Seorang ibu[baiknya disebut One Ciman saja] terengah-engah pulang mengantar anaknya mendaftar melalui jalur penermaan siswa baru (PSB) online. Selaksa peluh banjir di ketiak, leher, punggung dan –sorry terlalu perhatian hingga- di celananya.
Dengan gembira ia menceritakan anaknya sudah terdaftar secara online di sekolah. Hebat, sekarang langsung ke komputer. Betapa canggihnya. Ia seolah-olah telah yakin bahwa dunia sudah berubah, beda dengan zaman ia sekolah dulu, tahun tujuh puluhan.
Bagimana harga pendaftran online itu tidak menjadi perhatian serius bagi dirinya. Ia cuma mengaku, ternyata biaya sekolah terus melambung. Tak lebih baik atau sama dengan melambungnya harga terung atau maco siam. Apakah ada pengaruh signifikan PSB online dengan biaya pendaftran yang mahal? Dengan yakin ia mengaitkannya dengan kenaikan harga BBM.
Secara persis ia tidak tahu, makhluk apa persisnya PSB online itu? Yang jelas ibu itu bagian dari orang-orang tak bersejarah di negeri ini yang tanpa banyak wacana dan cerita terseret-seret dengan arus budaya digital. Kata pertama yang diamininya adalah online dengan bacaan lidah onlen, beda tipis dengan molen.
***
Ibu itu adalah tetangga saya. Semenjak sebulan yang lalu ia sudah mulai mebolak-balik koran. Kejadiannya terjadi begitu saja. One Ciman tanpa dosa menduduki koran second yang selalu saya baca sore sepulang kerja. Dengan gemas saya ingatkan’ “One , jangan diduduki, itu koran untuk dibaca.” One beringsut, katanya “Oooh” dengan mulut bulat tanpa cela. Semenjak itu ia mulai memperlakukan koran dengan iba.
Sore itu hujan turun dengan lebatnya. Entah mengapa koran itu menceritakan tragedi banjir di beberapa kota. Dengan yakin ia berkata, “itu karena hutan digunduli.” Sedikit penegasan, saya katakan “digunduli untuk membuat kertas koran yang One baca.” Sekali lagi mulutnya munyong dengan nada ”Oooh”
Hingga matanya tertumbuk pada berita berjudul “Poltabes buka pengaduan Hotline.” Dengan sigap One bertanya, “Kemaren onlen, sekarang hotline, apa pula itu?” Aha, kasihan One. Apakah karena mutu pendidikan pada masanya yang kurang sehingga tidak mampu membaca perkembangan zaman, atau zaman ini yang edan hingga sukar diikuti. Tetapi saya jawab saja, “hotline itu One, pengaduan hubungan langsung lewat telepon 24 jam, bila One kehilangan ayam atau celana dalam.” Sekali lagi One berdering “Oooh.”
***
Tetapi One tidak patut terlalu jauh dipergunjingkan. Agar kelihatan samar ada baiknya tuduhan diperluas. Pertanyaannya, “kira-kira ada berapa banyak orang seperti One Ciman? Apakah segala sesuatu yang serba line-line butuh penjelasan kepada orang banyak? Sayangnya, terma line-line-an itu seperti hinggap di bahu orang-orang kelas menengah ke atas yang terdidik secara baik.
Beberapa tahun terakhir budaya len-lenan itu merajai perilaku komunikasi orang Indonesia raya. Mulai dari saluran telpon partyline, yang berisi obrolan cinta, saluran Hotline dengan tema boleh apa saja, internet online dan sebagainya. Sepertinya, tidak sah pergaulan antar sesama manusia bila tidak ada line yang tersambungkan.
Sejatinya line itu berasal dari Bahasa Inggris yang berarti garis. Jadi antar satu orang dengan orang yang lainnya harus dibuatkan garis agar jelas dan tepat sasaran. Sepertinya kalau itu berarti garis, orang dulu juga tidak terlalu kuno. Lihat saja istilah “garis nasib”, “garis ibu”, “nan bagaris (h) juo nan bapaek”. Perkembangan mutakhir teknologi cuma mempercanggihnya
***
Line lain yang akan diceritakan adalah online-offline. Dalam sebuah chatting tertulis kotak yang tertulis offline. Itu pertanda anda belum terhubung. Dan bila tertulis online, bersiap-siaplah mengetik, membuat pesan apa saja agar line (tersambung) dan tidak menerabas ke mana-mana. Itu juga menjadi pertanda bahwa anda masih waras, tidak mencla-mencle kata Pak Lek asal Wonogiri.
Dan republik ini memang bergerak ke arah yang canggih. Saya khawatir ada banyak republik yang terbentuk lewat media online ini. Lihatlah, kerumunan orang-orang di beberapa kafe di Jawa. Terakhir ada laporan sebuah koran, di Yogyakarta sudah diproklamirkan sebuah republik. Diproklamirkan sembari duduk (ngelesot) dan diberi nama republik HotNgelesot. Tanpa pemilu, tanpa presiden. Semua berlangsung secara damai. Semua orang bicara apa saja bebas seperti di negara Indonesia.
Konon republik itu terselenggara oleh kemajuan “perdagangan” dengan komoditi bernama Hot Spot. Harfiahnya titik panas. Orang yang tidak ahli bisa menterjemahkannya ke mana-mana. Untuk makna pasnya serahkan saja kepada ahlinya.
Tiba-tiba saya merindukan barang itu hadir di kota ini. Minimal untuk mengatasi mahalnya akses internet. Celakanya tidak semua tempat bahkan tidak seluruh kampus menyediakan fasilitas itu. Pada seorang dosen pernah saya tanyakan, “tak usahlah diadakan, saya khawatir digunakan untuk yang bukan-bukan.” Dalam hati saya berkata , “Jabatan bahkan negara saja sudah digunakan untuk yang bukan-bukan.”
Kecanduan terhadap internet sebagai bentuk pergaulan baru yang senantiasa online ibarat mabuk kacang goreng. Sekali mulit menganga, tangan tak akan berhenti menyuap. Semua itu akan berhenti bila kacang goreng habis. Selagi online semuanya akan berakhir saat deposit saku habis untuk membayar tagihan warnet, atau ada gangguan jaringan, atau listrik dipudurkan PLN. Bahkan tak jarang internet dan kacang goreng dilakukan secara bersamaan.
***
Dua hari kemudian One bertanya lagi. “Buku digital itu, apapula maksudnya? Apa tak cukup antene saja yang digital? Kemaren guru si Buyung menyuruh saya mengunduh buku secara online di internet. Tambah bingung ambo. Pakai HP saja sampai sekarang belum bisa?”
Saya hanya bilang, “unduh saja, siapa tahu bisa.” One bertanya lagi “bagaimana cara membacanya?”
Saya jawab, “Eja saja hurufnya! Tetapi lebih penting dari itu One harus ke warnet, bayar perjam atau per kilobyte, minta ke penjaga untuk mem-print lalu bawa pulang.”
“Kalau ingin keren, beli komputer beli WiFi atau pasang hotspot. Unduhlah di rumah.”
“Ondeh, alah mah Yuang, tambah paniang den.
“Paniang Online!”
