14 September 2019

Tan: Sebuah Episode kelahiran


Tan: Sebuah Episode kelahiran
muhammad nasir

Rumah gadang
tempat lahir dan jelang menjelang
jadi museum persembahan dan kebanggaan

surau di tengah sawah
tempat azan dikumandangkan
jadi rumpun ilalang dan pematang panjang

rumah gadang dan surau di tengah sawah
episode kelahiran anak lembah suliki
di lihat orang di masa sekarang

Tan, rumah gadang dan surau di tengah sawah
di mana saga ijuk rumah gadang;
di mana pula surau tempat bang dan dikie
tempat ranah dan rantau bermula

2011


Tan : Sebuah Mozaik Gerilya


Tan : Sebuah Mozaik Gerilya
muhammad nasir

Masa politik sayup-sayup sampai
ingatan zaman sulit tergapai
Suara Tan sekecil sijantu lembah suliki
ajaranTan sembunyi di balik lemari sekolah

sudah adat gerilya raya bila pesan melintas zaman
dari jakarta, selopanggung dan berita koran
dari lemari sekolah engku nawawi sekolah raja
bapak syarifah kekasih terlupa

2011

Tan: Sebuah Episode Rantau


Tan: Sebuah Episode Rantau
muhammad nasir


Anak lembah yang merantau ke bukit
Fort de kock yang sombong meninggikan angan
“Berangkatlah datuk muda,” kata Horensma
dunia hanya setinjauan mata

rantau kecil – rantau besar hanya soal rasa
“ambillah tempat paling tinggi,” kata Bergsma
agar tak ada yang mendaku paling jujur,
paling paham dan paling berkuasa

anak lembah yang merantau ke bukit
menenteng palu arit dan merindu bulan sabit
kata Tan: “Indonesia terbit dari lautan!”
ya, tempat matahari kerap tenggelam

2011


Ramadhan O Ramadhan (1)


Ramadhan O Ramadhan (1)
            -kesaksian-

Sudah tepat ia bernama
penghulu segala bulan
segala tuan segala puan
tempat berlabuh semua impian

pasar
menjual buga rempah balimau
bunga rempah ziarah kuburan
menjual segala hajat kebutuhan
menjual segala murah mahal

jalan
merambu semua arah
spanduk dan tempelan
di pohon dan tiang telpon
marhaban ya ramadhan

tepian
memanggil semua laki perempuan
mandi, cuci muka buka pakaian
memanggil fatwa pengharaman
memanggil penjaga tradisi tak berkesudahan

koran
pamflet lembar balik bisnis musiman
dari tempat sahur dan pesta pabukoan
himbauan usang dan jual tampang
artis berbusana muslim juga musiman

Agust-2010
muhammad nasir

Ramadhan O Ramadhan (2)


Ramadhan O Ramadhan (2)
            -perkiraan-

marhaban ya ramadhan
yang dihimbau dan yang ditinggalkan

mesjid
penuh sesak dan penuh teriak
dari jamaah, garin dan pembesar kota
tumpah ruah mengurai pesan
seperti yang sudah-sudah

mimbar
makin lusuh makin rubuh
dari berbuka hingga subuh
tumpah ruah selaksa ceramah
tentang iman dan pahala impian

sajadah
basah bau pesing
kening yang bertotol hitam
menyeruduk berpusing-pusing
mencari tunduk yang paling dalam

Agust-2010
muhammad nasir

Ramadhan O Ramadhan (3


Ramadhan O Ramadhan (3)
            -pengakuan-


Lalu apa pula yang ku lakukan?

berupaya seperti dulu-dulu
menarik rambut dalam tepung
berpuasa seperti dulu-dulu
menarik rambut sambil bermenung

siang, masjid begitu jauh
salon dan toa mengantarnya ke telinga
ustadz pesantren ramadhan menghejan tuah
tentang dosa dan pahala

aku di rumah menggunjingkannya

malam, masjid begitu dekat
aku malas melangkah ke sana
khusyuk ripuk pahala menjauh
orang-orang amat sangat ramainya

lalu apa yang aku lakukan?

berdiam di rumah, berkain sarung
yang tak lepas sejak berbuka
hingga sahur esok paginya

marhaban ya ramadhan
bagaimana cara kepenghuluan tuan 
aku muliakan?

O ramadhan, mari saling memahami
layaknya keluarga yang lama tak bersapaan
aku menyenangimu tak seperti orang-orang

Tuhan, maafkan saja aku
karena aku memang serius
dan Engkau mahatahu 

Agust-2010
muhammad nasir

episode kehadiran


episode kehadiran
muhammad nasir

- sebelum berkata-kata

sesukamulah untuk mengatakan aku manusia, selebihnya engkau ular, biawak, buaya dan segenap yang melata. tugasku hanya bercerita tentang episode kehadiran yang menjadikanku manusia

- episode kelahiran

tak angin pula yang menyebar benih pada waktu yang tak berpori-pori. rasa sayang itu tak sudi terbang pada udara yang rekah

mata jua yang luluhkan rasa dalam-dalam. daging itu tumbuh dan terbenam pada pusaran kehidupan

berharaplah pada tanah, air, darah dan bongkahan daging. katakan saja; tak tersebab pada dirimu, tak juga atas nama  senggama segala apa!

angin berpilin tak beraturan, malam yang tak bertabir mengeluarkan lenguh kepanasan. hasil perkawinan resmi manusia pertama melahirkan aku pada lelehan yang ke sekian

lahirlah aku pada sakit terbaikmu!

-  menjadi kanak-kanak

dalam penjara yang dibuat oleh orang dewasa, tanah ini menjadi teramat sempit
diserakahi nafsu sebagai mata uang yang tak bermata.

menangis adalah cara yang terbaik bila semua tak dapat dipenuhi. biarkan angin menyapu setiap helai bulu mata yang lembab

jika telapak kaki hanya goresan hambar
maka anak-anak hanya bermain sesukanya

- alam pancaroba

katakanlah aku manusia, selebihnya engkau

aku hanyalah urutan-urutan kekinian. temukan saja aku pada otak-otak yang menalar liar

sedang engkau aku temukan itu pada daftar di alam yang tak lebar. Padahal  lendir itu telah menutupi lembah tanpa dasar. lendir-lendir itulah tumpahan sejarah

- tiba-tiba menjadi manusia

beberapa waktu yang tidak sedikit telah berlalu. lahir, tumbuh, berkembang, kerdil,
sesekali membesar, mengkerut lalu jadilah  seperti itu

dan tak ku ikuti kejadian itu kecuali aku mengerti. hidra mengisi otak kecilku merekam detik-demi detik menjadi kronik.

setiap denyut pada otak kanaku adalah nama. setiap nyalang adalah ruang-ruang lapang. otak yang mulai bebal menerawang.


ahai, ibarat kain buruk pada layar lanun tua. angin tak pernah menyapanya pada laut lepas yang amat luas

lembaran ingatanku berlayar tanpa lakon, tanpa narasi dan  juga tanpa durasi

- kembali menjadi lendir

dan pada senggama yang kesekian, jejeritan nyeri para ibu, membawaku pada kematian. sedikit ayang dapat kukatakan;
aku hanya percikan dari perjalanan letih lendir itu hingga beku di segenap sendiku.

lalu bagaimana aku menyebutnya sejarah?
lendir itu pada akhirnya menjadi kata-kata
kata-kata itu menjadi logika.

katakanlah aku manusia, selebihnya engkau, ular, biawak, buaya dan segenap yang melata

parakjigarang, 22/12/09


Bukan Surat kepada Hatta

Bukan Surat kepada Hatta
muhammad nasir


Bukan surat untuk engkau yang kami sebut Bung Hatta
pria berkacamata bulat; Proklamator Indonesia merdeka

Tak kami adukan nasib kami padamu
yang sudah pergi menghadap Yang Kuasa

Meski tak banyak yang kami ingat tentangmu,
kecuali nama bandara, jalan utama dan nama kampus

Bahwa apa yang kau kata tentang koperasi
sebagai upaya bersama untuk mencapai kesejahteraan
memang patut diviralkan.

Sayangnya tidak!

Memang tak kan kami adukan nasib kami padamu,
tapi kami hanya ingin menulis
bahwa perseorangan diri kami yang dihimpun
dalam usaha-usaha ekonomi sedang dikuasai
perseorangan yang lain.
Kami menyebutnya konglomerat.

Celakanya, perseorangan ini
menjadi penyokong utama demokrasi.
demokrasi yang ia kendalikannya sendiri.

dan mungkin saja, bilamana konglomerat itu tak sendiri,
Ia bersama dengan yang lain
Berbagi kuasa dan uang!
           
April 2017

Engku Natsir

Engku Natsir 
Gemilang dalam Gelimang
                      muhammad nasir


Peci hitam dan sorban putih
Melingkar lembut di jas kusam usang
Senyum terkembang penuh wibawa
Itulah sosok tegas, bersih putih
Membelai lembut pribadi tenang

Bersahaja!

Perca-perca Indonesia berserak
engku Natsir rajut dalam kesatuan
Menyatulah dalam keragaman
kami kenang itu sebagai mosi integral

Duhai Engku Natsir pahlawan mulia
Tak kenal lelah tak kenal usia

Tiba masa gelimang
Negeri berangsur berangkat pelik
Orang bertuan kepada politik
Moral berubah centang perenang

Zaman berubah, musim berganti
Uang menjadi penjinak negeri
Berpikir beda dianggap subversi
Beragama dipandang hina; anti-NKRI

Duhai engku
Inilah zaman gelimang
menutup gemilang
Hanya tunggu gelut geletang
sejamang menjelang perang

April 2017









Ringkik Jakarta

Ringkik Jakarta 
muhammad nasir

Jakarta yang cengeng
Beritanya sampai nusantara
Banjirnya, omong politiknya
Juga tipu tepok para elitnya

Jakarta yang berisik
Suaranya sampai se Indonesia
Pilkadanya yang penuh intrik
dikendalikan orang-orang kaya

Jakarta yang pecundang
Ibarat ayam betina
Bertelur satu saja
Ributnya sekandang

Jakarta yang ringkih
maju tertatih-tatih
di lautan uang
yang tak berseri

Jakarta yang sombong
Tak ramah bagi pelancong
yang berkantong bolong

Sejauh ini,
apa saja kerjamu hai jakarta?
Masih patutkah engkau jadi ikutan;
barometer negeri berkemajuan?

Padahal di kota mu itu
berdiam orang-orang hebat
atau mungkin juga
orang-orang bejat

2014-2017


Kupi Aceh

Kupi Aceh
muhammad nasir

Sejuta kedai kopi di malam yang hangat
adalah kedamaian yang sesungguhnya

Aceh tak pernah buru-buru menyambut pagi
Kupi setengah yang dijual murah
itulah undangan untuk malam berikutnya

Esok kita kembali ke padang,
menjemput hari yang serba tergesa

2017

Lebaran Puisi


Lebaran Puisi
muhammad nasir

Puisiku berjalan seperti orang berpuasa
Lelah, lapar, antara lesu dan angan-angan penuh nafsu
Puisiku seperti orang beepuasa menunggu berbuka
Kadang-kadang serupa orang menunggu lebaran
saat tiket menghilang di stasiun bus antar kota

Puisiku saat lebaran adalah pawai kebanggaan
kebanggaan pada baju, senyum terbaru dan ini itu
orang-orang menyalami puisiku satu persatu
Lalu pergia beberapa hari setelahnya

Puisiku, seperti orang berpuasa menunggu lebaran
Puisiku seperti orang lebaran hingga usai segala jamuan
Puisiku akhirnya dilupakan
Hingga bulan puasa dan lebaran berikutnya

29/06/17

Uang Hari Raya


Uang hari Raya
Muhammad Nasir


Uang kertas baru
Pecahan duaribu
Kuberi kepada bocah itu
Yang merengek di pangkuan ibu

Ia gembira
Ada kilau indah di matanya
Kegembiraan yang tak terkira
dari pemberian sederhana

Untuk apa uang itu?
untuk kusimpan saja
Kata bocah itu
Uang hari raya, katanya

Aku pergi berlalu
Ibunya juga gembira
Kutengok sepintas lalu
Mereka mencium uangnya

Gembira mereka sederhana
Meski jumlahnya tak seberapa
Hanya kita yang tak kunjung kaya
Lupa bersyukur kepada-NYA

19/06/17


Distorsi Puisi


Distorsi Puisi
            : kepada pemuja puisi
              alias pembuat puisi itu sendiri
              terutama yang sombong


puisi itu tak kurang;
adalah cara orang berkata-kata
tambah lagi berbicara

puisi itu tak lebih;
bukan cara berseni, bersastra
apalagi berbudaya

puisi itu cari uang; tak kurang
puisi itu cari pamrih; tak lebih

apalagi yang kau banggakan
wahai pemuisi-pengrajin kata?

mari membanggakan "kita"
saling; satu sama lain

saling berkata-kata !

            -mei 2010-