22 Juli 2008

Online: One Jadi Keren


Seorang ibu[baiknya disebut One Ciman saja] terengah-engah pulang mengantar anaknya mendaftar melalui jalur penermaan siswa baru (PSB) online. Selaksa peluh banjir di ketiak, leher, punggung dan –sorry terlalu perhatian hingga- di celananya.

Dengan gembira ia menceritakan anaknya sudah terdaftar secara online di sekolah. Hebat, sekarang langsung ke komputer. Betapa canggihnya. Ia seolah-olah telah yakin bahwa dunia sudah berubah, beda dengan zaman ia sekolah dulu, tahun tujuh puluhan.

Bagimana harga pendaftran online itu tidak menjadi perhatian serius bagi dirinya. Ia cuma mengaku, ternyata biaya sekolah terus melambung. Tak lebih baik atau sama dengan melambungnya harga terung atau maco siam. Apakah ada pengaruh signifikan PSB online dengan biaya pendaftran yang mahal? Dengan yakin ia mengaitkannya dengan kenaikan harga BBM.

Secara persis ia tidak tahu, makhluk apa persisnya PSB online itu? Yang jelas ibu itu bagian dari orang-orang tak bersejarah di negeri ini yang tanpa banyak wacana dan cerita terseret-seret dengan arus budaya digital. Kata pertama yang diamininya adalah online dengan bacaan lidah onlen, beda tipis dengan molen.

***

Ibu itu adalah tetangga saya. Semenjak sebulan yang lalu ia sudah mulai mebolak-balik koran. Kejadiannya terjadi begitu saja. One Ciman tanpa dosa menduduki koran second yang selalu saya baca sore sepulang kerja. Dengan gemas saya ingatkan’ “One , jangan diduduki, itu koran untuk dibaca.” One beringsut, katanya “Oooh” dengan mulut bulat tanpa cela. Semenjak itu ia mulai memperlakukan koran dengan iba.

Sore itu hujan turun dengan lebatnya. Entah mengapa koran itu menceritakan tragedi banjir di beberapa kota. Dengan yakin ia berkata, “itu karena hutan digunduli.” Sedikit penegasan, saya katakan “digunduli untuk membuat kertas koran yang One baca.” Sekali lagi mulutnya munyong dengan nada ”Oooh”

Hingga matanya tertumbuk pada berita berjudul “Poltabes buka pengaduan Hotline.” Dengan sigap One bertanya, “Kemaren onlen, sekarang hotline, apa pula itu?” Aha, kasihan One. Apakah karena mutu pendidikan pada masanya yang kurang sehingga tidak mampu membaca perkembangan zaman, atau zaman ini yang edan hingga sukar diikuti. Tetapi saya jawab saja, “hotline itu One, pengaduan hubungan langsung lewat telepon 24 jam, bila One kehilangan ayam atau celana dalam.” Sekali lagi One berdering “Oooh.”

***

Tetapi One tidak patut terlalu jauh dipergunjingkan. Agar kelihatan samar ada baiknya tuduhan diperluas. Pertanyaannya, “kira-kira ada berapa banyak orang seperti One Ciman? Apakah segala sesuatu yang serba line-line butuh penjelasan kepada orang banyak? Sayangnya, terma line-line-an itu seperti hinggap di bahu orang-orang kelas menengah ke atas yang terdidik secara baik.

Beberapa tahun terakhir budaya len-lenan itu merajai perilaku komunikasi orang Indonesia raya. Mulai dari saluran telpon partyline, yang berisi obrolan cinta, saluran Hotline dengan tema boleh apa saja, internet online dan sebagainya. Sepertinya, tidak sah pergaulan antar sesama manusia bila tidak ada line yang tersambungkan.

Sejatinya line itu berasal dari Bahasa Inggris yang berarti garis. Jadi antar satu orang dengan orang yang lainnya harus dibuatkan garis agar jelas dan tepat sasaran. Sepertinya kalau itu berarti garis, orang dulu juga tidak terlalu kuno. Lihat saja istilah “garis nasib”, “garis ibu”, “nan bagaris (h) juo nan bapaek”. Perkembangan mutakhir teknologi cuma mempercanggihnya

***

Line lain yang akan diceritakan adalah online-offline. Dalam sebuah chatting tertulis kotak yang tertulis offline. Itu pertanda anda belum terhubung. Dan bila tertulis online, bersiap-siaplah mengetik, membuat pesan apa saja agar line (tersambung) dan tidak menerabas ke mana-mana. Itu juga menjadi pertanda bahwa anda masih waras, tidak mencla-mencle kata Pak Lek asal Wonogiri.

Dan republik ini memang bergerak ke arah yang canggih. Saya khawatir ada banyak republik yang terbentuk lewat media online ini. Lihatlah, kerumunan orang-orang di beberapa kafe di Jawa. Terakhir ada laporan sebuah koran, di Yogyakarta sudah diproklamirkan sebuah republik. Diproklamirkan sembari duduk (ngelesot) dan diberi nama republik HotNgelesot. Tanpa pemilu, tanpa presiden. Semua berlangsung secara damai. Semua orang bicara apa saja bebas seperti di negara Indonesia.

Konon republik itu terselenggara oleh kemajuan “perdagangan” dengan komoditi bernama Hot Spot. Harfiahnya titik panas. Orang yang tidak ahli bisa menterjemahkannya ke mana-mana. Untuk makna pasnya serahkan saja kepada ahlinya.

Tiba-tiba saya merindukan barang itu hadir di kota ini. Minimal untuk mengatasi mahalnya akses internet. Celakanya tidak semua tempat bahkan tidak seluruh kampus menyediakan fasilitas itu. Pada seorang dosen pernah saya tanyakan, “tak usahlah diadakan, saya khawatir digunakan untuk yang bukan-bukan.” Dalam hati saya berkata , “Jabatan bahkan negara saja sudah digunakan untuk yang bukan-bukan.”

Kecanduan terhadap internet sebagai bentuk pergaulan baru yang senantiasa online ibarat mabuk kacang goreng. Sekali mulit menganga, tangan tak akan berhenti menyuap. Semua itu akan berhenti bila kacang goreng habis. Selagi online semuanya akan berakhir saat deposit saku habis untuk membayar tagihan warnet, atau ada gangguan jaringan, atau listrik dipudurkan PLN. Bahkan tak jarang internet dan kacang goreng dilakukan secara bersamaan.

***

Dua hari kemudian One bertanya lagi. “Buku digital itu, apapula maksudnya? Apa tak cukup antene saja yang digital? Kemaren guru si Buyung menyuruh saya mengunduh buku secara online di internet. Tambah bingung ambo. Pakai HP saja sampai sekarang belum bisa?”

Saya hanya bilang, “unduh saja, siapa tahu bisa.” One bertanya lagi “bagaimana cara membacanya?”
Saya jawab, “Eja saja hurufnya! Tetapi lebih penting dari itu One harus ke warnet, bayar perjam atau per kilobyte, minta ke penjaga untuk mem-print lalu bawa pulang.”

“Kalau ingin keren, beli komputer beli WiFi atau pasang hotspot. Unduhlah di rumah.”

“Ondeh, alah mah Yuang, tambah paniang den.

“Paniang Online!”

17 Juli 2008

Legislator Jelani

Cerpen: Muhammad Nasir


Kota Kaleyen adalah kota cebol, sekaligus ibukota kabupaten yang namanya kebetulan sama; Kaleyen juga. Kabupaten Kaleyen. Ibukota Kaleyen. Begitulah. Di peta propinsi, luasnya tidak lebih se ibu jari. Tak heran, sekali tekan dijamin kabupaten Kaleyen hilang dari peta.

Sepertinya gambaran peta itu mewakili karakter warganya yang senewen, tidak patut diperhitungkan. Tidak termasuk aku, yang baik, cerdas dan tidak ambisius. Lihat saja bagaimana warga Kaleyen memilih pemimpin, misalnya anggota dewan. Jelani seorang legislator negeri itu dalam dua periode terpilih dengan cara yang samasekali tak terlintas di angan-angan.

Lima tahun lalu, lampu mati. Nyala puntung rokok sementara menjadi penyelamat beratnya beban PLN atas nama krisis listrik. Lima orang pria utama di desa ini sedang berkumpul di lapau kopi.

Mesti tak kelihatan, aku yakin semua mata mengarah kepada Jelani Syekali. Satu keahlian baru yang diperoleh Jelani setelah menjadi anggota DPRD adalah mengucapkan kalimat “SEBAGAI LEGISLATOR, AKU....”. Oleh karena kakobeh (kelatahan) itu akhirnya ia kami juluki Legislator Jelani.

Jelani adalah tokoh nyata dan benar-benar ada, senyata gelap saat ini. Pemilu esok ia berniat mencalonkan diri lagi di DPRD Kabupaten.

“Lampu mati, PLN mengehemat energi,” kata Jelani.

‘Heh...”, dengus entah siapa.

“Ya, betul! 2004 di ambang pintu, jadi semua energi harus dikumpul. Para legislator mesti manggung dan di mana-mana butuh listrik,” kataku.

Semua tertawa. Anda boleh bayangkan bagaimana suasananya. Aku memang sedang menyindir Jelani. Sudah empat tahun ia menjadi legislator, tapi tak sedikitpun posisi itu dapat mengangkat wibawanya. Setidaknya dari desa ini, tempat di mana tali pusarnya di tanam sekitar empat puluh tahun yang lalu.

“Sudahlah, jangan terus menyindir. Setidaknya kalian boleh berbangga, satu-satunya putra desa ini ada yang menjadi orang di ibukota kabupaten!” Jelani membela diri.

“Satu-satunya...”

“Menjadi orang bego di tengah para koruptor!”

“Ha...ha...ha...” tawa pecah seperti kaca. Ramai berderai-derai.

Begitulah, seperti biasa Jelani boleh kesal. Namun kami teman sepermainan Jelani melewatkan begitu saja kekesalannya. Wajahnya yang sebenarnya ganteng itu terlalu sayang dibiarkan tanpa celaan. Tak boleh ada yang sempurna.

“Kalian boleh mencela, aku tidak seperti mereka, korupsi memperkaya diri!” Jelani bersungut-sungut.

“Apa bedanya? Kau juga korupsi. Setidaknya mencuri waktu setiap hari Rabu, saat pasar ramai berjual beli!”

“Ha...ha...ha...”

“Tetapi tidak dagang suara ‘kan?”

“Sama saja, kau jual suaramu pada koruptor. Bukankah setiap rapat yang hari Rabu kau selalu bilang setuju apapun keputusan sidang? Dan tahukah kau sidang itu memutuskan ramai-ramai korupsi. Berarti kau setuju juga ‘kan?”

“Ha...ha...ha...”

“Hhhh“ Jelani menghela nafas

Nasib baik memang berpihak kepadanya. Dengan wajah tampannya ia dengan mudah dikenal oleh warga sekecamatan. Ditunjang oleh profesinya yang memang ‘wah’, pedagang kain keliling yang mengandalkan mobil pick-up bak terbuka. Dengan itulah ia berjaja, dari pekan ke pekan, dari keramaian ke keramaian. Final di pasar kecamatan, di sebuah toko pakaian miliknya sendiri.

Ibu-ibu rumah tangga senang kepadanya. Selain wajah yang cemerlang, dia bersedia memberi hutang pada ibu-ibu yang memang tak punya uang. Dengan suka rela pula ia bertandang dari satu rumah ke rumah yang lain menagih hutang. Singkat kata, Jelani terkenal di seluruh kecamatan.

Lagi-lagi nasib baik selalu mendekat kepadanya. Enam tahun yang lalu, ia diberi amanah atau lebih tepatnya dibujuk menjadi sekretaris partai politik. Sebutlah partai kain sarung. Jargon utama partai itu memang menggairahkan usaha kecil menengah.

Begitu bujukan diterima, Jelani langsung menyulap sepetak dari tokonya menjadi sekretariat partai. Plang merek partai serta sejumlah umbul-umbul begitu saja berkibar-kibar menutup merek toko Jelani yang bertajuk “X Fashion: menjual aneka pakaian, dari luar hingga ke dalam.”

Saat pemilu legislatif, Jelani berhasil memenangkan satu kursi. Aku mengira itu tidak lebih karena popularitas. Betapa tidak, ada beberapa calon lain yang diusung partai kain sarung. Semuanya tidak dikenal dengan baik. Ada yang sarjana lulusan kota Kaleyen. Orang-orang menolak memilihnya. Ah, sarjana pengangguran, tahu apa dia? Periuk emaknya saja belum tentu berasap.

Ada juga mantan pegawai kantor bupati. Sedikit terkenal, tetapi orang menganggapnya bercanda. Di kantornya, tak sekalipun ia memegang jabatan. Berarti ia bukan siapa-siapa. Ah, dia memang bercanda.

Ada juga bekas tentara. Tetapi selalu saja ada kekurangannya. Menurut warga se kecamatan ini, beberapa waktu ia ngantor koramil, tidak ada yang patut dicatat sebagai hasil. Berkali-kali ia ketahuan membeking judi togel.

Nah, selain yang tidak dikenal, tinggalah Jelani. Sebagai rakyat biasa yang beprofesi sebagai pedagang, ia sepertinya pantas dipilih. Tak ada cacat yang berkesan di ingatan. Orangnya tampan, baik dan tidak sombong. Siapapun yang sempat lewat di depan tokonya, selalu diajak mampir. Kalau tidak mandi cuci muka. Kalau tidak beli, lihat saja. Atau, kalau tidak perawan boleh janda kembang. Kalau tidak kontan, boleh hutang. Ramah, ‘kan?

Setiap kampanye, tak sekalipun Jelani berpidato. Dengan baju terbaiknya ia hanya tampil sebagai pembawa acara dengan orasi seadanya. Pada waktu itu ia berbicara:

“Saudara-saudara, sebagai calon anggota dewan dari partai kain sarung, saya ingin memperkenalkan beberapa teman. Mereka akan berbicara panjang lebar, tentang apa yang akan kami kerjakan bila mana terpilih sebagai anggota dewan. Silakan tuan!”

Itu saja, dan selalu itu saja.

Akhirnya Jelani terpilih sebagai calon nomor satu. Menjadi anggota legislatif dengan berjubel hak yang melekat pada statusnya sesuai dengan undang-undang.

Adakah Jelani jadi orang terpandang? Tidak. Terakhir aku tertawa terkikik-kikik. Pak Bupati datang ke desa kami sembari menitipkan sedikit buah tangan untuk membangun jembatan.

Seperti layaknya pejabat pak bupati memberi penghormatan kepada petinggi desa. Salah satunya kepada Jelani, petinggi setempat sekaligus anggota dewan yang terhormat. Dalam sapaannya kepada Jelani, pak bupati menanyakan, “Yth bapak Jelani, bagaimana usaha tokonya, apakah lancar-lancar saja”. Tak kalah fasihnya, Jelani sigap menjawab, “Alhamdulillah usaha semakin berkembang pak!”

Sebagai anggota dewan mestinya ia malu ditanya begitu. Pak Bupati memang arif, sangat bia membuat pertanyaan yang sesuai dengan kemampuan otak dan pengalaman orang. Buktinya tidak sedikitpun Jelani gagap menjawabnya.

Lampu belum juga menyala. Cahaya lilin berpilin-piln ditiup angin. Mulai saat ini ada baiknya PLN dijuluki perusahaan lilin negara. Semakin terang dunia semakin habis bahan bakarnya. Tinggal sumbu yang menciut hingga ke pangkal.

Jelani, mulai enggan diperolokkan. Ia berniat hendak pulang. Sebelum pulang ia meninggalkan keinginan:

“Sekarang, coba kalian pikirkan, bagaimana agar aku terpilih lagi!”

Kami semua bertukar pandang, sebelum sepakat dengan satu suara; suara tawa!

“Ha...ha...ha...!!!”

***

Celaka atau bahagia, ya? Pemilu 2004, Jelani menang lagi. Sepertinya warga kecamatan ini mulai pendek ingatannya. Ingatan warga mungkin terbatas pada, toko pakaian, kebaikan dan baju kreditan khas Jelani.

Anda mungkin masih ingat ceritaku tentang kunjungan bupati ke desaku. Pada waktu itu bupati menanyakan perkembangan usaha Jelani. Memang begitulah adanya Jelani . Meskipun mejadi anggota ‘dewan’ - begitu kami menyebut para legislator -, tak sekalipun ia absen berdagang pakaian. Kasarnya, Jelani hanya datang di saat sidang, kecuali sidang-sidang di hari Rabu.

Tak heran usahanya semakin lama semakin berkembang, dengan usaha yang keras membanting tulang. Terakhir ia menerima penghargaan sebagai sosok usahawan yang sukses di bidang usaha kecil dan menengah. Di saat para anggota dewan yang lain sibuk berpidato tengan kredit pertanian, ia sudah melakukan kredit pakaian dengan angsuran ringan.

Pada hari di mana aku bersua dengan legislator langka itu, aku bertanya:

“Selamat Jelani. Aku cuma mau bertanya, apa yang engkau lakukan? Begitu jinaknya warga Kaleyen, ataukah buta, mudah saja engkau terpilih sebagai anggota dewan,” tanyaku seadanya.

“Ah, biasa saja,” katanya. Tangannya masih sibuk membetulkan kancing safari baru yang sengaja dipesan untuk pelantikan. Tak lama ia melanjutkan:

“Barangklai karena ‘X Fashion’ inilah. Semakin berkembang usaha pakaianku semakin banyak simpatisan.”

“Meski mangkir dari sidang?” sindirku.

“Entahlah. Setidaknya suara korupsi lebih nyaring,” jawabnya datar.

“O, ya?”

“Atau karena aku tidak populer di ruang sidang, tidak sekalipun aku masuk koran”

“Hekk!!!”

“Aku selalu memberi bukti tidak hanya janji! Ini...,” katanya seraya menyodorkan Mp3.

Ya ampun, keren juga orang tenggen ini. MP3 keluaran terbaru. Bisa menyanyi, merekam dan entah apa lagi.

“Ayo, Putar!” pintanya.

Tak jua aku putar MP3 itu. Bukan apa-apa, aku tak mengerti caranya. Jelani berbaik hati membantu. Dari pengeras suara benda ajaib itu terdengar:

“Saudara-saudara, sebagai calon anggota dewan dari partai kain sarung, saya ingin memperkenalkan beberapa teman. Mereka akan berbicara panjang lebar, tentang apa yang akan kami kerjakan bila mana terpilih sebagai anggota dewan. Silakan tuan!”

Itu suara Jelani waktu kampanye dulu. Jelani tak pernah berjanji apa-apa. Kecuali hanya memberi sangkutan tentang ‘apa yang akan ia kerjakan bila mana terpilih sebagai anggota dewan.’ Aku menemukan jawabannya; J-U-A-L-A-N!

Aku dan semua warga kabupaten memang senewen. Lain halnya Jelani, usahanya semakin lancar tanpa hambatan, ibarat menghasta kain sarung, tanpa ujung. Pas dengan nama partainya, partai kain sarung.

Pemilu 2009 aku dengar Jelani ingin mencalonkan diri di tingkat propinsi. Sekiranya itu benar, setidaknya aku wajib menyarankan agar ia belajar berpidato. Dengan begitu, mudah-mudahan ia tersandung.

***
Padang 1999-2008,
Ingatan yang melelahkan

Lasykar Setan

Cerpen: Muhammad Nasir

Malam yang kelam semakin norak. Sehabis hujan sore, semua yang berbunyi aktualisasi diri. Utamanya tentang suara-suara yang hanya dimengerti oleh mereka sendiri. Tetapi ada juga yang yang melantunkan nada yang aku yakin ia sendiri tidak begitu paham artinya. Seperti orang mimpi. Di samping itu ada juga bunyi-bunyi yang tak paham situasi. Asal bunyi.

Bunyi-bunyian itu semakin congkak. Terutama katak, ngakak terbahak-bahak. Pantas saja Musailamah pria mendaku nabi di zaman kejayaan Arab Islam itu terobsesi membuat apa yang ia sebut ayat. Hai katak anak katak. Bersihkan apa yang mesti engkau bersihkan. Di atasmu; di atas air dan di bawahmu; di dalam tanah! Nah...katak, berdendanglah.

Sedikit yang tidak terusik, para penghuni rumah petak. Mereka juga sibuk dengan bebunyiannya sendiri. Ada empat petak ukuran empat kali enam. Masing-masing petak berhak atas satu kamar tidur dan sedikit tempat yang kadang dianggap ruang serbaguna. Satu petak tentu saja kerajaanku.

Rumah petakku jangan disebut. Sementara aku anggap sebagai petak terbaik, nomor satu. Diisi oleh seorang intelektual jebolan magister filsafat, mantan aktivis mahasiswa, penikmat sastra, penulis beken dan pembicara di berbagai seminar simposium. Ya, itu aku Aqilani, artinya dua orang berakal. Siapa itu? Pertama aku, yang kedua aku sendiri. Aqilani ini sang pencandu bola. Mirip sedikit dengan pemain bola Aquillani. Dari nama bolehlah.

Bergeser ke kamar kiri, nomor dua, Khalid Baidlowi mahasiswa pascasarjana semester tiga. Pria muda, katakanlah penggemarku, karena di mana-mana aku dengar jika berbicara ia selalu berusaha mengkaitkan pendapatnya dengan aku. Misalnya, ‘menurut bang Aqilani... bla...bla...”. Entah bagaimana pria dari Jakarta yang mengaku orang Betawi asli plus sedikit darah Arab dari garis kakek ini bisa indekos dekat rumahku.

Lalu petak ke tiga, Jekli Ferdana, mahasiswa semester akhir jurusan ekonomi pembangunan. Entah mengapa ibunya memberi nama seperti itu. Mungkin saja ibunya atau bapak atau siapa saja yang dekat dengan keluarganya punya feeling dengan dunia modern. Jika memang modern nama bujang itu mestinya Jackly F(P)erdana. Tapi persetan soal nama kata Shakespeare, Jekli atau Jek itu orangnya sedikit alim. Ukuran alim, nanti sajalah.

Lalu yang terakhir Sahat. Sahat saja, lima karakter ketikan, tanpa last name. Orangnya cerdas dan lucu. Kelucuan pertama terletak pada namanya. “Apa kabar Sahat? Sahat-sahat saja,” katanya. Dan aku memang paling suka dengan bujang pulau Mentawai ini. Ceria dan memecahkan masalah, terutama masalah konsumsi. Hampir setiap pulang kampung ia memanggul hasil ladang dari pelabuhan menuju tempat kos, tanpa malu-malu. Oh, Sahat temanku pencandu bola. Senja ini ia sudah tertidur di kamarku. Katanya, numpang nonton final Piala Eropa. Sip!

Empat lakon sudah disebut satu persatu. Mudah-mudahan aku tidak subjektif, membeberkan Curriculum Vitae aku dan sebut saja three musketeers tetanggaku berdasarkan suasana hati, like and dislike. Yang jelas tuhan telah membantu memilah umatnya berdasarkan petak rumah. Dan sepertinya tuhan mengerti bahwa setiap petak rumah ini mewakili kelas dan kaliber penghuninya.

Bunyi-bunyian itu makin marak. Di tengah pluralnya penghuni kamar, alam sepertinya tak sedikitpun menciptakan harmoni. 

Suara televisi menggelegar mengalahkan desiran air bandar yang mengalir lancar. Menyuarakan suasana Jakarta yang banjir besar. 

“Banjir lagi! Apa Jakarta tak lagi berpori-pori?” Itu suara Khalid si Betawi. Tampaknya ia mulai teringat kampung halaman. Padang tempat ia mengeram tidak begitu saja menghapus kenangan akan kotanya rawan karam. Mungkin ingatannya masih tersambung ke kampung halaman karena satu alasan; kiriman. Uang saku selalu menjadi sel-sel aktif yang menghubungkannya dengan Jakarta.

Suara televisi ditingkahi suara Khalid yang mulai menelpon ke Jakarta.

 “Gimana rumah kite ‘Nyak? Babe siape yang ngangkut? Lalu gimana...gimana...Ntar kalo gini gimana?” 

Gila, semua itu dituturkan dengan suara keras. Suara Khalid yang keras menghempas ke urat gigi. Ngilu hingga ke gusi.

Kamar satu memang sakit gigi. Tiga malam terakhir berturut-turut asap mondar mandir dari mulut ini. Berikut kopi panas, segala minuman manis masuk tanpa kontrol. Alhasil, badan runtuh ripuk panas dingin. Semua itu bermuara pada acara symposium nasional kerukunan kebangsaan.

Bangsa ini perlu diselamatkan. Setiap orang harus mengingat lagi dalam-dalam mengapa bangsa ini ada. Untuk apa bangsa ini dimerdekakan dan bagaimana bangsa ini harus diurus. Begitu di antara tema-tema yang hangat dibicarakan. Hasilnya mengecewakan, satu kesimpulan memang berhasil dituntaskan. Hanya saja bagiku itu cuma satu slogan. Masak jauh-jauh berdatangan, hasilnya cuma frasa “Selamatkan Indonesia”. Anak kecil juga tahu. Itulah yang juga membuat aku semakin sakit gigi.

“Hey, suaramu! Aku sedang mengaji!” Itu dari kamar tiga.

“Persetan, rumahku kebanjiran!”

“Justru aku mengusir setan!”

 Kamar tiga melanjutkan bacaan. Sesekali berhenti mengaji dan mengumpat ke kamar dua dengan mengutip hadis ”apabila dibacakan Qur’an dengarkan.” Lantunan ayat al-Qur’an berbenturan dengan percakapan keprihatinan. Suasana crowded. Tak hanya katak, jengkrik, nyamuk dan burung hantu juga ikut melantunkan nada sophran.

Kamar satu masih diam. Aku mencoba menggenggam apa saja. Menahan perasaian dan perasaan. Sebagai yang dituakan aku berusaha menahan diri, minimal tidak ikut menambah keruwetan. Suasana di sini memang lagi runyam. Setidaknya itu aku rasakan di kamarku.

Brakk!!!

Apa lagi ini. Kepalaku rengkah. Urat gigi menjalar menuju otak. Menarik apa saja urat-urat kecil di bongkahan kepala. Aku tidak bisa lagi berpikir. Sekejap saja sakitnya berpindah ke hati. Inilah yang namanya santet. Dua kamar di sebelah telah melakukan ritual setan. Dari jauh mereka telah menyakitiku.

“Apa lu bilang? Lu bilang keluarga gua setan?” 

Dahsyat, ada logat Betawi. Biasanya situasi sedang runyam. Ternyata Khalid telah selesai menelpon. Satu gebrakan di pintu telah menghantarkan tangan kirinya ke krah baju Jek yang termangu. Khalid siap meninju.

“Bukan, maksudku kau menelpon terlalu keras. Suaramu mengganggu konsentrasiku.” Jek membela diri.

“Tapi ‘lu bilang mengusir setan? Gua tersinggung, Tauuk!

“Kau yang bilang duluan”

Aku menggeram. Di manapun kau berada, kuberitahukan bahwa itu pertengkaran. Dan pertengkaran itu di mana-mana memakan korban. Terutama saat ini aku! Tak laku lagu “dari pada sakit hati, lebih baik sakit gigi”. Pertempuran di sebelah terus berkecamuk.

“Lutak gak punya perasaan ye, kampung gua kebanjiran, tauuk!”

“Iya, tapi aku sudah toleran. TV mu kau setel keras-keras, aku diam. Lalu kau telpon-telponan!”

“Meneketehe’, gua punya alasan. Gua nonton berita, ‘lu juga ngaji keras-keras!”

“Biasa juga begitu. Apa masalahnya?”

“Justru ini tidak biasa. Jakarta kebanjiran. Itu masalah rumah dan keluarga gua, tauuk!”

“Jakarta kebanjiran? Ha...ha...ha...biasa ‘kan?”

“Setan!”

“Apa?”

“Persetan!, jangan coba-coba bangkitkan setanku”

“Itu masalahnya! Kau bawa-bawa nama setan. Aku mengaji kau bilang persetan.”

“Lha, itu juga masalahnya, ‘Lu bilang mengusir setan. Setan sok alim, ‘lu!”

“Kau yang setan!”

“Setan!”

“Setan!”

Setan berbalas balasan. Sepertinya tak ada yang mau didaku setan. Dan sepertinya aku, jagoan kamar satu yang harus memvonis mereka. Kepalaku berdenyutan. Nampaknya setan juga sudah mulai bergelayutan. Tanpa dapat ditahan, spontan aku mengumpat;

“SYAYTHAAOOOOOOON...!!!”

Nah, itu ungkapan yang paling faseh, langsung dengan lahjah Arab. Syin-Ya-Tha’-Alif-Nun. Syaythan! Aku yakin setan yang sebenarnya pasti terpana. Jarang-jarang orang Indonesia dengan fasih mengucap namanya. Barangkali ada juga, trah ustadz, qori’ dan qori’ah atau Arab keturunan. Kecuali Khalid.

Flippp!

Mendadak lampu mati. Tak ada lagi umpatan setan menyetankan. Bahkan suara manusiapun tidak. Sesaat malam kembali menjadi milik katak. Wredeg...wredek dan ragam bunyi lainnya mengalir begitu saja dari leher-leher gempor sang katak. Jengkerik mengerik seolah menarik beban yang berat.

Lega. Sesaat aku lega. Seiring satu tarikan napas, aku berpikir untuk melerai pertarungan setan menyetankan itu. Kuraba setiap jengkal dinding dengan tangan yang tak jua hapal letak hendel pintu. Denyut kembali hadir di sela-sela gigi. Tak kuhiraukan lagi, yang jelas suara-suara setan itu sudah berhenti. Dan...

“SSSYEETAAN!!!”

Dan...aku terperanjat. Sahat. Aku hampir saja melupakan budak yang pulas di ranjangku. Tetapi kehadirannya bersama “setan” kembali menonjok urat gigi. Sepertinya tak ada lagi dunia. Mendadak bintang kecil menghiasi malam, sampai semuanya kelam.

Sungguh! Lima menit aku tak tahu apa-apa. Begitu sadar aku dengar Three musketeers itu terlibat debat ringan. Sepertinya suasana mulai reda. Langit mulai terbuka. Satu persatu bintang menampakkan wujudnya. Aku mendatangi mereka.

“Hey, kalian! Ada apa?” tanyaku.

“Khalid...”

“Bukan! Jekli, Bang...”

“Setan? Iya kan?” Dan kau, Sahat?”

“Aku mimpi”

“Maksudku, apa kalian tidak bisa menjaga ketertiban. Apa kalian tak mengerti, aku lagi sakit gigi, heh!”

“Tapi semua terjadi begitu saja, bang” Jek membela diri.

“Lha, dia yang tidak bisa memahami situasi. Mengaji sambil mengumpat,” Khalid tak mau kalah.

“Bukan, kalian berdua keterlaluan. Aku sudah menahan diri. Terutama menahan sakit gigi. Tapi kalian berdua malah kesetanan.” Benar! Aku lupa sakit gigi. Aku leluasa memaki.

“Jek yang pertama membangkitkan setanku!”

“Stop”

“Lha, setan dibangkit-bangkitkan. Apa kau memelihara setan, Khalid?. He, he,” Sahat cengengesan.

“Hey, kau sendiri Sahat, setan apa pula yang kau panggil?”

“Aku mimpi bang. Mentawai karam. Gelombang menggulung seluruh Laggai , semua pribumi mati dengan wajah yang mengerikan. Orang-orang ramai menyebut setan. Sampai satu sosok menyeramkan bangkit dalam kegelapan. Aku ketakutan dan berteriak, “SSSYEETAAN!!!”

Sialan. Mata Sahat mengarah padaku.

“Hey, itu aku. Kau bilang aku setan?” Aku nyaris tertawa. Mestinya aku marah, dasar Sahat...

“Abang sendiri, setan jenis apa pula yang abang panggil?” tanya Khalid

“Sejenis kalian, atau mungkin kalian!”

Ternyata setan bisa muncul begitu saja. Pada orang yang sakit gigi, korban kebanjiran, orang mengaji dan orang mimpi. Dan setan itu keluar dari mulut orang. Terutama dari mulut orang Indonesia yang lahir dari mitos dan hantu-hantu.

Tidak ada lagi bunyi-bunyian. Katak sudah terdiam, langit makin terbuka. Perlahan-lahan bulan muncul di ketiak cemara. Aku yang pada dasarnya takut pada yang ghaib-ghaib, khawatir jangan-jangan ada penampakan setan betulan. Lampu masih padam.

NGIAUWWW!!!

“Jangan-jangan itu setan!” 

“Lewat mulut kucing!”
Parak Jigarang, 29 Juni 2008
 


14 Juli 2008

Pemenang CWI 2006


Loktong, memuat cerpen2 pemenang sayembara menulis cerpen nasional 2006 yang diadakan Creative Writing Institute (CWI) dan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga. Penulis yang karyanya terdapat dalam buku ini antara lain M Badri (Juara 1), Azizah Hefni (Juara 2), MH Abid (Juara 3), Wayan Sunarta, Muhammad Nasir, Ragdi F. Daye, Rista Rifia Libiana, Irene Sarwindaningrum, Dalih Sembiring, Dian Hartati, Rohyati Sofjan, I Gusti Made Dwi Guna, Ina Nur Ratriyana, Ajun Kesuma, Hari Ambari, Endah Sulistyowati, Denny Prabowo, Iggoy el-Fitra, Indrian Koto, Alimuddin, Nana Supriatna, Joko Nugroho, Fahruddin Nasrullah, Griven H Putera, Gunawan Budi Susilo, Marhalim Zaini, Wicaksono Surya Hidayat, St. Fatimah, M Raudah Jambak, Widzar al-Ghifary, Sucipto bin Rapii dan Satmoko Budi Santoso.
dari: http://negeribadri.blogspot.com/