedang berusaha memancing aku. Sejauh mana kepintaranku membaca situasi dan mengambil manfaat dari situasi itu.

"Aswad, bagiku, yang penting kampung ini bersih dan rapi. Aku juga berharap kampung kita dapat bantuan. Gotong royong itu, biar aku yang urus. Cuma, masalah bantuan, aku berharap kamu bisa menyusun permohonan, proposal atau apalah namanya. Aku juga berharap, kau langsung bicara dengan Pak Datuk Tanamo. Beliau lama tinggal di Jakarta. Katanya ia tidak begitu fasih berbahasa Minang. Kata orang kampung lain yang sudah dikunjunginya, ia selalu bicara bahasa Jakarta. Kau kan sarjana, Ad. Ku pikir bahasa Indonesiamu lebih bagus. Aku khawatir seandainya aku yang bicara bahasa Indonesia lidahku bisa terpatah-patah, ha…ha..", Pak Jorong meledakkan tawanya.

Sejenak ku resapi maksud Pak Jorong sampai…

"Baiklah Pak Jorong. Besok Pak Jorong terima proposalnya".

"Terima kasih Aswad, kalau begitu aku pamit dulu, sekalian menuju sawah".

Pak Jorong pergi. Cangkul yang tadi parkir di depan pintu kembali pindah ke bahu. Alangkah berwibawanya Pak Jorong dengan cangkul itu. Pria tinggi besar, kuat. Berbaju kaus lusuh. Celana disingsing setinggi betis. Sebatang cangkul dipanggul di bahu kiri. Persis seperti lukisan yang kulihat di pameran. Tentu saja di kota. Di kota, jarang sekali aku melihat petani.

(Empat)

Ada sekitar seratus lebih cangkul hinggap di kulit bumi. Setapak demi setapak, rumput liar yang mengerubuti lapisan bumi terkelupas. Aroma tanah yang segar menguap ke udara. Begitupun telapak tanganku. Setiap hunjaman cangkul ke tanah, satu kulit telapak tanganku terkelupas. Terasa perih. Pangkal jari-jariku berbuku-buku, juga perih. Aku tak hendak menangis.

Mendadak aku jadi gamang dengan kesarjanaanku. Bagaimana aku bisa menjelaskan kepada petani cara-cara mengolah tanah yang baik bila aku tidak mengerti cara mencangkul?

Cangkul itu aku lempar. Pantatkupun aku hempaskan ke bibir parit.

"Sudahlah, Aswad. Jangan dipaksakan, ini pekerjaan kami. Kau kembali saja ke kota, he…he…he…!"

"Hey, Kau Tando". Itu temanku sewaktu SD. Gembira bercampur malu. Merah pipiku, hangat membakar dadaku.

"Buat apa sekolah tinggi-tinggi, jika harus memegang cangkul? Hayo..sekarang apa idemu ?". Tando seolah menatangku berkelahi. Berkelahi antar kultur anak muda desa yang terampil dengan kultur anak sekolahan seperti aku yang tertangkap pandir.

"Entahlah…’ndo"

Tak pernah aku sebingung ini. Kampung ini serasa asing bagiku.
Tiba-tiba terdengar suara ribut. Di ujung jalan sana telah terjadi kerumunan. Samar-samar kulihat sebatang tubuh digotong dan ditidurkan di pinggir jalan. Aku segera berlari kesana.

Ayah!. Ya, itu ayahku. Ayah memang tidak ikut gotong royong, karena hari itu bukan gilirannya. Sekujur badannya berlumur darah. Aku tak tahu di mana lukanya. Kuperiksa secara seksama ternyata bahu ayah luka menganga.

"Siapa yang melakukannya?"

Aku berteriak marah. Seperedaran mata, kulihat seorang pria setengah baya berdiri ternganga, persis seperti luka di bahu ayah. Cangkul berlumur darah dan tanah sawah berada di tangannya. Aku melihat rasa bersalah di matanya.

"Crash.."

Satu tebasan hinggap di bahunya.

(Lima)

25 Juli 2006
Bunga di taman penjara. Tetap cantik. Rumput liar di sekitar taman menjadi nuansa sendiri, mempertegas anggunnya bunga. Masih tak ada kumbang. Yang ada hanya aku dan sebatang cangkul.

Tiba-tiba aku merasa muak melihat cangkul ini. Meski bukan yang ini, yang sedang aku genggam, cangkul lah yang membawa aku ke penjara. Aku kalap dan gelap mata. Tanpa bertanya, cangkulku hinggap di bahu Pak Mancayo, pria setengah baya yang berdiri ternganga. Luka menganga juga meruyak di bahunya.

Aku telah membunuh Pak Mancayo. Aku kira, dialah yang melukai ayahku. Memang iya, menurut saksi mata, hanya ada pertengkaran kecil antara dia dan ayahku. Biasa bagi mereka yang hidup di kampung. Ayah dan Pak Mancayo bertengkar soal pematang sawah.

Pak Mancayo yang sawahnya lebih tinggi berusaha membersihkan pematang. Karena terlalu tebal mengikis pematang, membuat pematang pembatas sawahnya dan sawah ayahku meniipis. Ayah selalu menambal. Karena itu terjadi setiap musim ke sawah, ayah berusaha menegurnya. Ayah mulai tidak sabar karena lama-kelamaan sawah pak Mancayo semakin luas dan memakan sedikit dari sawah ayahku. Sawah pak Mancayo membuncit ke arah sawah ayah.

Pada waktu itu terjadi keributan kecil. Ayah berusaha merebut cangkul Pak Mancayo. Hingga keduanya tergelincir dari pematang. Cangkul itu hinggap di bahu ayah.
Ayah terluka dan masih hidup. Pak Mancayo juga terluka, olehku, dan meninggal dunia.
Kematiannya membawaku ke penjara. Keluarganya tidak bisa menerima.

Kembali kuamati cangkul di tanganku. Cangkulkah yang membawaku ke penjara ?
Tiba-tiba aku merasa muak. Terbayang di pelupuk mataku, cangkul berlumur darah dan tanah sawah. Aku mendadak muntah.
"Hoaaakh…" !!!
 


Empatbelas juta


Cerpen Muhammad Nasir


“Setidaknya, saya butuh empatbelas juta, rupiah.” Suara itu terdengar lemah dan takut-takut. Setelah itu hanya diam. Rumah yang terletak di perkampungan sejuk itu berubah seperti kotak yang hanya memuat satu rekaman saja.

Dingin yang menusuk-nusuk tidak dapat ditahan oleh Wan Leno. Paru-parunya bengkak. Sebongkah air seolah membeku di sana. Air itu mungkin saja air mata. Air mata yang jatuh ke dalam. Suara jangkrik dan pekikan kodok entah ke mana. Si Pirang, anjing kesayangan Wan Leno tak lagi mendengus. Betina siapa lagi yang hendak dikawininya.

***

Keheningan itu akhirnya pecah di atap. Butiran air itu terasa menabuh genderang perang, perang di kepala Wan Leno dan juga Saparman. Sungguh tak berirama, kecuali gemuruh yang memekakkan telinga.

Wan Leno lantas teringat kerbau yang dikandangkan di ladang. Nun, setengah kilo dari rumah. Setidaknya malam ini kerbau betina itu harus tidur di dangau samping rumah. Esok Mak Gindo akan meminjam kerbau itu untuk mengilang tebu. Sudah dua hari ini kerbau Mak Gindo mogok bekerja, sebab anaknya yang berumur satu tahun hilang.

Sekarang hujan. Wan Leno tak mungkin lewat di sela-selanya. Tetapi dingin yang menusuk tak menghalangi langkah tuanya. 

***

Saparman Tanjung tak pernah mengimpikan kemewahan di tengah pestapora kemiskinan keluarganya. Beberapa kertas yang dimiliki ayahnya, di antaranya timah rokok, kotak obat nyamuk dan entah apa lagi berisi catatan hutang.

Di tengah itu semua, Saparman Tanjung mendekam di kamar yang senatiasa setia memelihara ingatannya semenjak kecil. Dinding kamar itu tidak berubah dari tahun-ke tahun. Kalaupun boleh disebut perubahan, warna kekuning-kuningan dan sebagian menghitam adalah wujud menuanya usia bangunan itu. Tidak terlalu tua, paling tidak sedikit saja di bawah usianya yang sekarang menginjak sembilan belas tahun.

Dinding itu merekam semuanya. Salahsatu dinding ke arah kiblat memuat goresan ayahnya, Wan Leno; Husni, lhr tgl 06/06 1993. Itu nama adiknya, almarhum meninggal 3 tahun setelah dilahirkan. Kata ayah, Husni meninggal karena jatuh di dekat sumur. Orang kampung menyebutnya tasapo.* Begitu jatuh senja itu, esoknya badan Husni panas tinggi. Seminggu setelah itu Husni meninggal, sesuatu bengkak bernanah sebesar telur ayam tumbuh di alis kiri Husni.

Di utara kamar ada lukisan pertamanya: gambar kerbau dan seorang wanita. Gambar itu tidak bagus. Darmi, Ibunya pernah memarahinya habis-habisan, karena arang yang ia gunakan untuk melukis itu jatuh ke lantai, dan di sana ada selendang yang akan dipakainya ke sekolah, menjemput rapor Saparman. Di atas coretan itu ada foto perempuan berusia tak lebih dari tigapuluh. Itulah ibunya. Wan Leno tak hendak kawin lagi. Katanya malu dengan kemiskinan yang lekat di badan dirinya. Tak percaya diri.

“Empatbelas juta!” Saparman menikmati gumamnya. 

Gumam itu tidak mempengaruhi suasana. Entah mengapa frasa itu telah menciutkan tulang rusuknya masuk kedalam. Dan udara segera memenuhi rongga dadanya.

***

“Kenapa tidak masuk IAIN saja? Setidaknya aku bisa berpikir mencari akal untuk memenuhi biaya masuknya.” Wan Leno mencoba menawar. Ia telah kembali dari ladang. Dengus kerbau sudah terdengar.

Empatbelas Juta. Wan Leno merasa itulah angka tertinggi dalam sejarah hidupnya. Belum pernah ia menginginkan sesuatu dengan besaran angka segitu. Saparman mengatakan, berdasarkan pengalaman orng sudah berangkat kuliah ke Timur Tengah, harus ada uang di tangan sekitar jumlah itu dengan kurs rupiah zaman sekarang. Angka itu mulai diukur dari kampung hingga ke Timur Tengah. Alangkah jauh dan mewah.

Saparman terpekur dalam. Saat itu sebenarnya ia ingin masuk ke rongga terdalam mata orang tua itu. Apa yang dipikirkan ayah yang sangat dihormatinya. Dulu ayah pernah sekali dua mengatakan, sebaiknya setelah tamat Aliyah istirahat saja dulu. Jangan berpikir untuk kuliah. Nanti kalau ada jalan, beliau berjanji akan menguliahkan Saparman.

Saparman sangat mengerti. Ada kegamangan dalam batin Wan Leno. Saparman memang tak pernah berpikir untuk kuliah. Impian itu terlalu mewah untuk anak miskin seperti dirinya.

“Orang-orang sangat mengharapkan kehadiranmu di kampung kita. Haji Usman sudah terlalu tua untuk menjadi Imam. Ada banyak anak yang bisa kau ajar mengaji. Dan selebihnya waktumu dapat kau gunakan ke sawah bersama ayah. Rasanya tak kurang mulianya hidup menjadi petani dan ustad kampung,” Wan Leno setengah berpetuah.

Saparman merasa itu sebagai bahasa kekalahan dari ayahnya. Dalam kekalahan itu, ayahnya tak ingin terpuruk terlalu dalam dan berusaha menahan serangan Saparman. Serangan? Entahlah. Saparman merasakan berita kelulusannya untuk program beasiswa ke Timur Tengah memukul mental Wan Leno. Terutama tentang angka-angkanya. Empatbelas juta.

“Ayah, sebenarnya aku memang tak ingin kuliah. Tapi...”

Saparman ingat, siang itu Pak Masri, guru bahasa Arab di Aliyah tempat ia bersekolah menerima sepucuk surat undangan untuk mengikuti tes beasiswa S.1 ke Timur Tengah. Pak Masri sangat tahu, ke mana surat itu harus di berikan. Saparman Tanjung, orangnya.

“Sebaiknya engkau coba dulu. Inikan beasiswa. Mudah-mudahan inilah caranya supaya engkau bisa terus belajar agama,” kata Pak Masri.

“Apa saya bisa, Pak?” jawab Saparman tak yakin. Bertahun-tahun belajar agama, tak sekalipun terlintas untuk pergi ke Timur Tengah, tempat di mana agama ini meneruka sejarah.

“Ya, sekolah ini menaruh harapan besar padamu. Sejauh ini kaulah yang paling banyak hapal al Qur’an dan paling baik bahasa Arabnya.” Pak Masri mencoba membesarkan.

Harap dan sesal berbaur menjadi satu. Perasaan itu menjelma dalam diri Wan Leno. Saparman Tanjung merasa telah mengganggu kegembiraan Wan Leno, ayahnya seusai perayaan perpisahan sekolah. 

Tak terbayangkan bangganya Wan Leno ketika Drs. Bidar Alamsyah, kepala sekolah memuji-muji Saparman Tanjung setinggi langit. Wan Leno, yang sudah akrab dengan pujian kepala sekolah itu, merasa inilah pidato terbaik pria jangkung asal seberang itu.

“Saparman Tanjung! Entah mengapa nama ini memaksa kami dari pihak madrasah untuk memesan limaratus eksemplar koran, yang sekarang ada di tangan bapak-bapak dan ibuk-ibuk.” Kata Drs. Bidar Alamsyah ba’da mukaddimah. 

Koran? Wan Leno baru tahu apa arti bagi-bagi koran pagi tadi. Awalnya ia menduga ada kampanye. Misalnya, salah seorang anggota Komite Sekolah akan maju menjadi anggota legislatif. Buru-buru koran itu ia bolik-balik.

Tepuk tangan bergemuruh. Suaranya seperti memijit seluruh tubuh Wan Leno. Hilang sudah penat tubuh. Tiba-tiba tubuhnya bersimbah peluh menahan rasa bangga. Entah mengapa ia sudah berdiri dan bertepuk tangan dengan keras. Akhirnya ia malu sendiri, begitu kepala sekolah melanjutkan pidato.

“Di sanalah foto Saparman Tanjung, dengan latar belakang madrasah kita ini dimuat. Saya sudah pesan salah seorang wartawan terbaik dari koran terbaik untuk menulis besar-besar nama Saparman Tanjung dan nama madrasah ini.”

Wan Leno merasa seluruh pujian juga melimpah kepadanya. Setidaknya, seusai pidato nanti kepala sekolah pasti memanggil Saparman dan dirinya menuju pentas. Terbayang ada bingkisan untuk Saparman dan sedikit pujian untuk lelaki hebat sepertinya.

“Saparman telah berhasil mengangkat nama baik madrasah ini, dengan memperoleh nilai ujian akhir tertinggi se-kabupaten. Atas nama sekolah saya mengucapkan terima kasih kepada Saparman Tanjung.”

Tepuk tangan kembali bergemuruh. Tetapi hingga usai pidato, pujian dan panggilan tidak kunjung keluar dari mulut pak kepala sekolah. Wan Leno ingin merobek-robek koran itu. Harganya lima ribu.

Wan Leno ingat, kemarin Saparman Tanjung meminta uang limaribu rupiah. Katanya, Pak Kepala Sekolah ingin membeli koran untuk dibagikan ke wali murid. Isinya tentang kemajuan sekolah. Ia melihat harga di pojok koran itu. Harga eceran tigaribu rupiah! 

“Guru Kalera!* Wan Leno langsung menyumpah.

Hujan sudah reda. Tetapi malam tidak bisa dihentikan. Meskipun begitu malam terasa lama. Dua beranak itu hanya bisa membisu. Hanyut dalam pikiran masing-masing. Foto Darmi, ibu Saparman Tanjung langsung menjadi saksi bisu dua pria yang mungkin tak sempat ia suguhi kasih sayang. Darmi yang malang mati muda. Di foto ia tersenyum kecut, itulah peninggalannya, senyum yang takut-takut, wanita desa yang penurut.

“Tidak ada jalan lain, kita jual saja kerbau itu.” Wan Leno memecah keheningan.

Saparman terperanjat. Ia tahu kerbau itu satu-satunya kekayaan ayahnya. Semenjak ia sekolah makhluk hitam bulat itu sudah seperti istri ke dua bagi ayahnya. Rumput di carikan, kubangan disediakan, kotor dimandikan. Sekali waktu ia dengar ayahnya bercerita-cerita dengan kerbau itu.

“Tapi ‘yah, aku belum putuskan...” Saparman tercekat.

“Sudahlah”

“Yah, aku belum putuskan, apakah aku harus terima beasiswa itu atau tidak. Aku baru menyampaikan saja.”

***

Pagi muncul dengan percaya diri. Kokok ayam bersahut-sahutan. Tetapi di rumah masih gelap. Listrik kembali padam. Sepertinya kokok ayam sudah cukup pengganti azan. Subuh sudah datang. Wan Leno tidak ada di rumah. 


Ah, biasa, pikir Saparman. Memang itulah kebiasaan ayahnya. Paling-paling setelah subuh ia segera ke sawah, memastikan tidak ada pematang yang runtuh. Hujan semalam memang terlalu deras. Berjuta ton air tumpah ke bumi dan sedikit di antaranya menggenangi dada Saparman. Pembicaraan malam terlalu berat. 

Tetapi tiba-tiba...

“Saparmannnn...!” suara itu parau, suara Wan Leno.

Itu suara ayahnya. Saparman bergegas menuju arah suara itu. Tidak salah lagi itu dari kandang kerbau. Apa sepagi ini Wan Leno sudah hendak berangkat menjualnya.

“Ada apa ‘Yah?”

“Kerbau kita hilang!”

Ah, Saparman merasa pembicaraan tadi malam terlalu mahal. Bermimpi saja tak dapat, kenyataan malah terjual. Lenyap dibawa kerbau.

Dalam terang-terang tanah, antara cemas dan gundah, Saparman masih sempat bertanya; 

“Berapa harganya ‘Yah?”

Setidaknya ada delapan atau sembilan juta!” [*]
Parak Jigarang, 16 Juli 2008

Istiah bhs. Minang:
Tasapo: kerasukan roh halus
Kalera: sialan [umpatan]


Kredit Foto:
http://blontankpoer.blogsome.com/2006/01/30/kerbau-bule/