08 November 2008

Pulang

Oleh Muhammad Nasir


“Dengan wajahmu yang cantik, setidaknya kau bisa memilih siapapun jodohmu!” bentak emak mengakhiri perdebatan.

Emak akhirnya pergi entah ke mana. Entah ke sawah atau berjalan kemanapun ia mau di pojok kampung yang sudah didiaminya semenjak setengah abad.

Ugih hanya bisa menangis sembari membayangkan betapa hubungannya dengan Supri akan hancur berantakan. Terbayang kebersamaannya dengan Supri di Sungai Jernih, saat dengan gembira mereka berdua melempar kerupuk ke tengah kolam. Begitu menyentuh air kerupuk itu hancur berantakan disambar ikan larangan yang disakralkan sejak berabad-abad. Betapa mitos itu begitu nyata, senyata kerupuk yang cerai berai.

“Adalah hina bagi perempuan Minang tinggal di rumah mertua!”

Kalimat itu terus terngiang-ngiang di telinga Ugih. Begitu longgarkah konsep hina dan malu, sehingga adat manapun boleh memaknainya seenak perutnya? Ugih merasa ingin kabur dari lingkungan adat.

Putus cinta bukanlah hal biasa. Tetapi pada saat cinta telah berkelindan dengan impian membangun mahligai rumah tangga yang bahagia, lain cerita. Ugih merasa adat telah mengalahkan syari’at. Dalam hal ini tak ada yang lebih penting kecuali menjalankan syari’at yaitu menikah dengan Supri.

***

Begitulah tekad Ugih empat tahun yang lalu saat memutuskan menikah dengan Supri, pria Orang Selatan yang patrilineal. Meski bapak pernah mengingatkan Ugih dengan lembut, ”kau telah melawan pada emak!” Tapi Ugih berdalih hanya meluruskan logika emak, bahwa tak selamanya pernikahan beda adat itu merepotkan. Syari’at lebih penting dari adat.

“Plak!”

Tamparan itu akhirnya hinggap di pipi mulus Ugih yang mulai kurus. Seingatnya, sudah berpuluh kali Supri menggertak dengan ucapan, “Diam, ku tampar kau!”. Tak dinyana setahun kemudian tangan kekar lelaki yang dicintainya itu benar-benar hinggap di pipinya.

Tamparan itu terasa seperti peristiwa pernikahan mereka. Berurai air mata ia meminta, tak ada bayangan emaknya bakal merestui pernikahan mereka. Hingga waktu yang tak diduga, restu itu akhirnya datang juga. Begitu pula tamparan itu, tak terbayangkan lelaki lembut yang pintar merayu bak penyair melayu itu melakukannya. Ketika terasa, Ugih serta merta terdampar di dunia nyata tentang legenda kekerasan dalam rumah tangga.

“Sekali lagi kau bicara tentang pulang, kupotong lidahmu!” ancam Supri.

Dalam cintanya yang menggebu-gebu, begitu mudahkan kemarahan Supri tersulut? Ugih tahu, cinta telah membuat suaminya gelap mata. Ia tak ingin Ugih pergi dari sisinya. Tetapi sesuatu yang ak ia mengerti, Supri akhir-akhir ini begitu akrab dengan Pinik Safitri, putri kenalan Temenggung yang dilayani seperti ratu di rumah, tempat di mana Ugih, suaminya dan kedua mertuanya tinggal. Seperti sinetron saja, Temenggung, mertuanya itu mendorong-dorong Pinik mendekati Supri.

“Sudahlah, tak perlu kau tahan. Apa yang kau harapkan dari perempuan mandul itu?” tiba-tiba Bapak mertua ikut serta. Rasanya itu tamparan yang paling keras, membuat kepala Ugih berputar ke kampung halamannya, mempercepat keinginannya meninggalkan rimba Orang Selatan.

***

Sejujurnya, orang tua Supri juga tidak mengijinkan pernikahan mereka. Temenggung, ayah Supri sudah punya pilihan sendiri untuk putra tunggalnya.

Dengan sedikit tipuan, Supri berhasil menaklukkan bapaknya.

“Bapak, aku sudah bekerja. Jika tak ada restu untuk pernikahanku dengan Ugih, jangan harap aku pulang ke Orang Selatan!” ancam Supri kala itu. Bagi bapaknya, ancaman itu seperti gertakan Bupati yang ingin menghambat jalur perdagangan kayunya.

Bupati incumbent yang hendak maju untuk kedua kalinya mengharapkan bantuan Temenggung mengerahkan dukungan empat ratus sembilan puluh tujuh kepala keluarga di bawah gembala Temenggung, tokoh masyarakat setempat. Bupati yang pengusaha kayu itu berkuasa penuh atas periuk nasi Temenggung. Berkubik-kubik kayu seakan tak berguna bila sekali saja Temenggung tak menelpon sang Bupati.

“Pulanglah nak, kurestui pernikahanmu, asal kau kembali ke kampung halaman dan membujuk istrimu tinggal di kampung kita” kata Temenggung dalam sikap menyerah yang penuh dendam.

Sesusai pesta di Padang, kenduri di Negeri Selatan berlangsung tujuh hari tujuh malam, ibarat dongeng dunia kayangan.

Pertanda tidak baik sudah mulai tampak, saat keluarga Ugih dari Padang diinapkan di tengah rumah seperti ikan kaleng. Tak ada cerita banyak laiknya beripar-besan. Mau makan, makanlah. Mau tidur, tidurlah, tentu saja sesudah tetamu bubar. Di situlah Ugih mengerti makna dendam di hati Temenggung.

“Tergadai kau nak,” kata emak Ugih berurai air mata sebelum ia kembali ke Padang. Dalam berpelukan emaknya berbisik, “Biarkan nasib dan kebenaran membawamu pulang ke Padang, nak.”

***

Bupati incumbent itu gagal dalam pemilihan. Sudah terjatuh tertimpa tangga. Kalah pilkada ternyata berujung pada urusan yang rumit dengan jaksa. Akhirnya usut punya usut, perkara sampai kepada kasus korupsi, illegal logging dan segala macamnya. Temenggung bangkrut karena terpaksa melenyapkan segala barang bukti, berkubik-kubik kayu miliknya. Uang habis dihambur-hamburkan untuk menyuap sana sini, pada mulut orang-orang yang patut ditutup.

Persenggamaan segala cara suami istri Ugih dan Supri belum menghasilkan apa-apa. Jangankan hamil, tak sekalipun Ugih mual-muntah layaknya orang mengidam. Kecuali sekali waktu, saat perjamuan. Pinik gadis murahan itu berbaik hati memasak gulai itik. Jangankan lahap, hidangan itu terasa asin, jauh dari rasa enak.

“Hebat, Pinik, sepertinya sudah patut pula engkau bersuami.” ungkap Temenggung berbunga-bunga.

Pinik tersipu malu, tetapi kesan rakus begitu kentara di wajahnya. Cantik memang, tetapi penuh nafsu dan keserakahan. Setidak-tidaknya di mata Ugih, apalagi saat tangan gatal Pinik mencubit mesra pinggang Supri. “Perempuan tak beradat,” batin Ugih. Tapi adat siapa dan orang mana?

Seusai perjamuan Ugih masuk ke kamar. Melampiaskan segala kesal dengan memuntahkan segalanya di lantai, dinding kamar dan ranjang peraduannya.

“Hoahkk...!” Ugih muntah sekeras-kerasnya. Ia berharap dunia tahu bahwa begitu banyak orang yang tak pandai menghormati lembaga sakral; p-e-r-n-i-k-a-h-a-n.

Di luar kamar terdengar makian Temenggung; “Perempuan tak beradat!”

Peduli setan! Adat siapa dan orang mana? Sungut Ugih.

“Engkau mengidam?” tanya Supri yang tiba-tiba menyusul ke kamar dengan gembira.

***

Uang ternyata bukan segala-galanya. Apalagi bila benda celaka itu sudah tidak ada. Bangkrut. Entah mengapa mata dan telinga jaksa begitu nyaring. Berkubik-kubik kayu telah membuat jeruji penjara untuk Temenggung, entah untuk berapa lama.

Mobil bak terbuka itu meraung-raung memberi tahu orang kampung ; ada maling kayu yang hendak dikurung! Temenggung terpekur dalam menghitung mata rantai yang saling berkait menggelangi kedua belah tangannya. Mobil itu pergi seraya meninggalkan debu serta bergelanggang mata orang banyak. Orang-orang kampung hanyak berteriak “huuu...!” seraya berbalik menekuni pekerjaan masing-masing.

Di seberang jalan, rumah panggung berarsitektur istana Melayu terlihat kuyu. Pinik tergopoh-gopoh meniti jenjang-jenjang rumah yang dulunya penuh dengan kehormatan. Sepertinya memang Pinik yang punya kesempatan meraih kehormatan itu tanpa harus membungkuk-bungkuk seperti orang tua pikun yang tak berguna; minta upah kerja kepada Temenggung, sang Juragan Kayu.

Pinik menggerung-gerung. “Oh, Temenggung, menikam jejak dari selatan, berharap mendung segera pupus, pada dara yang berpayung. Tempat berpijak sudah terban, tempat bergantung sudah putus, kepada siapa berbapak bayi yang ku kandung?” tangisnya pecah meraung-raung.

“Apa? Engkau mengandung benih bapakku? Perempuan tidak tahu di untung! Kau makan tebu dengan urat-uratnya!” Supri marah sejadi-jadinya.

“Plak!”

Belum hilang merah di pipi Ugih, tangan pria itu sekarang hinggap di pipi Pinik, perempuan gatal yang meresahkannya akhir-akhir ini. Jika tak boleh menyebut karma, Ugih merasa itu balasan untuk gadis pendosa.

“Lelaki bejat. Apa bedanya kau dengan bapakmu, heh? Siapa yang tebu siapa yang urat?” balas Pinik murka. Matanya melotot akibat dua tangan yang terlalu kencang berkacak pinggang. “Bukankah kalian yang makan di piring yang sama, bergiliran seperti ayam dan babi?” maki Pinik.

“Plak!”

Ugih merasa itulah tamparan yang paling keras, dari tangan yang tak terduga. “ada pula teori invisible hand Adam Smith dalam rumah tangga? Entahlah, jawabnya cuma kelam. Ugih lunglai merengkuh lantai. Pingsan!

***

“Kali ini engkau memang mengidam!” Itulah suara pertama yang didengar Ugih di ruangan kotak sempit serba putih. Ah, itu rumah bidan Yenni, satu-satunya tenaga medis di kampung ini. Suara itu datang dari wajah yang tiba-tiba sangat memuakkan; Supri putra sang juragan kayu.

“Apa? Benarkah?” Ugih berbinar-binar.

“Betul! Benar!, sekarang apa yang kau mau, aku kabulkan!” lagak Supri meyakinkan.

“Pulang kampung!” jawab Ugih penuh keyakinan.

Di luar sirene kembali meraung-raung. Begitu senyap polisi berseragam sudah meringkus Supri. “Anda terlibat dalam illegal logging. Ini surat penangkapan anda!” Supri ternganga.

“Engkau betul-betul akan pulang, Ugih?” mendadak Supri merasa cemas. “Lalu bagaimana dengan rumahtangga kita?”

“Ceraikan aku secara adat!” tegas Ugih, setegas air matanya yang tiba-tiba mengalir deras.

***

Langit mendung sangat mendukung. Ugih berharap hujan sebentar lagi menghapus jejak serta suara-suara ba’da kepergiannya. Adat orang selatan mengatakan, tak baik tinggal di rumah mertua bilamana suami tak ada di rumah. Tetapi apalah gelagat manusia. Ada saja mata dan suara yang tak bisa diduga.

“Perempuan tak tahu adat. Suami di penjara, ia malah pergi seenaknya!” [MN]

Padang, 2003-2008

07 September 2008

Ayo! Lomba Mempersedap Kata


26 Juni 2008 - 01:01 (Diposting oleh: redaksi)
LOMBA MENULIS CERPEN REMAJA (LMCR-2008)

PT ROHTO-MENTHOLATUM
Kembali menyelenggarakan
LOMBA MENULIS CERPEN REMAJA (LMCR-2008)
Memperebutkan
LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD
Berhadiah Total Rp 80 Juta


• Peserta: Pelajar SLTP, SLTA dan Mahasiswa/Guru/Umum

Kategori Lomba
Lomba terdiri dari (tiga) kategori peserta. Kategori A, Peserta Pelajar SLTP, Kategori B, Peserta Pelajar SLTA. Kategori C, Peserta Mahasiswa/Umum

Syarat-syarat Lomba
1. Lomba ini terbuka untuk pelajar SLTP, SLTA dan Mahasiswa/Umum dari seluruh Indonesia atau yang sedang studi/dinas di luar negeri. Kecuali, karyawan PT ROHTO Lab. Indonesia/agennya dan Panitia Pelaksana
2. Lomba dibuka tanggal 1 Juli 2008 dan ditutup tanggal 10 Oktober 2008 (Stempel Pos)
3. Tema cerita: Dunia remaja dan segala aspek serta aneka rona kehidupannya (cinta, kebahagiaan, kepedihan, harapan, kegagalan, cita-cita, penderitaan maupun kekecewaan
4. Judul bebas tetapi harus mengacu pada tema Butir 3
5. Setiap peserta boleh mengirimkan lebih dari satu judul
6. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, indah (literer) dan komunikatif
7. Naskah harus asli (bukan jiplakan) dan belum pernah dipublikasikan serta tidak sedang diikutsertakan dalam lomba serupa yang bukan diselenggarakan oleh PT ROHTO
8. Ketentuan naskah:
a. Ditulis di atas kertas ukuran kuarto (A-4), ditik berjarak 1,5 spasi, format 12 point, font Times New Roman, margin kiri-kanan rata (Justified)
b. Panjang naskah minimal 6 (enam) halaman, maksimal 10 (sepuluh) halaman
c. Naskah yang dikirimkan ke Panitia LMCR-2008 dalam bentuk print-out 3 (tiga) rangkap (copy) disertai file dalam CD
d. Naskah disertai ringkasan cerita (synopsis), biodata singkat pengarang, foto pose bebas ukuran 4R dan fotocopy identitas pengarang (pilih satu: KTP/Kartu Pelajar atau Kartu Mahasiswa, SIM atau Paspor yang masih berlaku
e. Setiap judul naskah yang dilombakan wajib dilampiri 1(satu) kemasan LIP ICE jenis apa saja atau seal/segel pengaman SELSUN GOLD FOR TEENS/SENSUN BLUE 5
f. Naskah yang dilombakan beserta persyaratannya dimasukkan ke dalam amplop tertutup (dilem), cantumkan tulisan PESERTA LMCR-2008 dan Kategorinya
g. Naskah dan persyaratan (Butir f) dikirim ke alamat Panitia LMCR-2008 LIP ICE- SELSUN GOLDEN AWARD – Jalan Gunung Pancar No.25 Bukit Golf Hijau, Sentul City, Bogor 16810 – Jawa Barat
h. Hasil lomba diumumkan 10 November 2008 melalui Tabloid Rayakultura Edisi November 2008, www.rayakultura.net dan www.rohto.co.id atau hub HP 08158118140
9. Keputusan Dewan Juri bersifat final dan mengikat
10. Naskah yang dilombaklan jadi milik PT ROHTO, hak cipta milik pengarangnya

Hasil Lomba
Masing-masing kategori: Pemenang I, II, II dan 5 (lima) Pemenang Harapan Utama serta 10 (Sepuluh) Pemenang Harapan

Hadiah Untuk Pemenang
- Kategori A: SLTP
• Pemenang I: Uang Tunai Rp 4.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD; Pemenang II: Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN; Pemenang III: Uang Tunai Rp 2.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN. Selanjutnya, 5 (lima) Pemenang Harapan Utama, masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN. Untuk 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN dan Bingkisan dari PT ROHTO. Seluruh Pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang LMCR-2007
Hadiah untuk sekolah Pemenang I, II dan III masing-masing memperoleh hadiah sebuah televisi

- Kategori B:SLTA
• Pemenang I: Uang Tunai Rp 5.000.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD; Pemenang II: Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN; Pemenang III: Uang Tunai Rp 3.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN. Hadiah untuk 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN. Bagi 10 (sepuluh) Pemenang Harapan masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN dan Bingkisan dari PT ROHTO. Seluruh Pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang LMCR-2007
Hadiah untuk sekolah Pemenang I, II dan III masing-masing memperoleh hadiah sebuah televisi

- Kategori C:Mahasiswa, Guru dan Umum
• Pemenang I: Uang Tunai Rp 7.500.000,- + LIP ICE-SELSUN GOLDEN AWARD; Pemenang II: Uang Tunai Rp 6.000.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN; Pemenang III: Uang Tunai Rp 4.000.000,- + Piagam LIP ICE SELSUN. Bagi 5 (lima) Pemenang Harapan Utama masing-masing mendapat Uang Tunai Rp 1.500.000,- + Piagam LIP ICE-SELSUN. Pemenang Harapan 10 pemenang, masing-masing mendapat Piagam LIP ICE-SELSUN + Bingkisan dari PT ROHTO. Seluruh Pemenang mendapat hadiah ekstra 1 (satu) Buku Kumpulan Cerpen Pemenang LMCR-2007

Catatan:
Pajak hadiah para pemenang ditanggung oleh PT ROHTO Laboratories Indonesia

Ketua Panitia LMCR-2008
Dra. Naning Pranoto, MA

Sumber: http://www.rayakultura.net/wmview.php?ArtID=123&page=2

15 Agustus 2008

Merdeka setinggi tingginya

Oleh: Muhammad Nasir

aku bawakan bunga untuk kau pahlawan bangsa
yang kubeli murah dipasar bawah dari ibu siapapun dia
rencananya akan kutabur di pusaramu yang bertopi baja

“wahai pahlawanku yang kesohor dan yang mati konyol!
sekedar informasi; bunga ini akan layu esok hari!”

setelah ini akan aku kabarkan
bahwa kemerdekaan itu berarti bendera
yang diderek tinggi-tinggi
yang tersisa hanya rasa perih di mata
ketika penghormatan dengan tangan d ijidat
dan mata meyipit kearah mentari
jam sepuluh pagi

kemudian dari pada itu kemerdekaan yang ada
hanya tangis haru veteran tua yang pulang upacara
setelah terima bintang mahaputra

adapun di jalan-jalan
masih ada teriakan halus dan kasar
dari rasa haus dan lapar
seterusnya pasti ada teriakan merdeka ! merdeka!
Setinggi-tingginya di ruang hampa tanpa gema
Sampai tahun berikutnya

agus2003

Republik Mutilasi


Republik Mutilasi
Oleh Muhammad Nasir

Bagaimana mungkin
orang yang tubuhnya cerai berai
dapat berpikir utuh

Bendera yang kokoh berkibar
tangan-tangan menjulur
merogoh apa saja yang mungkin
untuk diri mereka sendiri

kesatuan
tidak lebih seragam usang
pada saat perayaan pagan
nasionalis semu

potong!
potonglah apa yang mungkin
untuk memupus harapan kemarin

Proklamasi

Oleh: Muhammad Nasir

Sementara kami harus bersabar
Karena tiada tempat untuk masuk barisan
Menunggu detik-detik yang senatiansa berulang
Dari dulu hingga mendatang

Semua telah berbaris rapi
Jam sepuluh pagi
Matahari menghajar pegawai negeri
Perwira TNI dan Polisi
Membuat mata menyipit setengah hati
Sementara kami disini
Menikmati liburan hari ini
Sembari menonton televisi

Proklamasi
Denyutan sirene lebih mirip erangan
Tentang nasi yang terlanjur basi
Masak malam dimakan pagi

17082007

11 Agustus 2008

Pancing

Oleh Muhammad Nasir

Mau tahu rasanya menjadi perantau miskin, cobalah seperti Lano. Sehari itu ia meronggoh saja di tepi bandar. Memancing! Seratus cacing mungkin sudah ia sematkan di mata kail. Tetapi tak satupun ikan yang dapat. Sejauh ini Lano tak hendak meninggalkan bandar, karena setiap kail terumban ke dasar bandar, setiap itu pula mata kail itu dikutil ikan. Sayang tak ada yang menyangkut.

Entah mengapa nasib Lano seperti pemancing. Sudah seribu cara ia coba, tetapi tak satupun membuat kaya. Jangankan kaya, berkecukupan saja jarang. Setiap usaha selalu saja menjanjikan laba. Tetapi begitu harapan meninggi kenyataan membuatnya rugi. Persis seperti pemancing yang sial.

“Hari ini tak ada kerja,” lapor Lano pada bininya.

Lani, bini yang baik itu maklum saja. Apalah daya seorang Lano di kota yang tak tahu berkerabat. Berbeda ketika tiga tahun yang lalu di sebuah dusun kecil di kaki gunung merapi. Tak nasi ubi disungkah. Tanahnya yang subur memberi harapan dari hari ke hari. Betul-betul surga dunia.

Merantau adalah pilihan mereka berdua, orang-orang kecil yang tak punya sejarah di kampungnya. Satu-satunya yang patut disebut orang di kampungnya adalah anak kuminih, anak-anak keturunan PKI. Jika itu pantas disebut sejarah, alangkah malang. Sebab, Hitler tidak dinamakan tokoh sejarah karena meninggalkan ribuan mayat dan puing-puing.

Kakek mereka berdua memang anggota PKI. Dengan alasan sederhana membalas dendam kepada Angku Gadur nama kecil penghulu suku Pitopang yang tega merampas ladang kulit manis yang diteruka oleh nenek moyang mereka dari dulu-dulu. Tetapi apalah daya seorang simpatisan kecil PKI yang kerjanya ke sawah menanam padi.

Tangan-tangan kakek mereka memang tak berlumur darah. Tetapi kakek mereka ikut serta membakar rumah gadang suku Pitopang yang sudah kosong. Tidak disangka api yang berkobar-kobar ikut menghanguskan seorang perempuan pikun, yang entah kapan dan bagaimana tiba di rumah itu. Julukan kuminih kejam semakin lekat pada kakek-kakek mereka. Ditambah kewajiban lapor ke koramil di masa Orde Baru.

Tinggal di kampung tidak masalah. Tetapi selalu menjadi orang-orang tak bersejarah memang melelahkan. Puncak keinginan meninggalkan kampung halaman terjadi sehari setelah helat pernikahan. Hujan berkepanjangan membuat orang-orang enggan datang ke perhelatan. Lano dan Lani kecewa. Betapa tidak, dalam waktu yang tak jauh beda, seminggu sebelumnya keturunan Angku Gadur juga berhelat, orang kampung datang selaksa embun. Pasti dan berkerumun. “Sudahlah, tak ada yang dapat dipandang dari kita,” begitu kata mamak rumah mereka.

“Pergilah memancing, sejerat dua ikan cukuplah untuk hari ini. Beras segantang kemarin masih bersisa setekong,” saran Lani.

Begitulah sejarahnya Lano sampai ke tepi bandar. Semalam hujan lebat. Air tumpah sampai ke rumah. Periuk nasi bininya melayang kian kemari dibuai banjir. Periuk aluminium itu kosong melompong. Biasanya ikan banyak di bandar. Hujan lebat pasti melimpahkan keramba di muara isi-isinya. Itulah yang diharapkan Lano.

Begitupula apung-apung di atas air. Selalu saja berdenyut memberi harapan. Tetapi ikan yang diharap tak kunjung datang. Antara sabar dan harap Lano membiarkan kailnya berdenyut. Makin lama makin kuat. Hingga... “assalamu’alaikum langit, assalamu’alaimum bumi, assalamu’alaikum air, hep tah dapat! Puss... tali nilon itu putus menjelang ke tepi bandar. Ikan lele yang sangat besar terangkat sebelum terjun lagi ke air. Nasib belum berpihak kepada Lano.

“Ah, pancing kalera,” umpat Lano.

***

Entah sadar entah tidak , Lano sudah berada di dalam air. Berenang menyelinap di antar rumput banto. ”Ikan kalera itu harus dapat!” tekad Lano. Satu yang ada dalam benaknya, kalau tidak ikan itu yang dapat, pancingnya harus kembali. Lano yakin, mata pancingnya pasti ada di mulut ikan lele itu.

Dalam air yang keruh, terang-terang tanah ia dapat melihat ekor itu berkibar-kibar. Ow, ia berenang melawan arus. Suatu yang tak lazim bagi seekor lele. Biasanya ikan licin itu pasti menyelusup ke lubuk yang terdalam, terkelam dan terkeruh. Tetapi ini tidak. Lano yakin pasti ikan ini sedang mempermainkannya. 

“Akan ku kejar kau sampai ke muara!” teriak Lano marah. Suaranya menggelembung-gelembung di dalam air.

Makin lama arus semakin deras. Seiring dengan itu air berkilauan di timpa cahaya matahari. Airpun lama-kelamaan semakin jernih. Ikan lele itu masih terus berenang ke muara. Hingga lambat laun ia melihat sebuah gunung. Itu gunung Merapi.

“Aha, pucuk dicinta ulampun tiba. Aku berharap kau ikan peliharaan Angku Gadur,” Lano semakin gembira. Ia berharap ikan itu terus berenang ke muara hingga ke sebuah lubuk di belakang rumahnya, di mana ia sering memancing sewaktu bujang. Ia teringat, ada sebuah tangguk di belakang dapur. “Nasibmu berakhir di sebuah tangguk,” ancam Lano.

Benar saja, ikan itu berenang terus ke sebuah tempat yang sangat dikenal oleh Lano. Itulah lubuk di belakang rumahnya. Ia segera keluar dari lubuk. Tubuhnya bersih meski basah kuyup. Tujuannya jelas, ke belakang dapur mengambil tangguk. Ikan lele itu harus ia dapatkan dan dipersembahkan kepada istri tercinta; Lani!

“Akhirnya kau pulang juga Lano,” sapa seseorang.

“Aih, Biyai,” Lano terperanjat. Seseorang itu adalah ibunya. Entah mengapa, saat bertemu muka hatinya rindu. Tiga tahun merantau, perempuan tua itu entah di mana. Ingatannya tak sampai pada perempuan yang melahirkannya.

“Bagaimana engkau bisa sampai ke sini?, mana istrimu?” tanya perempuan itu.

“Lewat tali bandar ini. Ikan lele celaka itu telah memutus kailku. Aku terpaksa mengejarnya sampai ke sini,” jawab Lano.

“Kau bergurau Lano, mana mungkin?” bantah perempuan itu.

“Buktinya, aku sampai ke sini. Lihatlah, ini aku Biyai!” tegas Lano meyakinkan.

“Ya, sudahlah, tangkap ikanmu!” perempuan itu menyerah.

Menangkap ikan adalah perkara mudah. Orang sekampung tahu, Lano adalah hantu ikan. Di mana ada air di situlah rezeki Lano. Menanggkap ikan adalah permainan masa kanak-kanak baginya. Tak heran beberapa waktu kemudian lele itu sudah berada dalam tangguknya.

“Duduklah!” pinta ibunya lembut.

Lano duduk di samping ibunya. Selaksa rasa berkecamuk dalam dadanya. Rindu, malu dan entah apa lagi. Jujur saja, ia memang rindu pada ibunya.

“Sejauh itu dari kota, hanya ikan ini yang kau kejar?” perempuan itu bertanya. Wajahnya menyiratkan perasaan heran.

Lano bingung. Dari kota menangkap ikan hinga ke kampung halaman? Tidak mungkin! Lano ingin memukul-mukul kepalanya. Apa yang terjadi? Rasanya semua terjadi dengan penuh kewajaran. Sekejap saja. Ia ingat, ketika pancing ia sentakkan, lele itu terangkat sedepa, kemudian jatuh lagi ke air. Ia tahu pancingnya putus dan lele itu membawa serta mata kail yang tersangkut dimulutnya. Ia berenang mengejar ikan lele itu. Lalu sampai di kampung halaman. Mustahil. Apa yang harus ia jawab? Tak mungkin ada yang percaya.

“Begitulah Biyai,” jawabnya ragu-ragu.

“Sebaiknya kau memang harus kembali ke kampung. Bawa serta istrimu,” perempuan itu memberi saran.

“Pulang kampung? Memalukan. Tidak Biyai! Aku sudah bertekat tak pulang dulu sebelum berhasil!, sergah Lano. Pulang kampung meski sempat terpikir, bukanlah cita-citanya.

“Tapi, sudah tiga tahun kau tak pulang. Tanpa kabar baik ataupun buruk. Sekarang kau terlihat susah.” Perempuan itu seperti membaca keadaan Lano dari tubuhnya yang kurus dan bajunya yang lusuh. Selain itu, Lano terlihat tua. Pengalaman sebagai orang tua telah memberinya kearifan.

“Tidak, Biyai. Biarlah di rantau sengsara daripada di kampung tak dianggap siapa-siapa. Hari ini juga aku akan kembali!” Lano mengeluarkan kata mutiara. Tetapi orang-orang pasti tahu, itu ungkapan emosional orang-orang kalah.

“Ada sawah dan ladang yang bisa kau garap. Selain itu tak ada laki-laki di rumah ini, membuat keluarga kita semakin tak berarti.orang-orang bersilantas-angan saja pada kita.” Perempuan itu masih berharap.

“Nantilah aku pikirkan. Sekarang aku harus pulang!” tampik Lano.

“Kalau itu maumu,” jawab perempuan itu putus asa. Perempuan itu masuk melalui dapur. Beberapa saat kemudian tangannya menating sekantong beras.

“Ini, bawalah untuk istrimu. Untuk cucuku juga kalau sudah ada.” Perempuan itu mengangsur bungkusan itu ke tangan Lano.

Lano jengah. Ada sesuatu yang bergerak dari ujung kaki ke ujung kepalanya. Lano tahu yang bergerak itu adalah urat --urat malu--.

“Jangan Biyai, aku hanya butuh mata pancingku. Ikan lele ini untuk Biyai saja,” seraya menepis hibah kasih sayang itu. 

Seusai berkata Lano langsung terjun ke tempat semula. Dari lubuk ke tali bandar hingga membiarkan dirinya hanyut dibawa arus ke hilir. Mata pancing itu masih di tangan kirinya. Dalam hati ia berucap. “alhamdulillah, mata pancing itu berhasil aku ambil!”

Dalam khidmatnya bersyukur, kepalanya terasa terantuk batu. Begitu membuka mata ia sudah berada di tepi bandar, tertelentang menghadap langit. Ada banyak orang disekitarnya. Satu saja yang berwajah khawatir; Lani istrinya.

“Uda mungkin lapar, hingga pingsan jatuh ke bandar,” kata Lani menahan tangis.

“Pingsan?” Lano terkejut. Buru-buru ia melihat ke tangan kirinya. Mata pancing itu terselip antara ibu jari dan telunjuknya. Tidak mungkin! Mata pancing ini ia kejar hingga ke kampung. Dan mustahil juga bila ia sebut ke orang-orang bahwa ia baru saja bertemu ibunya.

“Bagaimana bisa?” Teriakan Lano membuat orang tertawa-tawa. [MN]

Banda Bakali,31 Juli 2008

Daftar Istilah Minang
Kuminih : Cara kebanyakan orang Minangkabau melafalkan kata “Komunis”
Kalera : Umpatan khas Minang, senada dengan kata “Sialan”
Biyai : Sepadan dengan Ibu, dialek Agam Timur dan sebagian Bukittinggi.
bersilantas-angan : Berbuat semaunya, seenaknya.



CANGKUL


Oleh: Muhammad Nasir

(Satu)

25 Juli 2006
Sipir itu memberikan cangkul. Sedikit instruksi yang ia berikan.
"Tolong bersihkan taman sekitar LP dan juga sampah di dalam selokan", katanya bersahabat.

Sipir itu berlalu tanpa beban. Sebatang rokok menyala terang di mulutnya.
"Sss..hhh…", begitu suara desisan kenikmatannya merasuk ke paru-paru.
"Semoga bukan rokok itu yang membunuhmu", rutukku dalam hati.

Meskipun namanya Lembaga Pemasyarakatan, bagiku tetap penjara. Mengurung diriku di tempat sempit di mana manusia yang ada hanya itu ke itu saja. Sesekali berganti hanya penghuni lama dan baru. Seminggu di sini, aku rasa baru satu yang menghabiskan masa hukumannya. Yang lainnya datang dengan berbagai alasan. Pindahan dari LP lain atau mungkin titipan kejaksaan. Entahlah, aku tak tahu persis tentang mereka yang datang dan pergi dari penjara ini.

Beberapa saat, aku mulai sadar ternyata cangkul itu telah berada dalam genggamanku. Perlahan dan malas-malasan pandanganku tertuju pada taman. Bunga-bunga tumbuh mekar dan belum kulihat satupun kumbang hinggap di sana. Aku juga bukan kumbang itu.

Aku juga melihat selokan. Airnya hitam seperti kelamnya sel itu bila sipir memadamkan lampu. Penghematan, kata sipir. Konon, PLN saat ini mengalami kelebihan beban. Terpaksa lampu dimatikan. Nanti, pukul 22.00 WIB dinyalakan. Dan air selokan itu memang hitam. Aku tidak dapat berkaca, melihat diriku sendiri di air yang tenang. Aku juga bukan selokan itu, yang hitam dan bau.

Taman yang bagus ada yang membersihkan. Selokan yang bau ada yang memperhatikan. Aku tidak bersih dan tidak bau. Adakah yang mensucikan?
Tiba-tiba aku merasa hitam legam.

"Brukk…".

Cangkul itu aku lemparkan.
Pikiran kelamkulah yang membawaku ke penjara ini.

(Dua)

Namaku Aswad. Kulitku putih bersih, kontras dengan namaku yang dalam bahasa Arab berarti hitam. Kata orang tuaku, Aswad itu berasal dari batu bersejarah di Ka'bah yang selalu dicium orang saat umrah dan musim hajji. Hajar Aswad.

Baru dua bulan aku di kampung semenjak diwisuda. Pulang dengan membawa gelar sarjana pertanian. Kepulanganku bukan tanpa kesengajaan. Di samping rindu kampung halaman, saat musim pemilihan kepala daerah sekarang ini, aku ditugaskan untuk menjadi simpul pemenangan pemilu di daerahku. Maklum mantan aktivis kampus yang malang melintang antara kantor Pemda dan ruang sidang legislatif, tenagaku dianggap perlu. Sungguh suatu kebanggaan bagi diriku. Tidak semua pemuda seusiaku yang dapat melakukannya.

Kini aku termenung di dangau tengah sawah. Mengingat kembali masa kecil 15 tahun yang lalu. Sawah basah yang puas ku rancah untuk mendapatkan ikan dengan tangguk kecil yang dibelikan ibu. Tali Bandar yang mengairi sawah telah ku telusuri. Tali Bandar itu masih seperti dulu. Bersih dengan sedikit rumput hijau menghias pinggiran pematang. Air bening mengalir menyanyikan kepastian hokum alam. Mengalir dari hulu menuju hilir. Bila saat diperlukan air itu dituntun mengairi sawah, patuh dan pasrah sesuai sunnatullah.

Selepas SD aku melanjutkan ke pesantren, tentu saja di luar desaku. Desaku sekarang sudah berubah menjadi Nagari. Pasca Orde Baru, desaku menjadi Jorong, unit terkecil di bawah pemerintahan Nagari di Sumatera Barat.

Anganku berlanjut. Kemaren Pak Jorong, begitu warga jorong ini menyebut Wali Jorong kami mengeluhkan diskriminasi Wali Nagari terhadap jorong kami. Diskriminasi itu kata pak wali jorong disebabkan letak geografis daerah ini yang tidak menguntungkan. Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN) ternyata tidak cukup untuk membangun jembatan yang menghubungkan antar jorong yang dibatasi sungai selebar 20 meter atau lebih. Saat ini hanya ada jembatan gantung yang kami sebut rajang. Jembatan itu bergoyang bila dilintasi orang, mengikuti irama langkah orang yang tenang maupun gamang.

"Apa yang harus kita lakukan Aswad?. Kamu kan sarjana, saya pikir kamu bisa memberikan jalan ke luar mengatasi ketertinggalan kampung kita ini", demikian suatu kali Pak Jorong membagi beban pikirannya pada ku.

Sekarang aku melamun di dangau buatan ayah.

"Aswad, ayah sudah membeli cangkul baru. Bagaimana menurutmu, bagus tidak?".
Tersadar aku. Ternyata ayah sudah ada di depanku. Memang tadi pagi ayah menyuruhku duluan ke sawah. Ayah harus ke tukang apa Ternyata urusan cangkul.

"Dapat dari mana, 'yah?". Bodohnya aku. Sudah gaharu cendana pula.Sudah tahu bertanya pula. Padahal pertanyaan konyol itu sekedar memunculkan kesan tertarik. Agar ayahku tidak kecewa.

"Bagus, tidak?"

Oow, ternyata ayah butuh penilaianku.
"Ya, bagus yah, rasanya kita tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga untuk mengayunnya", akhirnya aku memberi penilaian seraya menimang-nimang cangkul itu. Sungguh mati, aku tidak tahu banyak tentang cangkul.

"Apa cangkul ini memenuhi persyaratan?. Apa kampusmu punya standar tentang cangkul yang baik, Aswad? Atau…kira-kira merk apakah yang dipakai di kampusmu, Cap Buaya kah?" Ayah bertanya bertubi-tubi.

Sungguh mati, pertanyaan ini lebih sulit dari pertanyaan para penguji dalam ujian komprehensif yang mengantarku jadi sarjana. Apa sarjana pertanian seperti aku ini juga harus tahu soal cangkul?

Tiba-tiba aku merasa ada komunikasi yang terputus antara aku, ilmu pertanian dan masyarakat petani seperti ayah. Begitu dangkalkah pengetahuan masyarakat tentang fakultas pertanian atau fakultas pertanian yang berdiri terlalu tinggi sehingga tidak mengenal apa sebenarnya yang dibutuhkan masyarakat petani. 

Ini baru soal cangkul. Terus terang, aku hanya tahu soal hama dan penyakit tanaman, meski seumur-umur, secara persis aku belum melihat bagaimana rupa hama yang dikaji di almamaterku. Aku cukup hapal nama-nama latin dari hama. Tetapi bagaimana rupa dan bahasa ayahku menyebut hama latin itu, wallahua'lam.

"Ha…ha…ha…". Aku tertawa selepasnya seperti apung-apung yang timbul tenggelam di goda ikan.

"Kenapa, nak ?"

"Tidak yah, tidak ada standard cangkul di kampusku. Bahkan Prof. Dr. Ir. Pertanianpun belum tentu hapal merek-merek cangkul yang beredar di masyarakat tani".

"Lalu…?

"Yang penting cangkul itu bisa digunakan dan tidak melepuhkan tangan petani yang memegangnya", jawabku mencoba berpendapat.

"Ha…ha…ha…". Kami tertawa berbarengan.

"Aku kira…, ah, sudahlah Aswad. Ayah coba dulu cangkul ini. Kau boleh pilih, mau memakai cangkul baru ini atau cangkul lama? Cangkul lama ada di bawah kolong. Ayah turun ke sawah dulu sekedar membersihkan pematang."

Aku tidak melihat beban di kepala Ayah. Sepertinya, begitu ayah tahu aku menyelesaikan studi, ayah merasa bahagia. Menguliahkan anak bagi seorang petani kecil seperti ayah adalah sebuah kebanggaan. Begitupun bagiku, menjadi sarjana ke tiga di jorongku. Pertama, Saifuddin, Sarjana Agama. Kedua, Sahmadan, sarjana sosial dan ke tiga aku sendiri, Aswad, Sarjana Pertanian. Belum ada sarjana yang wanita.

Ayahku memang petani. Sementara aku? Sarjana pertanian. Petani bukan, ahli pertanian juga bukan. Mungkin aku pengangguran. Statistic di BPS mungkin bertambah. Aku salah satunya.

Enam tahun masa kuliah, aku habiskan di organisasi. Teman-teman menyebutku aktivis. Adik-adik tingkatku memanggilku Abang. Asal tahu saja, setiap tahun panggilan abang ini seolah-olah menambah wibawaku di mata mahasiswa. Tak jarang dadaku menggembung seperti tembolok ayam saking bangganya. 

Bahuku naik setinggi telinga seperti kucing sedang bertengkar. Selama itu, mungkin hanya lima semester aku merasa benar-benar kuliah. Selebihnya, larut dalam dinamika organisasi. Hanya duapuluh persen ilmu pertanian yang aku serap. Itupun karena kewajiban menulis skripsi. Soal politik, jangan tanya lagi. Akulah jagonya. 

Koran-koran menulisku tokoh mahasiswa angkatan reformasi, yang selalu dimintai pendapat. Soal BBM, presiden, Pilkada, korupsi dan sebagainya. Kumpulan kliping korang tentang diriku selalu ku bawa ke mana-mana. Kadang-kadang aku perlihatkan kepada siapa saja. Sekarang aku berpikir, kenapa dahulu aku tidak berdemo tentang cangkul? Tepatnya, cangkul murah untuk petani seperti ayahku.

Aku ambil cangkul di kolong itu. Cangkul usang. Mungkin hanya tinggal sepertiga dari aslinya. Kasihan ayah, selalu mengayun cangkul usang. Betapa sering telapak tangan ayah terkelupas mengayun cangkul buruk ini.

"Made in China", tertulis di sisa cangkul itu. Yang dibeli ayah tadi made in Indonesia. Cuma adakah tertulis di cangkul itu made in Indonesia?

"Aswad, kau pulanglah duluan, tak usah bekerja sekarang. Taruh saja cangkulmu, di rumah Pak Jorong mungkin sudah menunggu. Ia ingin bicara denganmu. Tadi ayah lupa menyampaikannya".

Ayah berteriak di ujung sawah.

(Tiga)
Benar saja. Pak Jorong sudah menunggu di rumah. Sebatang cangkul parkir di depan pintu rumah ibuku.

"Sudah lama Pak Jorong?", sapaku.

"Ah, kau Aswad? Belum,belum lama, baru saja". Pak Jorong berseri-seri. Sepertinya kehadiranku ditunggu-tunggu. Ada perasaan lain. Tak pernah kurasakan rasa harap yang begitu besar terpancar dari orang-orang yang pernah menungguku, sewaktu menjadi aktivis. Sungguh keceriaan yang tulus.

Kegiatan basa-basi telah usai. Aku segera menuntun Pak Jorong menuju persoalan.
"Ada apa Pak Jorong?, Apa ada informasi bagus untukku?

"Ah, tidak. Biasa saja Ad, -[itu panggilanku waktu kecil]-,besok kita akan gotong royong. Jadi…"

"Jangan repot-repot Pak Jorong, kalau cuma itu tak perlu sampai harus mengunjungiku. Titip pesan sama orang lainpun bisa. Aku pasti hadir besok". Aku memotong perkataan Pak Jorong, persisi interupsi anggota dewan.

"Begini Aswad, betul kita besok gotong royong, hanya saja aku butuh kamu besok".

"Iya, aku setuju"

"Tentang Jorong kita, Aswad. Pak Wali Nagari bersedia membangun jembatan ke Jorong kita. Syaratnya kita harus bersedia membersihkan jalan menuju lokasi. Setelah itu, rajang itu harus diperbaiki agar bisa dilewati".

"Kenapa begitu Pak Jorong? Kenapa tidak dibongkar saja rajang tersebut, dan sekalian kita bangun yang baru?"

"Aswad,.. dasar anak muda". Pak Jorong tersenyum. Senyum itu memukulku. "Dasar anak Muda?". Aku langsung tersipu. Aku malu, merasa dapat menyelesaikan segala-galanya dengan mudah. Maklum mantan aktivis.

"Itulah masalahnya. Kata Pak Wali Nagari, jalan dan jembatan itu akan ditinjau oleh Pak Datuk Tanamo, itu… calon bupati kita, dari partai…entah aku sendiri lupa partainya. Meski cuma calon bupati, rasanya tak enak dipandang mata. Bila kondisi jalan dan rajang kita semrawut".

Nah, ini yang langka!. Pelayanan yang ikhlas dari rakyat. Agar kampung tidak semrawut, agar sepatu calon bupati tidak kotor, masyarakat harus bekerja keras. Tapi kondisi ini yang tidak aku senangi. Ketika calon bupati atau malah bupati sekalian yang akan hadir, rakyat berusaha keras memberi pelayanan yang baik. Coba saja, kalau rakyat yang datang ke kantor bupati, belum tentu ada bentangan karpet merah. Bahkan baru-baru ini, saking lugunya, seorang warga kampungku mesti menanggalkan terompa dan berjalan membungkuk-bungkuk. Menegur Pak…Buk…kiri kanan, meski yang disapa cuma tukang sapu di kantor itu.

"Biar saja begitu,Pak. Apa adanya. Mudah-mudahan Pak Datuk Tanamo itu tersentuh melihat kondisi daerah kita, dan siapa tahu ia berbaik hati menebar uang kepada warga yang melambaikan tangan disepanjang jalan. Kan mantap, kampung kita ini beraspal uang. Ha…ha..ha..", aku mencoba berseloroh. Tertawa seperti kuda kegirangan.
Pak Jorong juga tertawa. Tawanya ku dengar seperti VCD rusak. Lagi-lagi aku tersipu malu.

"Begini Ad", Pak Jorong memperbaiki posisi duduknya. Mencoba membuatku lebih serius. Ia melanjutkan ucapannya. "Ini kan musim Pilkada. Para calon bupati berlomba-lomba datang ke kampung kita. Lumayan, di sini ada sekitar 2000 lebih suara. Maksud saya, terlepas dari persoalan Pilkada, jalan dan rajang kita memang sudah pantas untuk dibersihkan dan diperbaiki. Syukur, kalau ada bantuan dari calon bupati. 

Kalau tidak ada, ya… tak apa-apa. Toh, yang bersih itu kampung kita juga. Jadi menurut saya, kita manfaatkan momen ini untuk bersih-bersih. Kalau tidak begini caranya, susah mengajak masyarakat kita untuk berpartisipasi, bergotong royong", papar Pak Jorong panjang lebar.

Luar biasa Pak Jorong. Di luar dugaanku. Pak Jorong yang tamat SD tetapi…
Untuk kesekian kalinya aku digunduli. Aku merasa konyol dan tolol di muka Pak Jorong.

"Lalu, apa yang bisa saya lakukan Pak?"

Barulah aku sadar, ternyata Pak Jorong sedang berusaha memancing aku. Sejauh mana kepintaranku membaca situasi dan mengambil manfaat dari situasi itu.

"Aswad, bagiku, yang penting kampung ini bersih dan rapi. Aku juga berharap kampung kita dapat bantuan. Gotong royong itu, biar aku yang urus. Cuma, masalah bantuan, aku berharap kamu bisa menyusun permohonan, proposal atau apalah namanya. Aku juga berharap, kau langsung bicara dengan Pak Datuk Tanamo. Beliau lama tinggal di Jakarta. Katanya ia tidak begitu fasih berbahasa Minang. Kata orang kampung lain yang sudah dikunjunginya, ia selalu bicara bahasa Jakarta. Kau kan sarjana, Ad. Ku pikir bahasa Indonesiamu lebih bagus. Aku khawatir seandainya aku yang bicara bahasa Indonesia lidahku bisa terpatah-patah, ha…ha..", Pak Jorong meledakkan tawanya.

Sejenak ku resapi maksud Pak Jorong sampai…

"Baiklah Pak Jorong. Besok Pak Jorong terima proposalnya".

"Terima kasih Aswad, kalau begitu aku pamit dulu, sekalian menuju sawah".

Pak Jorong pergi. Cangkul yang tadi parkir di depan pintu kembali pindah ke bahu. Alangkah berwibawanya Pak Jorong dengan cangkul itu. Pria tinggi besar, kuat. Berbaju kaus lusuh. Celana disingsing setinggi betis. Sebatang cangkul dipanggul di bahu kiri. Persis seperti lukisan yang kulihat di pameran. Tentu saja di kota. Di kota, jarang sekali aku melihat petani.

(Empat)

Ada sekitar seratus lebih cangkul hinggap di kulit bumi. Setapak demi setapak, rumput liar yang mengerubuti lapisan bumi terkelupas. Aroma tanah yang segar menguap ke udara. Begitupun telapak tanganku. Setiap hunjaman cangkul ke tanah, satu kulit telapak tanganku terkelupas. Terasa perih. Pangkal jari-jariku berbuku-buku, juga perih. Aku tak hendak menangis.

Mendadak aku jadi gamang dengan kesarjanaanku. Bagaimana aku bisa menjelaskan kepada petani cara-cara mengolah tanah yang baik bila aku tidak mengerti cara mencangkul?

Cangkul itu aku lempar. Pantatkupun aku hempaskan ke bibir parit.

"Sudahlah, Aswad. Jangan dipaksakan, ini pekerjaan kami. Kau kembali saja ke kota, he…he…he…!"

"Hey, Kau Tando". Itu temanku sewaktu SD. Gembira bercampur malu. Merah pipiku, hangat membakar dadaku.

"Buat apa sekolah tinggi-tinggi, jika harus memegang cangkul? Hayo..sekarang apa idemu ?". Tando seolah menatangku berkelahi. Berkelahi antar kultur anak muda desa yang terampil dengan kultur anak sekolahan seperti aku yang tertangkap pandir.

"Entahlah…’ndo"

Tak pernah aku sebingung ini. Kampung ini serasa asing bagiku.
Tiba-tiba terdengar suara ribut. Di ujung jalan sana telah terjadi kerumunan. Samar-samar kulihat sebatang tubuh digotong dan ditidurkan di pinggir jalan. Aku segera berlari kesana.

Ayah!. Ya, itu ayahku. Ayah memang tidak ikut gotong royong, karena hari itu bukan gilirannya. Sekujur badannya berlumur darah. Aku tak tahu di mana lukanya. Kuperiksa secara seksama ternyata bahu ayah luka menganga.

"Siapa yang melakukannya?"

Aku berteriak marah. Seperedaran mata, kulihat seorang pria setengah baya berdiri ternganga, persis seperti luka di bahu ayah. Cangkul berlumur darah dan tanah sawah berada di tangannya. Aku melihat rasa bersalah di matanya.

"Crash.."

Satu tebasan hinggap di bahunya.

(Lima)

25 Juli 2006
Bunga di taman penjara. Tetap cantik. Rumput liar di sekitar taman menjadi nuansa sendiri, mempertegas anggunnya bunga. Masih tak ada kumbang. Yang ada hanya aku dan sebatang cangkul.

Tiba-tiba aku merasa muak melihat cangkul ini. Meski bukan yang ini, yang sedang aku genggam, cangkul lah yang membawa aku ke penjara. Aku kalap dan gelap mata. Tanpa bertanya, cangkulku hinggap di bahu Pak Mancayo, pria setengah baya yang berdiri ternganga. Luka menganga juga meruyak di bahunya.

Aku telah membunuh Pak Mancayo. Aku kira, dialah yang melukai ayahku. Memang iya, menurut saksi mata, hanya ada pertengkaran kecil antara dia dan ayahku. Biasa bagi mereka yang hidup di kampung. Ayah dan Pak Mancayo bertengkar soal pematang sawah.

Pak Mancayo yang sawahnya lebih tinggi berusaha membersihkan pematang. Karena terlalu tebal mengikis pematang, membuat pematang pembatas sawahnya dan sawah ayahku meniipis. Ayah selalu menambal. Karena itu terjadi setiap musim ke sawah, ayah berusaha menegurnya. Ayah mulai tidak sabar karena lama-kelamaan sawah pak Mancayo semakin luas dan memakan sedikit dari sawah ayahku. Sawah pak Mancayo membuncit ke arah sawah ayah.

Pada waktu itu terjadi keributan kecil. Ayah berusaha merebut cangkul Pak Mancayo. Hingga keduanya tergelincir dari pematang. Cangkul itu hinggap di bahu ayah.
Ayah terluka dan masih hidup. Pak Mancayo juga terluka, olehku, dan meninggal dunia.
Kematiannya membawaku ke penjara. Keluarganya tidak bisa menerima.

Kembali kuamati cangkul di tanganku. Cangkulkah yang membawaku ke penjara ?
Tiba-tiba aku merasa muak. Terbayang di pelupuk mataku, cangkul berlumur darah dan tanah sawah. Aku mendadak muntah.
"Hoaaakh…" !!!
 


Empatbelas juta


Cerpen Muhammad Nasir


“Setidaknya, saya butuh empatbelas juta, rupiah.” Suara itu terdengar lemah dan takut-takut. Setelah itu hanya diam. Rumah yang terletak di perkampungan sejuk itu berubah seperti kotak yang hanya memuat satu rekaman saja.

Dingin yang menusuk-nusuk tidak dapat ditahan oleh Wan Leno. Paru-parunya bengkak. Sebongkah air seolah membeku di sana. Air itu mungkin saja air mata. Air mata yang jatuh ke dalam. Suara jangkrik dan pekikan kodok entah ke mana. Si Pirang, anjing kesayangan Wan Leno tak lagi mendengus. Betina siapa lagi yang hendak dikawininya.

***

Keheningan itu akhirnya pecah di atap. Butiran air itu terasa menabuh genderang perang, perang di kepala Wan Leno dan juga Saparman. Sungguh tak berirama, kecuali gemuruh yang memekakkan telinga.

Wan Leno lantas teringat kerbau yang dikandangkan di ladang. Nun, setengah kilo dari rumah. Setidaknya malam ini kerbau betina itu harus tidur di dangau samping rumah. Esok Mak Gindo akan meminjam kerbau itu untuk mengilang tebu. Sudah dua hari ini kerbau Mak Gindo mogok bekerja, sebab anaknya yang berumur satu tahun hilang.

Sekarang hujan. Wan Leno tak mungkin lewat di sela-selanya. Tetapi dingin yang menusuk tak menghalangi langkah tuanya. 

***

Saparman Tanjung tak pernah mengimpikan kemewahan di tengah pestapora kemiskinan keluarganya. Beberapa kertas yang dimiliki ayahnya, di antaranya timah rokok, kotak obat nyamuk dan entah apa lagi berisi catatan hutang.

Di tengah itu semua, Saparman Tanjung mendekam di kamar yang senatiasa setia memelihara ingatannya semenjak kecil. Dinding kamar itu tidak berubah dari tahun-ke tahun. Kalaupun boleh disebut perubahan, warna kekuning-kuningan dan sebagian menghitam adalah wujud menuanya usia bangunan itu. Tidak terlalu tua, paling tidak sedikit saja di bawah usianya yang sekarang menginjak sembilan belas tahun.

Dinding itu merekam semuanya. Salahsatu dinding ke arah kiblat memuat goresan ayahnya, Wan Leno; Husni, lhr tgl 06/06 1993. Itu nama adiknya, almarhum meninggal 3 tahun setelah dilahirkan. Kata ayah, Husni meninggal karena jatuh di dekat sumur. Orang kampung menyebutnya tasapo.* Begitu jatuh senja itu, esoknya badan Husni panas tinggi. Seminggu setelah itu Husni meninggal, sesuatu bengkak bernanah sebesar telur ayam tumbuh di alis kiri Husni.

Di utara kamar ada lukisan pertamanya: gambar kerbau dan seorang wanita. Gambar itu tidak bagus. Darmi, Ibunya pernah memarahinya habis-habisan, karena arang yang ia gunakan untuk melukis itu jatuh ke lantai, dan di sana ada selendang yang akan dipakainya ke sekolah, menjemput rapor Saparman. Di atas coretan itu ada foto perempuan berusia tak lebih dari tigapuluh. Itulah ibunya. Wan Leno tak hendak kawin lagi. Katanya malu dengan kemiskinan yang lekat di badan dirinya. Tak percaya diri.

“Empatbelas juta!” Saparman menikmati gumamnya. 

Gumam itu tidak mempengaruhi suasana. Entah mengapa frasa itu telah menciutkan tulang rusuknya masuk kedalam. Dan udara segera memenuhi rongga dadanya.

***

“Kenapa tidak masuk IAIN saja? Setidaknya aku bisa berpikir mencari akal untuk memenuhi biaya masuknya.” Wan Leno mencoba menawar. Ia telah kembali dari ladang. Dengus kerbau sudah terdengar.

Empatbelas Juta. Wan Leno merasa itulah angka tertinggi dalam sejarah hidupnya. Belum pernah ia menginginkan sesuatu dengan besaran angka segitu. Saparman mengatakan, berdasarkan pengalaman orng sudah berangkat kuliah ke Timur Tengah, harus ada uang di tangan sekitar jumlah itu dengan kurs rupiah zaman sekarang. Angka itu mulai diukur dari kampung hingga ke Timur Tengah. Alangkah jauh dan mewah.

Saparman terpekur dalam. Saat itu sebenarnya ia ingin masuk ke rongga terdalam mata orang tua itu. Apa yang dipikirkan ayah yang sangat dihormatinya. Dulu ayah pernah sekali dua mengatakan, sebaiknya setelah tamat Aliyah istirahat saja dulu. Jangan berpikir untuk kuliah. Nanti kalau ada jalan, beliau berjanji akan menguliahkan Saparman.

Saparman sangat mengerti. Ada kegamangan dalam batin Wan Leno. Saparman memang tak pernah berpikir untuk kuliah. Impian itu terlalu mewah untuk anak miskin seperti dirinya.

“Orang-orang sangat mengharapkan kehadiranmu di kampung kita. Haji Usman sudah terlalu tua untuk menjadi Imam. Ada banyak anak yang bisa kau ajar mengaji. Dan selebihnya waktumu dapat kau gunakan ke sawah bersama ayah. Rasanya tak kurang mulianya hidup menjadi petani dan ustad kampung,” Wan Leno setengah berpetuah.

Saparman merasa itu sebagai bahasa kekalahan dari ayahnya. Dalam kekalahan itu, ayahnya tak ingin terpuruk terlalu dalam dan berusaha menahan serangan Saparman. Serangan? Entahlah. Saparman merasakan berita kelulusannya untuk program beasiswa ke Timur Tengah memukul mental Wan Leno. Terutama tentang angka-angkanya. Empatbelas juta.

“Ayah, sebenarnya aku memang tak ingin kuliah. Tapi...”

Saparman ingat, siang itu Pak Masri, guru bahasa Arab di Aliyah tempat ia bersekolah menerima sepucuk surat undangan untuk mengikuti tes beasiswa S.1 ke Timur Tengah. Pak Masri sangat tahu, ke mana surat itu harus di berikan. Saparman Tanjung, orangnya.

“Sebaiknya engkau coba dulu. Inikan beasiswa. Mudah-mudahan inilah caranya supaya engkau bisa terus belajar agama,” kata Pak Masri.

“Apa saya bisa, Pak?” jawab Saparman tak yakin. Bertahun-tahun belajar agama, tak sekalipun terlintas untuk pergi ke Timur Tengah, tempat di mana agama ini meneruka sejarah.

“Ya, sekolah ini menaruh harapan besar padamu. Sejauh ini kaulah yang paling banyak hapal al Qur’an dan paling baik bahasa Arabnya.” Pak Masri mencoba membesarkan.

Harap dan sesal berbaur menjadi satu. Perasaan itu menjelma dalam diri Wan Leno. Saparman Tanjung merasa telah mengganggu kegembiraan Wan Leno, ayahnya seusai perayaan perpisahan sekolah. 

Tak terbayangkan bangganya Wan Leno ketika Drs. Bidar Alamsyah, kepala sekolah memuji-muji Saparman Tanjung setinggi langit. Wan Leno, yang sudah akrab dengan pujian kepala sekolah itu, merasa inilah pidato terbaik pria jangkung asal seberang itu.

“Saparman Tanjung! Entah mengapa nama ini memaksa kami dari pihak madrasah untuk memesan limaratus eksemplar koran, yang sekarang ada di tangan bapak-bapak dan ibuk-ibuk.” Kata Drs. Bidar Alamsyah ba’da mukaddimah. 

Koran? Wan Leno baru tahu apa arti bagi-bagi koran pagi tadi. Awalnya ia menduga ada kampanye. Misalnya, salah seorang anggota Komite Sekolah akan maju menjadi anggota legislatif. Buru-buru koran itu ia bolik-balik.

Tepuk tangan bergemuruh. Suaranya seperti memijit seluruh tubuh Wan Leno. Hilang sudah penat tubuh. Tiba-tiba tubuhnya bersimbah peluh menahan rasa bangga. Entah mengapa ia sudah berdiri dan bertepuk tangan dengan keras. Akhirnya ia malu sendiri, begitu kepala sekolah melanjutkan pidato.

“Di sanalah foto Saparman Tanjung, dengan latar belakang madrasah kita ini dimuat. Saya sudah pesan salah seorang wartawan terbaik dari koran terbaik untuk menulis besar-besar nama Saparman Tanjung dan nama madrasah ini.”

Wan Leno merasa seluruh pujian juga melimpah kepadanya. Setidaknya, seusai pidato nanti kepala sekolah pasti memanggil Saparman dan dirinya menuju pentas. Terbayang ada bingkisan untuk Saparman dan sedikit pujian untuk lelaki hebat sepertinya.

“Saparman telah berhasil mengangkat nama baik madrasah ini, dengan memperoleh nilai ujian akhir tertinggi se-kabupaten. Atas nama sekolah saya mengucapkan terima kasih kepada Saparman Tanjung.”

Tepuk tangan kembali bergemuruh. Tetapi hingga usai pidato, pujian dan panggilan tidak kunjung keluar dari mulut pak kepala sekolah. Wan Leno ingin merobek-robek koran itu. Harganya lima ribu.

Wan Leno ingat, kemarin Saparman Tanjung meminta uang limaribu rupiah. Katanya, Pak Kepala Sekolah ingin membeli koran untuk dibagikan ke wali murid. Isinya tentang kemajuan sekolah. Ia melihat harga di pojok koran itu. Harga eceran tigaribu rupiah! 

“Guru Kalera!* Wan Leno langsung menyumpah.

Hujan sudah reda. Tetapi malam tidak bisa dihentikan. Meskipun begitu malam terasa lama. Dua beranak itu hanya bisa membisu. Hanyut dalam pikiran masing-masing. Foto Darmi, ibu Saparman Tanjung langsung menjadi saksi bisu dua pria yang mungkin tak sempat ia suguhi kasih sayang. Darmi yang malang mati muda. Di foto ia tersenyum kecut, itulah peninggalannya, senyum yang takut-takut, wanita desa yang penurut.

“Tidak ada jalan lain, kita jual saja kerbau itu.” Wan Leno memecah keheningan.

Saparman terperanjat. Ia tahu kerbau itu satu-satunya kekayaan ayahnya. Semenjak ia sekolah makhluk hitam bulat itu sudah seperti istri ke dua bagi ayahnya. Rumput di carikan, kubangan disediakan, kotor dimandikan. Sekali waktu ia dengar ayahnya bercerita-cerita dengan kerbau itu.

“Tapi ‘yah, aku belum putuskan...” Saparman tercekat.

“Sudahlah”

“Yah, aku belum putuskan, apakah aku harus terima beasiswa itu atau tidak. Aku baru menyampaikan saja.”

***

Pagi muncul dengan percaya diri. Kokok ayam bersahut-sahutan. Tetapi di rumah masih gelap. Listrik kembali padam. Sepertinya kokok ayam sudah cukup pengganti azan. Subuh sudah datang. Wan Leno tidak ada di rumah. 


Ah, biasa, pikir Saparman. Memang itulah kebiasaan ayahnya. Paling-paling setelah subuh ia segera ke sawah, memastikan tidak ada pematang yang runtuh. Hujan semalam memang terlalu deras. Berjuta ton air tumpah ke bumi dan sedikit di antaranya menggenangi dada Saparman. Pembicaraan malam terlalu berat. 

Tetapi tiba-tiba...

“Saparmannnn...!” suara itu parau, suara Wan Leno.

Itu suara ayahnya. Saparman bergegas menuju arah suara itu. Tidak salah lagi itu dari kandang kerbau. Apa sepagi ini Wan Leno sudah hendak berangkat menjualnya.

“Ada apa ‘Yah?”

“Kerbau kita hilang!”

Ah, Saparman merasa pembicaraan tadi malam terlalu mahal. Bermimpi saja tak dapat, kenyataan malah terjual. Lenyap dibawa kerbau.

Dalam terang-terang tanah, antara cemas dan gundah, Saparman masih sempat bertanya; 

“Berapa harganya ‘Yah?”

Setidaknya ada delapan atau sembilan juta!” [*]
Parak Jigarang, 16 Juli 2008

Istiah bhs. Minang:
Tasapo: kerasukan roh halus
Kalera: sialan [umpatan]


Kredit Foto:
http://blontankpoer.blogsome.com/2006/01/30/kerbau-bule/

22 Juli 2008

Online: One Jadi Keren


Seorang ibu[baiknya disebut One Ciman saja] terengah-engah pulang mengantar anaknya mendaftar melalui jalur penermaan siswa baru (PSB) online. Selaksa peluh banjir di ketiak, leher, punggung dan –sorry terlalu perhatian hingga- di celananya.

Dengan gembira ia menceritakan anaknya sudah terdaftar secara online di sekolah. Hebat, sekarang langsung ke komputer. Betapa canggihnya. Ia seolah-olah telah yakin bahwa dunia sudah berubah, beda dengan zaman ia sekolah dulu, tahun tujuh puluhan.

Bagimana harga pendaftran online itu tidak menjadi perhatian serius bagi dirinya. Ia cuma mengaku, ternyata biaya sekolah terus melambung. Tak lebih baik atau sama dengan melambungnya harga terung atau maco siam. Apakah ada pengaruh signifikan PSB online dengan biaya pendaftran yang mahal? Dengan yakin ia mengaitkannya dengan kenaikan harga BBM.

Secara persis ia tidak tahu, makhluk apa persisnya PSB online itu? Yang jelas ibu itu bagian dari orang-orang tak bersejarah di negeri ini yang tanpa banyak wacana dan cerita terseret-seret dengan arus budaya digital. Kata pertama yang diamininya adalah online dengan bacaan lidah onlen, beda tipis dengan molen.

***

Ibu itu adalah tetangga saya. Semenjak sebulan yang lalu ia sudah mulai mebolak-balik koran. Kejadiannya terjadi begitu saja. One Ciman tanpa dosa menduduki koran second yang selalu saya baca sore sepulang kerja. Dengan gemas saya ingatkan’ “One , jangan diduduki, itu koran untuk dibaca.” One beringsut, katanya “Oooh” dengan mulut bulat tanpa cela. Semenjak itu ia mulai memperlakukan koran dengan iba.

Sore itu hujan turun dengan lebatnya. Entah mengapa koran itu menceritakan tragedi banjir di beberapa kota. Dengan yakin ia berkata, “itu karena hutan digunduli.” Sedikit penegasan, saya katakan “digunduli untuk membuat kertas koran yang One baca.” Sekali lagi mulutnya munyong dengan nada ”Oooh”

Hingga matanya tertumbuk pada berita berjudul “Poltabes buka pengaduan Hotline.” Dengan sigap One bertanya, “Kemaren onlen, sekarang hotline, apa pula itu?” Aha, kasihan One. Apakah karena mutu pendidikan pada masanya yang kurang sehingga tidak mampu membaca perkembangan zaman, atau zaman ini yang edan hingga sukar diikuti. Tetapi saya jawab saja, “hotline itu One, pengaduan hubungan langsung lewat telepon 24 jam, bila One kehilangan ayam atau celana dalam.” Sekali lagi One berdering “Oooh.”

***

Tetapi One tidak patut terlalu jauh dipergunjingkan. Agar kelihatan samar ada baiknya tuduhan diperluas. Pertanyaannya, “kira-kira ada berapa banyak orang seperti One Ciman? Apakah segala sesuatu yang serba line-line butuh penjelasan kepada orang banyak? Sayangnya, terma line-line-an itu seperti hinggap di bahu orang-orang kelas menengah ke atas yang terdidik secara baik.

Beberapa tahun terakhir budaya len-lenan itu merajai perilaku komunikasi orang Indonesia raya. Mulai dari saluran telpon partyline, yang berisi obrolan cinta, saluran Hotline dengan tema boleh apa saja, internet online dan sebagainya. Sepertinya, tidak sah pergaulan antar sesama manusia bila tidak ada line yang tersambungkan.

Sejatinya line itu berasal dari Bahasa Inggris yang berarti garis. Jadi antar satu orang dengan orang yang lainnya harus dibuatkan garis agar jelas dan tepat sasaran. Sepertinya kalau itu berarti garis, orang dulu juga tidak terlalu kuno. Lihat saja istilah “garis nasib”, “garis ibu”, “nan bagaris (h) juo nan bapaek”. Perkembangan mutakhir teknologi cuma mempercanggihnya

***

Line lain yang akan diceritakan adalah online-offline. Dalam sebuah chatting tertulis kotak yang tertulis offline. Itu pertanda anda belum terhubung. Dan bila tertulis online, bersiap-siaplah mengetik, membuat pesan apa saja agar line (tersambung) dan tidak menerabas ke mana-mana. Itu juga menjadi pertanda bahwa anda masih waras, tidak mencla-mencle kata Pak Lek asal Wonogiri.

Dan republik ini memang bergerak ke arah yang canggih. Saya khawatir ada banyak republik yang terbentuk lewat media online ini. Lihatlah, kerumunan orang-orang di beberapa kafe di Jawa. Terakhir ada laporan sebuah koran, di Yogyakarta sudah diproklamirkan sebuah republik. Diproklamirkan sembari duduk (ngelesot) dan diberi nama republik HotNgelesot. Tanpa pemilu, tanpa presiden. Semua berlangsung secara damai. Semua orang bicara apa saja bebas seperti di negara Indonesia.

Konon republik itu terselenggara oleh kemajuan “perdagangan” dengan komoditi bernama Hot Spot. Harfiahnya titik panas. Orang yang tidak ahli bisa menterjemahkannya ke mana-mana. Untuk makna pasnya serahkan saja kepada ahlinya.

Tiba-tiba saya merindukan barang itu hadir di kota ini. Minimal untuk mengatasi mahalnya akses internet. Celakanya tidak semua tempat bahkan tidak seluruh kampus menyediakan fasilitas itu. Pada seorang dosen pernah saya tanyakan, “tak usahlah diadakan, saya khawatir digunakan untuk yang bukan-bukan.” Dalam hati saya berkata , “Jabatan bahkan negara saja sudah digunakan untuk yang bukan-bukan.”

Kecanduan terhadap internet sebagai bentuk pergaulan baru yang senantiasa online ibarat mabuk kacang goreng. Sekali mulit menganga, tangan tak akan berhenti menyuap. Semua itu akan berhenti bila kacang goreng habis. Selagi online semuanya akan berakhir saat deposit saku habis untuk membayar tagihan warnet, atau ada gangguan jaringan, atau listrik dipudurkan PLN. Bahkan tak jarang internet dan kacang goreng dilakukan secara bersamaan.

***

Dua hari kemudian One bertanya lagi. “Buku digital itu, apapula maksudnya? Apa tak cukup antene saja yang digital? Kemaren guru si Buyung menyuruh saya mengunduh buku secara online di internet. Tambah bingung ambo. Pakai HP saja sampai sekarang belum bisa?”

Saya hanya bilang, “unduh saja, siapa tahu bisa.” One bertanya lagi “bagaimana cara membacanya?”
Saya jawab, “Eja saja hurufnya! Tetapi lebih penting dari itu One harus ke warnet, bayar perjam atau per kilobyte, minta ke penjaga untuk mem-print lalu bawa pulang.”

“Kalau ingin keren, beli komputer beli WiFi atau pasang hotspot. Unduhlah di rumah.”

“Ondeh, alah mah Yuang, tambah paniang den.

“Paniang Online!”

17 Juli 2008

Legislator Jelani

Cerpen: Muhammad Nasir


Kota Kaleyen adalah kota cebol, sekaligus ibukota kabupaten yang namanya kebetulan sama; Kaleyen juga. Kabupaten Kaleyen. Ibukota Kaleyen. Begitulah. Di peta propinsi, luasnya tidak lebih se ibu jari. Tak heran, sekali tekan dijamin kabupaten Kaleyen hilang dari peta.

Sepertinya gambaran peta itu mewakili karakter warganya yang senewen, tidak patut diperhitungkan. Tidak termasuk aku, yang baik, cerdas dan tidak ambisius. Lihat saja bagaimana warga Kaleyen memilih pemimpin, misalnya anggota dewan. Jelani seorang legislator negeri itu dalam dua periode terpilih dengan cara yang samasekali tak terlintas di angan-angan.

Lima tahun lalu, lampu mati. Nyala puntung rokok sementara menjadi penyelamat beratnya beban PLN atas nama krisis listrik. Lima orang pria utama di desa ini sedang berkumpul di lapau kopi.

Mesti tak kelihatan, aku yakin semua mata mengarah kepada Jelani Syekali. Satu keahlian baru yang diperoleh Jelani setelah menjadi anggota DPRD adalah mengucapkan kalimat “SEBAGAI LEGISLATOR, AKU....”. Oleh karena kakobeh (kelatahan) itu akhirnya ia kami juluki Legislator Jelani.

Jelani adalah tokoh nyata dan benar-benar ada, senyata gelap saat ini. Pemilu esok ia berniat mencalonkan diri lagi di DPRD Kabupaten.

“Lampu mati, PLN mengehemat energi,” kata Jelani.

‘Heh...”, dengus entah siapa.

“Ya, betul! 2004 di ambang pintu, jadi semua energi harus dikumpul. Para legislator mesti manggung dan di mana-mana butuh listrik,” kataku.

Semua tertawa. Anda boleh bayangkan bagaimana suasananya. Aku memang sedang menyindir Jelani. Sudah empat tahun ia menjadi legislator, tapi tak sedikitpun posisi itu dapat mengangkat wibawanya. Setidaknya dari desa ini, tempat di mana tali pusarnya di tanam sekitar empat puluh tahun yang lalu.

“Sudahlah, jangan terus menyindir. Setidaknya kalian boleh berbangga, satu-satunya putra desa ini ada yang menjadi orang di ibukota kabupaten!” Jelani membela diri.

“Satu-satunya...”

“Menjadi orang bego di tengah para koruptor!”

“Ha...ha...ha...” tawa pecah seperti kaca. Ramai berderai-derai.

Begitulah, seperti biasa Jelani boleh kesal. Namun kami teman sepermainan Jelani melewatkan begitu saja kekesalannya. Wajahnya yang sebenarnya ganteng itu terlalu sayang dibiarkan tanpa celaan. Tak boleh ada yang sempurna.

“Kalian boleh mencela, aku tidak seperti mereka, korupsi memperkaya diri!” Jelani bersungut-sungut.

“Apa bedanya? Kau juga korupsi. Setidaknya mencuri waktu setiap hari Rabu, saat pasar ramai berjual beli!”

“Ha...ha...ha...”

“Tetapi tidak dagang suara ‘kan?”

“Sama saja, kau jual suaramu pada koruptor. Bukankah setiap rapat yang hari Rabu kau selalu bilang setuju apapun keputusan sidang? Dan tahukah kau sidang itu memutuskan ramai-ramai korupsi. Berarti kau setuju juga ‘kan?”

“Ha...ha...ha...”

“Hhhh“ Jelani menghela nafas

Nasib baik memang berpihak kepadanya. Dengan wajah tampannya ia dengan mudah dikenal oleh warga sekecamatan. Ditunjang oleh profesinya yang memang ‘wah’, pedagang kain keliling yang mengandalkan mobil pick-up bak terbuka. Dengan itulah ia berjaja, dari pekan ke pekan, dari keramaian ke keramaian. Final di pasar kecamatan, di sebuah toko pakaian miliknya sendiri.

Ibu-ibu rumah tangga senang kepadanya. Selain wajah yang cemerlang, dia bersedia memberi hutang pada ibu-ibu yang memang tak punya uang. Dengan suka rela pula ia bertandang dari satu rumah ke rumah yang lain menagih hutang. Singkat kata, Jelani terkenal di seluruh kecamatan.

Lagi-lagi nasib baik selalu mendekat kepadanya. Enam tahun yang lalu, ia diberi amanah atau lebih tepatnya dibujuk menjadi sekretaris partai politik. Sebutlah partai kain sarung. Jargon utama partai itu memang menggairahkan usaha kecil menengah.

Begitu bujukan diterima, Jelani langsung menyulap sepetak dari tokonya menjadi sekretariat partai. Plang merek partai serta sejumlah umbul-umbul begitu saja berkibar-kibar menutup merek toko Jelani yang bertajuk “X Fashion: menjual aneka pakaian, dari luar hingga ke dalam.”

Saat pemilu legislatif, Jelani berhasil memenangkan satu kursi. Aku mengira itu tidak lebih karena popularitas. Betapa tidak, ada beberapa calon lain yang diusung partai kain sarung. Semuanya tidak dikenal dengan baik. Ada yang sarjana lulusan kota Kaleyen. Orang-orang menolak memilihnya. Ah, sarjana pengangguran, tahu apa dia? Periuk emaknya saja belum tentu berasap.

Ada juga mantan pegawai kantor bupati. Sedikit terkenal, tetapi orang menganggapnya bercanda. Di kantornya, tak sekalipun ia memegang jabatan. Berarti ia bukan siapa-siapa. Ah, dia memang bercanda.

Ada juga bekas tentara. Tetapi selalu saja ada kekurangannya. Menurut warga se kecamatan ini, beberapa waktu ia ngantor koramil, tidak ada yang patut dicatat sebagai hasil. Berkali-kali ia ketahuan membeking judi togel.

Nah, selain yang tidak dikenal, tinggalah Jelani. Sebagai rakyat biasa yang beprofesi sebagai pedagang, ia sepertinya pantas dipilih. Tak ada cacat yang berkesan di ingatan. Orangnya tampan, baik dan tidak sombong. Siapapun yang sempat lewat di depan tokonya, selalu diajak mampir. Kalau tidak mandi cuci muka. Kalau tidak beli, lihat saja. Atau, kalau tidak perawan boleh janda kembang. Kalau tidak kontan, boleh hutang. Ramah, ‘kan?

Setiap kampanye, tak sekalipun Jelani berpidato. Dengan baju terbaiknya ia hanya tampil sebagai pembawa acara dengan orasi seadanya. Pada waktu itu ia berbicara:

“Saudara-saudara, sebagai calon anggota dewan dari partai kain sarung, saya ingin memperkenalkan beberapa teman. Mereka akan berbicara panjang lebar, tentang apa yang akan kami kerjakan bila mana terpilih sebagai anggota dewan. Silakan tuan!”

Itu saja, dan selalu itu saja.

Akhirnya Jelani terpilih sebagai calon nomor satu. Menjadi anggota legislatif dengan berjubel hak yang melekat pada statusnya sesuai dengan undang-undang.

Adakah Jelani jadi orang terpandang? Tidak. Terakhir aku tertawa terkikik-kikik. Pak Bupati datang ke desa kami sembari menitipkan sedikit buah tangan untuk membangun jembatan.

Seperti layaknya pejabat pak bupati memberi penghormatan kepada petinggi desa. Salah satunya kepada Jelani, petinggi setempat sekaligus anggota dewan yang terhormat. Dalam sapaannya kepada Jelani, pak bupati menanyakan, “Yth bapak Jelani, bagaimana usaha tokonya, apakah lancar-lancar saja”. Tak kalah fasihnya, Jelani sigap menjawab, “Alhamdulillah usaha semakin berkembang pak!”

Sebagai anggota dewan mestinya ia malu ditanya begitu. Pak Bupati memang arif, sangat bia membuat pertanyaan yang sesuai dengan kemampuan otak dan pengalaman orang. Buktinya tidak sedikitpun Jelani gagap menjawabnya.

Lampu belum juga menyala. Cahaya lilin berpilin-piln ditiup angin. Mulai saat ini ada baiknya PLN dijuluki perusahaan lilin negara. Semakin terang dunia semakin habis bahan bakarnya. Tinggal sumbu yang menciut hingga ke pangkal.

Jelani, mulai enggan diperolokkan. Ia berniat hendak pulang. Sebelum pulang ia meninggalkan keinginan:

“Sekarang, coba kalian pikirkan, bagaimana agar aku terpilih lagi!”

Kami semua bertukar pandang, sebelum sepakat dengan satu suara; suara tawa!

“Ha...ha...ha...!!!”

***

Celaka atau bahagia, ya? Pemilu 2004, Jelani menang lagi. Sepertinya warga kecamatan ini mulai pendek ingatannya. Ingatan warga mungkin terbatas pada, toko pakaian, kebaikan dan baju kreditan khas Jelani.

Anda mungkin masih ingat ceritaku tentang kunjungan bupati ke desaku. Pada waktu itu bupati menanyakan perkembangan usaha Jelani. Memang begitulah adanya Jelani . Meskipun mejadi anggota ‘dewan’ - begitu kami menyebut para legislator -, tak sekalipun ia absen berdagang pakaian. Kasarnya, Jelani hanya datang di saat sidang, kecuali sidang-sidang di hari Rabu.

Tak heran usahanya semakin lama semakin berkembang, dengan usaha yang keras membanting tulang. Terakhir ia menerima penghargaan sebagai sosok usahawan yang sukses di bidang usaha kecil dan menengah. Di saat para anggota dewan yang lain sibuk berpidato tengan kredit pertanian, ia sudah melakukan kredit pakaian dengan angsuran ringan.

Pada hari di mana aku bersua dengan legislator langka itu, aku bertanya:

“Selamat Jelani. Aku cuma mau bertanya, apa yang engkau lakukan? Begitu jinaknya warga Kaleyen, ataukah buta, mudah saja engkau terpilih sebagai anggota dewan,” tanyaku seadanya.

“Ah, biasa saja,” katanya. Tangannya masih sibuk membetulkan kancing safari baru yang sengaja dipesan untuk pelantikan. Tak lama ia melanjutkan:

“Barangklai karena ‘X Fashion’ inilah. Semakin berkembang usaha pakaianku semakin banyak simpatisan.”

“Meski mangkir dari sidang?” sindirku.

“Entahlah. Setidaknya suara korupsi lebih nyaring,” jawabnya datar.

“O, ya?”

“Atau karena aku tidak populer di ruang sidang, tidak sekalipun aku masuk koran”

“Hekk!!!”

“Aku selalu memberi bukti tidak hanya janji! Ini...,” katanya seraya menyodorkan Mp3.

Ya ampun, keren juga orang tenggen ini. MP3 keluaran terbaru. Bisa menyanyi, merekam dan entah apa lagi.

“Ayo, Putar!” pintanya.

Tak jua aku putar MP3 itu. Bukan apa-apa, aku tak mengerti caranya. Jelani berbaik hati membantu. Dari pengeras suara benda ajaib itu terdengar:

“Saudara-saudara, sebagai calon anggota dewan dari partai kain sarung, saya ingin memperkenalkan beberapa teman. Mereka akan berbicara panjang lebar, tentang apa yang akan kami kerjakan bila mana terpilih sebagai anggota dewan. Silakan tuan!”

Itu suara Jelani waktu kampanye dulu. Jelani tak pernah berjanji apa-apa. Kecuali hanya memberi sangkutan tentang ‘apa yang akan ia kerjakan bila mana terpilih sebagai anggota dewan.’ Aku menemukan jawabannya; J-U-A-L-A-N!

Aku dan semua warga kabupaten memang senewen. Lain halnya Jelani, usahanya semakin lancar tanpa hambatan, ibarat menghasta kain sarung, tanpa ujung. Pas dengan nama partainya, partai kain sarung.

Pemilu 2009 aku dengar Jelani ingin mencalonkan diri di tingkat propinsi. Sekiranya itu benar, setidaknya aku wajib menyarankan agar ia belajar berpidato. Dengan begitu, mudah-mudahan ia tersandung.

***
Padang 1999-2008,
Ingatan yang melelahkan

Lasykar Setan

Cerpen: Muhammad Nasir

Malam yang kelam semakin norak. Sehabis hujan sore, semua yang berbunyi aktualisasi diri. Utamanya tentang suara-suara yang hanya dimengerti oleh mereka sendiri. Tetapi ada juga yang yang melantunkan nada yang aku yakin ia sendiri tidak begitu paham artinya. Seperti orang mimpi. Di samping itu ada juga bunyi-bunyi yang tak paham situasi. Asal bunyi.

Bunyi-bunyian itu semakin congkak. Terutama katak, ngakak terbahak-bahak. Pantas saja Musailamah pria mendaku nabi di zaman kejayaan Arab Islam itu terobsesi membuat apa yang ia sebut ayat. Hai katak anak katak. Bersihkan apa yang mesti engkau bersihkan. Di atasmu; di atas air dan di bawahmu; di dalam tanah! Nah...katak, berdendanglah.

Sedikit yang tidak terusik, para penghuni rumah petak. Mereka juga sibuk dengan bebunyiannya sendiri. Ada empat petak ukuran empat kali enam. Masing-masing petak berhak atas satu kamar tidur dan sedikit tempat yang kadang dianggap ruang serbaguna. Satu petak tentu saja kerajaanku.

Rumah petakku jangan disebut. Sementara aku anggap sebagai petak terbaik, nomor satu. Diisi oleh seorang intelektual jebolan magister filsafat, mantan aktivis mahasiswa, penikmat sastra, penulis beken dan pembicara di berbagai seminar simposium. Ya, itu aku Aqilani, artinya dua orang berakal. Siapa itu? Pertama aku, yang kedua aku sendiri. Aqilani ini sang pencandu bola. Mirip sedikit dengan pemain bola Aquillani. Dari nama bolehlah.

Bergeser ke kamar kiri, nomor dua, Khalid Baidlowi mahasiswa pascasarjana semester tiga. Pria muda, katakanlah penggemarku, karena di mana-mana aku dengar jika berbicara ia selalu berusaha mengkaitkan pendapatnya dengan aku. Misalnya, ‘menurut bang Aqilani... bla...bla...”. Entah bagaimana pria dari Jakarta yang mengaku orang Betawi asli plus sedikit darah Arab dari garis kakek ini bisa indekos dekat rumahku.

Lalu petak ke tiga, Jekli Ferdana, mahasiswa semester akhir jurusan ekonomi pembangunan. Entah mengapa ibunya memberi nama seperti itu. Mungkin saja ibunya atau bapak atau siapa saja yang dekat dengan keluarganya punya feeling dengan dunia modern. Jika memang modern nama bujang itu mestinya Jackly F(P)erdana. Tapi persetan soal nama kata Shakespeare, Jekli atau Jek itu orangnya sedikit alim. Ukuran alim, nanti sajalah.

Lalu yang terakhir Sahat. Sahat saja, lima karakter ketikan, tanpa last name. Orangnya cerdas dan lucu. Kelucuan pertama terletak pada namanya. “Apa kabar Sahat? Sahat-sahat saja,” katanya. Dan aku memang paling suka dengan bujang pulau Mentawai ini. Ceria dan memecahkan masalah, terutama masalah konsumsi. Hampir setiap pulang kampung ia memanggul hasil ladang dari pelabuhan menuju tempat kos, tanpa malu-malu. Oh, Sahat temanku pencandu bola. Senja ini ia sudah tertidur di kamarku. Katanya, numpang nonton final Piala Eropa. Sip!

Empat lakon sudah disebut satu persatu. Mudah-mudahan aku tidak subjektif, membeberkan Curriculum Vitae aku dan sebut saja three musketeers tetanggaku berdasarkan suasana hati, like and dislike. Yang jelas tuhan telah membantu memilah umatnya berdasarkan petak rumah. Dan sepertinya tuhan mengerti bahwa setiap petak rumah ini mewakili kelas dan kaliber penghuninya.

Bunyi-bunyian itu makin marak. Di tengah pluralnya penghuni kamar, alam sepertinya tak sedikitpun menciptakan harmoni. 

Suara televisi menggelegar mengalahkan desiran air bandar yang mengalir lancar. Menyuarakan suasana Jakarta yang banjir besar. 

“Banjir lagi! Apa Jakarta tak lagi berpori-pori?” Itu suara Khalid si Betawi. Tampaknya ia mulai teringat kampung halaman. Padang tempat ia mengeram tidak begitu saja menghapus kenangan akan kotanya rawan karam. Mungkin ingatannya masih tersambung ke kampung halaman karena satu alasan; kiriman. Uang saku selalu menjadi sel-sel aktif yang menghubungkannya dengan Jakarta.

Suara televisi ditingkahi suara Khalid yang mulai menelpon ke Jakarta.

 “Gimana rumah kite ‘Nyak? Babe siape yang ngangkut? Lalu gimana...gimana...Ntar kalo gini gimana?” 

Gila, semua itu dituturkan dengan suara keras. Suara Khalid yang keras menghempas ke urat gigi. Ngilu hingga ke gusi.

Kamar satu memang sakit gigi. Tiga malam terakhir berturut-turut asap mondar mandir dari mulut ini. Berikut kopi panas, segala minuman manis masuk tanpa kontrol. Alhasil, badan runtuh ripuk panas dingin. Semua itu bermuara pada acara symposium nasional kerukunan kebangsaan.

Bangsa ini perlu diselamatkan. Setiap orang harus mengingat lagi dalam-dalam mengapa bangsa ini ada. Untuk apa bangsa ini dimerdekakan dan bagaimana bangsa ini harus diurus. Begitu di antara tema-tema yang hangat dibicarakan. Hasilnya mengecewakan, satu kesimpulan memang berhasil dituntaskan. Hanya saja bagiku itu cuma satu slogan. Masak jauh-jauh berdatangan, hasilnya cuma frasa “Selamatkan Indonesia”. Anak kecil juga tahu. Itulah yang juga membuat aku semakin sakit gigi.

“Hey, suaramu! Aku sedang mengaji!” Itu dari kamar tiga.

“Persetan, rumahku kebanjiran!”

“Justru aku mengusir setan!”

 Kamar tiga melanjutkan bacaan. Sesekali berhenti mengaji dan mengumpat ke kamar dua dengan mengutip hadis ”apabila dibacakan Qur’an dengarkan.” Lantunan ayat al-Qur’an berbenturan dengan percakapan keprihatinan. Suasana crowded. Tak hanya katak, jengkrik, nyamuk dan burung hantu juga ikut melantunkan nada sophran.

Kamar satu masih diam. Aku mencoba menggenggam apa saja. Menahan perasaian dan perasaan. Sebagai yang dituakan aku berusaha menahan diri, minimal tidak ikut menambah keruwetan. Suasana di sini memang lagi runyam. Setidaknya itu aku rasakan di kamarku.

Brakk!!!

Apa lagi ini. Kepalaku rengkah. Urat gigi menjalar menuju otak. Menarik apa saja urat-urat kecil di bongkahan kepala. Aku tidak bisa lagi berpikir. Sekejap saja sakitnya berpindah ke hati. Inilah yang namanya santet. Dua kamar di sebelah telah melakukan ritual setan. Dari jauh mereka telah menyakitiku.

“Apa lu bilang? Lu bilang keluarga gua setan?” 

Dahsyat, ada logat Betawi. Biasanya situasi sedang runyam. Ternyata Khalid telah selesai menelpon. Satu gebrakan di pintu telah menghantarkan tangan kirinya ke krah baju Jek yang termangu. Khalid siap meninju.

“Bukan, maksudku kau menelpon terlalu keras. Suaramu mengganggu konsentrasiku.” Jek membela diri.

“Tapi ‘lu bilang mengusir setan? Gua tersinggung, Tauuk!

“Kau yang bilang duluan”

Aku menggeram. Di manapun kau berada, kuberitahukan bahwa itu pertengkaran. Dan pertengkaran itu di mana-mana memakan korban. Terutama saat ini aku! Tak laku lagu “dari pada sakit hati, lebih baik sakit gigi”. Pertempuran di sebelah terus berkecamuk.

“Lutak gak punya perasaan ye, kampung gua kebanjiran, tauuk!”

“Iya, tapi aku sudah toleran. TV mu kau setel keras-keras, aku diam. Lalu kau telpon-telponan!”

“Meneketehe’, gua punya alasan. Gua nonton berita, ‘lu juga ngaji keras-keras!”

“Biasa juga begitu. Apa masalahnya?”

“Justru ini tidak biasa. Jakarta kebanjiran. Itu masalah rumah dan keluarga gua, tauuk!”

“Jakarta kebanjiran? Ha...ha...ha...biasa ‘kan?”

“Setan!”

“Apa?”

“Persetan!, jangan coba-coba bangkitkan setanku”

“Itu masalahnya! Kau bawa-bawa nama setan. Aku mengaji kau bilang persetan.”

“Lha, itu juga masalahnya, ‘Lu bilang mengusir setan. Setan sok alim, ‘lu!”

“Kau yang setan!”

“Setan!”

“Setan!”

Setan berbalas balasan. Sepertinya tak ada yang mau didaku setan. Dan sepertinya aku, jagoan kamar satu yang harus memvonis mereka. Kepalaku berdenyutan. Nampaknya setan juga sudah mulai bergelayutan. Tanpa dapat ditahan, spontan aku mengumpat;

“SYAYTHAAOOOOOOON...!!!”

Nah, itu ungkapan yang paling faseh, langsung dengan lahjah Arab. Syin-Ya-Tha’-Alif-Nun. Syaythan! Aku yakin setan yang sebenarnya pasti terpana. Jarang-jarang orang Indonesia dengan fasih mengucap namanya. Barangkali ada juga, trah ustadz, qori’ dan qori’ah atau Arab keturunan. Kecuali Khalid.

Flippp!

Mendadak lampu mati. Tak ada lagi umpatan setan menyetankan. Bahkan suara manusiapun tidak. Sesaat malam kembali menjadi milik katak. Wredeg...wredek dan ragam bunyi lainnya mengalir begitu saja dari leher-leher gempor sang katak. Jengkerik mengerik seolah menarik beban yang berat.

Lega. Sesaat aku lega. Seiring satu tarikan napas, aku berpikir untuk melerai pertarungan setan menyetankan itu. Kuraba setiap jengkal dinding dengan tangan yang tak jua hapal letak hendel pintu. Denyut kembali hadir di sela-sela gigi. Tak kuhiraukan lagi, yang jelas suara-suara setan itu sudah berhenti. Dan...

“SSSYEETAAN!!!”

Dan...aku terperanjat. Sahat. Aku hampir saja melupakan budak yang pulas di ranjangku. Tetapi kehadirannya bersama “setan” kembali menonjok urat gigi. Sepertinya tak ada lagi dunia. Mendadak bintang kecil menghiasi malam, sampai semuanya kelam.

Sungguh! Lima menit aku tak tahu apa-apa. Begitu sadar aku dengar Three musketeers itu terlibat debat ringan. Sepertinya suasana mulai reda. Langit mulai terbuka. Satu persatu bintang menampakkan wujudnya. Aku mendatangi mereka.

“Hey, kalian! Ada apa?” tanyaku.

“Khalid...”

“Bukan! Jekli, Bang...”

“Setan? Iya kan?” Dan kau, Sahat?”

“Aku mimpi”

“Maksudku, apa kalian tidak bisa menjaga ketertiban. Apa kalian tak mengerti, aku lagi sakit gigi, heh!”

“Tapi semua terjadi begitu saja, bang” Jek membela diri.

“Lha, dia yang tidak bisa memahami situasi. Mengaji sambil mengumpat,” Khalid tak mau kalah.

“Bukan, kalian berdua keterlaluan. Aku sudah menahan diri. Terutama menahan sakit gigi. Tapi kalian berdua malah kesetanan.” Benar! Aku lupa sakit gigi. Aku leluasa memaki.

“Jek yang pertama membangkitkan setanku!”

“Stop”

“Lha, setan dibangkit-bangkitkan. Apa kau memelihara setan, Khalid?. He, he,” Sahat cengengesan.

“Hey, kau sendiri Sahat, setan apa pula yang kau panggil?”

“Aku mimpi bang. Mentawai karam. Gelombang menggulung seluruh Laggai , semua pribumi mati dengan wajah yang mengerikan. Orang-orang ramai menyebut setan. Sampai satu sosok menyeramkan bangkit dalam kegelapan. Aku ketakutan dan berteriak, “SSSYEETAAN!!!”

Sialan. Mata Sahat mengarah padaku.

“Hey, itu aku. Kau bilang aku setan?” Aku nyaris tertawa. Mestinya aku marah, dasar Sahat...

“Abang sendiri, setan jenis apa pula yang abang panggil?” tanya Khalid

“Sejenis kalian, atau mungkin kalian!”

Ternyata setan bisa muncul begitu saja. Pada orang yang sakit gigi, korban kebanjiran, orang mengaji dan orang mimpi. Dan setan itu keluar dari mulut orang. Terutama dari mulut orang Indonesia yang lahir dari mitos dan hantu-hantu.

Tidak ada lagi bunyi-bunyian. Katak sudah terdiam, langit makin terbuka. Perlahan-lahan bulan muncul di ketiak cemara. Aku yang pada dasarnya takut pada yang ghaib-ghaib, khawatir jangan-jangan ada penampakan setan betulan. Lampu masih padam.

NGIAUWWW!!!

“Jangan-jangan itu setan!” 

“Lewat mulut kucing!”
Parak Jigarang, 29 Juni 2008
 


14 Juli 2008

Pemenang CWI 2006


Loktong, memuat cerpen2 pemenang sayembara menulis cerpen nasional 2006 yang diadakan Creative Writing Institute (CWI) dan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. Penulis yang karyanya terdapat dalam buku ini antara lain M Badri (Juara 1), Azizah Hefni (Juara 2), MH Abid (Juara 3), Wayan Sunarta, Muhammad Nasir, Ragdi F. Daye, Rista Rifia Libiana, Irene Sarwindaningrum, Dalih Sembiring, Dian Hartati, Rohyati Sofjan, I Gusti Made Dwi Guna, Ina Nur Ratriyana, Ajun Kesuma, Hari Ambari, Endah Sulistyowati, Denny Prabowo, Iggoy el-Fitra, Indrian Koto, Alimuddin, Nana Supriatna, Joko Nugroho, Fahruddin Nasrullah, Griven H Putera, Gunawan Budi Susilo, Marhalim Zaini, Wicaksono Surya Hidayat, St. Fatimah, M Raudah Jambak, Widzar al-Ghifary, Sucipto bin Rapii dan Satmoko Budi Santoso.
dari: http://negeribadri.blogspot.com/

26 Juni 2008

syair pohon tanjung I

Oleh: Muhammad Nasir

dipagut kelam
hitam itu seonggok ban bekas;hanya
tak lebih lima saja, sebanyak jari setiap sisi
hitam itu; akan hilang bersama malam
tapi masih terus di sana selama tak ada pengambilnya
hanya; ia dipagut kelam saja
karena memang hitam legam corak langgamnya

hitam itu seonggok ban bekas;hanya
di kaki pohon tanjung
bersyair sendir; nyanyi liberal pada definisi yang binal
oral;oral;oral
mencari kepastian, menjenguk kedalamnnya
kertas koran, puntung rokok dan
tentu saja dedaunan dan bunga tanjung
mengisi hitam
tenggelam di kedalaman kelam
ada pikir dan akar yang jungkir balik
hasrat hanya menyentuh dedaunan yang rontok
harum tinggal di telunjuk
puntung sengit angit menyebalkan
kulit kuaci yang bau kencing
kondim bekas? menyentuhpun aku malas
dan ini terhampar di koran bekas
mencuci dari anu ke anu
melepas hitam
seperti jerawat masa transisi
liberalisme tak pernah mati
katanya; "akal akan mati lelah!"
kemudian mencari celah menuju allah
ampas hitam
pohon tanjung memeluk ban bekas
menunggu ampas tanpa sudi berpikir
mati akal; terserah semua, masuk sajalah
dasar sampah, tak perlu serapah
pasrah hitam
bersyairlah si pohon tanjung
mau kering, keringlah tak berdarah
mau patah, patahlah, roboh, robohlah
namun bila rebah, pasrahlah
mati hitam
kodokpun akan hinggap pabila rebah
anjingpun akan kencing di sini
sebagaimana anak remaja yang pacaran malam tadi
kondom latex berserakan di kaki
tidak hitam
dan tetapi tidak!
dulu kering sekarang hujan
dulu patah, sekarang tumbuh;mekarlah
dulu berharap rubuh tubuh, sekarang tegak;gagahilah
pohon tanjung tetap anggun berdiri
tetap hitam
kodokpun masih parkir di sini
remaja masih pacaran di sini
nyabupun boleh di sini
hanya saja tak seorangpun peduli
seperti tak patut dicurigai
hitam masih tetap di sini
memagut kelam kekasihnya
(20/11/06)

syair pohon tanjung II

Oleh: Muhammad Nasir

anak-anak di tepi jalan bernyanyi:
harum baunya si bunga tanjung
harumnya sampai ke hidung
itulah dia si bunga tanjung
tempat duduk anak yang murung

jika tak siang berhabis hari
matahari tegak tali
bila tak malam berhabis minyak
bulan hanya memandang congkak

tak hendak melantun syair
lihat saja gelanggang yang banyak
anak-anak menadah tangan
bunga tanjung tetap bertahan
seperti anak yang berdiri tegak
berharap lebih dari sekedar makan

itulah di si bunga tanjung
mata lepas badan terkurung
tadah tak lagi sekedar tempurung
mungkin lebih; mencari untung
makilah; tak tahu di untung!

Surga yang tersisa

Oleh: Muhammad Nasir

alangkah sombongnya
langit-langit yang tak bersuara
diam saja

anak-anak muda penuh gelora
melantunkan syair-syair hampa tanpa suara
tuhanpun dipaksa menari-nari di kepalanya

pengkhotbah lantunkan suara agama
ide-ide tua yang tak pernah menyerah
pada telinga yang nyaris bernanah

pelantun kata-kata
tak beranjak dari surau tua

pembaharuan! katanya
bisik keras itu melantun dinding
pembela tuhan berdiri saja di atas mihram

orang-orang suci
pertahankan kesuciannmu
bediri sajalah di atas menara
sebutlah semua apa yang ada
pada kau punya kepala
katakan, dunia yang berguna

tetapi tetap saja
tangis-tangis pilu, tak menyeruak meembus dinding
piring-piring yang berdenting
kosong! tak dianggap penting

pengobral pahala
bicaralah tentang surga di suatu masa
cukup untuk tuan-tuan saja

tentang anak-anak adam yang merana
akan ke surga dengan caranya
kavling untuk orang teraniaya
meski tak bersorban kain kafan

Mata kecil Pemelihara Api

Oleh: Muhammad Nasir


batu-batu yang beterbangan adalah jawaban
gravitasi butuh verifikasi
bumi tak hendak sendiri

debu-debu hanya ujung peranginan
bagi kaki jalang yang lalu lalang
menghadang lapar; patah arang

pada saat kabut hujan batu
dan tubuh yang bergelimpangan
adalah lukisan tiap-tiap persimpangan

anak-anak malang itu
memelihara api di matanya
menanak nasi di angan-angan

nasi masak di awang-awang
api di mata kecil itu masih menyala
membakar apa saja yang terlupa

terbakarlah! membakar apa?
langit abu-abu pada nasib yag tak menentu
mata-mata kecil itu mencari ibu pada elusan nafsu
(agustus2006)

eh! (buka mata,bung!)

Oleh: Muhammad Nasir


sekedar berita;
penyair di kandang kuda
bicara makna berkata-kata

eh!
entah siapa pula namanya
tidak siang berminyak peluh
tak malam bermandi bulan
hingga langit merah tua keesokan harinya
ayam betina bekotekpun disangganya
demi sebuah wibuwa;orang pintar mesti bicara
demi syair segala raja
tak peduli air liur pagi menetes
memaki-maki setinggi hati

katanya;hey penyair tak berbudi!
kau taruhlah tuhan antara kepala dan ujung kaki

eh!
mana ada tuhan di kepala sepi
otak yang tak mandi dan jarang ngaji?
untung aku bukan penyair
kecuali penulis puisi yang saban hari
butuh publikasi

eh!
apapula yang jadi soal?
bagaimana mungkin kau yang berkurung
seperti kadal bicara soal sosial
memaki-maki ala orang tak bermodal

eh!
manusia hewan yang berkata-kata
adat kata kadang tak butuh makna
di mulut si gila dan buta aksara
termasuk lidah di ujung pena

eh!
mana kupercaya
pada penyair di kandang kuda
tak kemana-mana, bicara pula baratayudha
dasar, murid kuda
(27/11/06)

Kemana hendak mencari mimpi?

Oleh: Muhammad Nasir


Bung !
Bagi kami rakyat badarai
Melihat siapa jahat siapa baik
Adalah sebaik penglihatan kami
Terhadap belahan dada dan paha
Di televisi
Begitupun tentang suka dan derita
Tapi, Bung!
Tolong jelaskan pada kami
Bahwa kau bohong tentang kami
Kami sulit mengenali
kejahatan dan kebaikan yang di politik-i
karena baik dan jahat hanya bisa
kami,lihat di sinetron,
ya… di televisi !
Bung !
cukup cerita tentang kebaikan
ceritalah tentang kejahatan orang lain
karena setahu kami
kejahatan adalah berita tentang perampokan
perkosaan dan pembunuhan
di acara buser, sergap dan bidik,
ya… di televisi
tentang keadilan dan kesejahteraan
hanyalah mimpi koran dan televisi
februari2004

Tujuan

Oleh: Muhammad Nasir

tujuan telah mengajakku
menyusuri seperempat usia zaman
lepas dari segala perjanjian azali
alastu birabbikum ?
berjalanlah aku tersebab ajakan tanpa suara
tarikan tanpa tangan, pijakan tanpa kaki
dorongan tanpa harapan
hembusan tanpa angin dan…
mengapa tanpa apa-apa
semua terkuak kerana takdir
tujuan memperkenalkan aku
pada tanahMu yang jadi sengketa manusia
batuMu yang ditambang penguasa
airMu yang dirampas negara
dan anginMu…yang
mungkin belum punya sesiapa
tujuan telah memperkenalkan ku
pada bunga yang merekah
padi yang membuncah
semua tersebab pada hidup
tujuan telah membawaku pada dunia redup
mengusai reruntuhan gabah kering
jerami yang membusuk
wajah tertunduk khusuk ripuk
tujuan telah menuntunku
menyaksikan perempuan tua
menjambak rambut memukul dada
menghentak kaki memilin perut
semua terasing dari sisir yang termangu
bedak bertabur di sisi kucing yang mendengkur
tidur bersama nasib
tujuan rayo haji 2000

Dosa Pahala

Oleh: Muhammad Nasir

Aku tak cukup pahala
Untuk pergi bunuh diri
Di medan penuh artileri

Beri aku sedikit waktu
untuk berpuisi
di depan pemimpin perang suci
agar sejenak perang terhenti

aku juga tak punya banyak dosa
untuk ditenggelamkan kedalam bui
yang penuh dosa korupsi

beri aku sedikit ilmu
untuk menerangkan kepada santri
bahwa pahala itu ada negeri ini

jihadlagi2000

Yang Maha terpilih

Oleh: Muhammad Nasir

Adalah Kau yang disebut tuhan
Oleh manusia dan raja-raja
Betulkah mesti ada tempat
Bagi yang patuh dan sering engkar
juga bagi yang tak mampu bersaing dengan
loyalitas mentari yang teguh dari timur ke barat

adalah Kau yang aku sebut tuhan
dengan apa harus aku persembahkan
ketaatan dan keengkaran manusia
jika shalat serta wudhu’ dengan air-Mu
yang manusia pakai
hanya mengotori maksud sembah sujud

adalah Kau yang disebut tuhan
oleh pencari keadilan
dan nabi-nabi
shalat mana yang lebih adil bagi manusia ?
beri jawabannya pada manusia
dan raja-raja

wahai Kau yang disebut tuhan
oleh makhluk yang maha pemilih
yang menemukan Kau dibalik kebuntuan
akal manusia dan raja-raja
beri satu jawaban diantara tak terhingga
selain surga dan neraka
katanya tabligh akbar.okt.99