26 Juni 2008

syair pohon tanjung I

Oleh: Muhammad Nasir

dipagut kelam
hitam itu seonggok ban bekas;hanya
tak lebih lima saja, sebanyak jari setiap sisi
hitam itu; akan hilang bersama malam
tapi masih terus di sana selama tak ada pengambilnya
hanya; ia dipagut kelam saja
karena memang hitam legam corak langgamnya

hitam itu seonggok ban bekas;hanya
di kaki pohon tanjung
bersyair sendir; nyanyi liberal pada definisi yang binal
oral;oral;oral
mencari kepastian, menjenguk kedalamnnya
kertas koran, puntung rokok dan
tentu saja dedaunan dan bunga tanjung
mengisi hitam
tenggelam di kedalaman kelam
ada pikir dan akar yang jungkir balik
hasrat hanya menyentuh dedaunan yang rontok
harum tinggal di telunjuk
puntung sengit angit menyebalkan
kulit kuaci yang bau kencing
kondim bekas? menyentuhpun aku malas
dan ini terhampar di koran bekas
mencuci dari anu ke anu
melepas hitam
seperti jerawat masa transisi
liberalisme tak pernah mati
katanya; "akal akan mati lelah!"
kemudian mencari celah menuju allah
ampas hitam
pohon tanjung memeluk ban bekas
menunggu ampas tanpa sudi berpikir
mati akal; terserah semua, masuk sajalah
dasar sampah, tak perlu serapah
pasrah hitam
bersyairlah si pohon tanjung
mau kering, keringlah tak berdarah
mau patah, patahlah, roboh, robohlah
namun bila rebah, pasrahlah
mati hitam
kodokpun akan hinggap pabila rebah
anjingpun akan kencing di sini
sebagaimana anak remaja yang pacaran malam tadi
kondom latex berserakan di kaki
tidak hitam
dan tetapi tidak!
dulu kering sekarang hujan
dulu patah, sekarang tumbuh;mekarlah
dulu berharap rubuh tubuh, sekarang tegak;gagahilah
pohon tanjung tetap anggun berdiri
tetap hitam
kodokpun masih parkir di sini
remaja masih pacaran di sini
nyabupun boleh di sini
hanya saja tak seorangpun peduli
seperti tak patut dicurigai
hitam masih tetap di sini
memagut kelam kekasihnya
(20/11/06)

syair pohon tanjung II

Oleh: Muhammad Nasir

anak-anak di tepi jalan bernyanyi:
harum baunya si bunga tanjung
harumnya sampai ke hidung
itulah dia si bunga tanjung
tempat duduk anak yang murung

jika tak siang berhabis hari
matahari tegak tali
bila tak malam berhabis minyak
bulan hanya memandang congkak

tak hendak melantun syair
lihat saja gelanggang yang banyak
anak-anak menadah tangan
bunga tanjung tetap bertahan
seperti anak yang berdiri tegak
berharap lebih dari sekedar makan

itulah di si bunga tanjung
mata lepas badan terkurung
tadah tak lagi sekedar tempurung
mungkin lebih; mencari untung
makilah; tak tahu di untung!

Surga yang tersisa

Oleh: Muhammad Nasir

alangkah sombongnya
langit-langit yang tak bersuara
diam saja

anak-anak muda penuh gelora
melantunkan syair-syair hampa tanpa suara
tuhanpun dipaksa menari-nari di kepalanya

pengkhotbah lantunkan suara agama
ide-ide tua yang tak pernah menyerah
pada telinga yang nyaris bernanah

pelantun kata-kata
tak beranjak dari surau tua

pembaharuan! katanya
bisik keras itu melantun dinding
pembela tuhan berdiri saja di atas mihram

orang-orang suci
pertahankan kesuciannmu
bediri sajalah di atas menara
sebutlah semua apa yang ada
pada kau punya kepala
katakan, dunia yang berguna

tetapi tetap saja
tangis-tangis pilu, tak menyeruak meembus dinding
piring-piring yang berdenting
kosong! tak dianggap penting

pengobral pahala
bicaralah tentang surga di suatu masa
cukup untuk tuan-tuan saja

tentang anak-anak adam yang merana
akan ke surga dengan caranya
kavling untuk orang teraniaya
meski tak bersorban kain kafan

Mata kecil Pemelihara Api

Oleh: Muhammad Nasir


batu-batu yang beterbangan adalah jawaban
gravitasi butuh verifikasi
bumi tak hendak sendiri

debu-debu hanya ujung peranginan
bagi kaki jalang yang lalu lalang
menghadang lapar; patah arang

pada saat kabut hujan batu
dan tubuh yang bergelimpangan
adalah lukisan tiap-tiap persimpangan

anak-anak malang itu
memelihara api di matanya
menanak nasi di angan-angan

nasi masak di awang-awang
api di mata kecil itu masih menyala
membakar apa saja yang terlupa

terbakarlah! membakar apa?
langit abu-abu pada nasib yag tak menentu
mata-mata kecil itu mencari ibu pada elusan nafsu
(agustus2006)

eh! (buka mata,bung!)

Oleh: Muhammad Nasir


sekedar berita;
penyair di kandang kuda
bicara makna berkata-kata

eh!
entah siapa pula namanya
tidak siang berminyak peluh
tak malam bermandi bulan
hingga langit merah tua keesokan harinya
ayam betina bekotekpun disangganya
demi sebuah wibuwa;orang pintar mesti bicara
demi syair segala raja
tak peduli air liur pagi menetes
memaki-maki setinggi hati

katanya;hey penyair tak berbudi!
kau taruhlah tuhan antara kepala dan ujung kaki

eh!
mana ada tuhan di kepala sepi
otak yang tak mandi dan jarang ngaji?
untung aku bukan penyair
kecuali penulis puisi yang saban hari
butuh publikasi

eh!
apapula yang jadi soal?
bagaimana mungkin kau yang berkurung
seperti kadal bicara soal sosial
memaki-maki ala orang tak bermodal

eh!
manusia hewan yang berkata-kata
adat kata kadang tak butuh makna
di mulut si gila dan buta aksara
termasuk lidah di ujung pena

eh!
mana kupercaya
pada penyair di kandang kuda
tak kemana-mana, bicara pula baratayudha
dasar, murid kuda
(27/11/06)

Kemana hendak mencari mimpi?

Oleh: Muhammad Nasir


Bung !
Bagi kami rakyat badarai
Melihat siapa jahat siapa baik
Adalah sebaik penglihatan kami
Terhadap belahan dada dan paha
Di televisi
Begitupun tentang suka dan derita
Tapi, Bung!
Tolong jelaskan pada kami
Bahwa kau bohong tentang kami
Kami sulit mengenali
kejahatan dan kebaikan yang di politik-i
karena baik dan jahat hanya bisa
kami,lihat di sinetron,
ya… di televisi !
Bung !
cukup cerita tentang kebaikan
ceritalah tentang kejahatan orang lain
karena setahu kami
kejahatan adalah berita tentang perampokan
perkosaan dan pembunuhan
di acara buser, sergap dan bidik,
ya… di televisi
tentang keadilan dan kesejahteraan
hanyalah mimpi koran dan televisi
februari2004

Tujuan

Oleh: Muhammad Nasir

tujuan telah mengajakku
menyusuri seperempat usia zaman
lepas dari segala perjanjian azali
alastu birabbikum ?
berjalanlah aku tersebab ajakan tanpa suara
tarikan tanpa tangan, pijakan tanpa kaki
dorongan tanpa harapan
hembusan tanpa angin dan…
mengapa tanpa apa-apa
semua terkuak kerana takdir
tujuan memperkenalkan aku
pada tanahMu yang jadi sengketa manusia
batuMu yang ditambang penguasa
airMu yang dirampas negara
dan anginMu…yang
mungkin belum punya sesiapa
tujuan telah memperkenalkan ku
pada bunga yang merekah
padi yang membuncah
semua tersebab pada hidup
tujuan telah membawaku pada dunia redup
mengusai reruntuhan gabah kering
jerami yang membusuk
wajah tertunduk khusuk ripuk
tujuan telah menuntunku
menyaksikan perempuan tua
menjambak rambut memukul dada
menghentak kaki memilin perut
semua terasing dari sisir yang termangu
bedak bertabur di sisi kucing yang mendengkur
tidur bersama nasib
tujuan rayo haji 2000

Dosa Pahala

Oleh: Muhammad Nasir

Aku tak cukup pahala
Untuk pergi bunuh diri
Di medan penuh artileri

Beri aku sedikit waktu
untuk berpuisi
di depan pemimpin perang suci
agar sejenak perang terhenti

aku juga tak punya banyak dosa
untuk ditenggelamkan kedalam bui
yang penuh dosa korupsi

beri aku sedikit ilmu
untuk menerangkan kepada santri
bahwa pahala itu ada negeri ini

jihadlagi2000

Yang Maha terpilih

Oleh: Muhammad Nasir

Adalah Kau yang disebut tuhan
Oleh manusia dan raja-raja
Betulkah mesti ada tempat
Bagi yang patuh dan sering engkar
juga bagi yang tak mampu bersaing dengan
loyalitas mentari yang teguh dari timur ke barat

adalah Kau yang aku sebut tuhan
dengan apa harus aku persembahkan
ketaatan dan keengkaran manusia
jika shalat serta wudhu’ dengan air-Mu
yang manusia pakai
hanya mengotori maksud sembah sujud

adalah Kau yang disebut tuhan
oleh pencari keadilan
dan nabi-nabi
shalat mana yang lebih adil bagi manusia ?
beri jawabannya pada manusia
dan raja-raja

wahai Kau yang disebut tuhan
oleh makhluk yang maha pemilih
yang menemukan Kau dibalik kebuntuan
akal manusia dan raja-raja
beri satu jawaban diantara tak terhingga
selain surga dan neraka
katanya tabligh akbar.okt.99

Gatal

Oleh: Muhammad Nasir

Ada yang bilang
Tunggulah pada saatnya
di tahun ini semua akan berubah
karena ada kejadian yang membuat
perubahan
sedikit diantara semua juga bilang
perubahan apa ?
triliyunan habis untuk apa?
Mungkin untuk kudis-kudis baru
Yang mustahil sembuh
Jika semua ikut menggaruk
Hingga semua orang bilang
Garuk…garuk… dan garuk terus !
Gatal di mana-mana
Dikepala calon pejabat
Di selangkang pelacur
Di kas bank komersil
Atau di kepala mahasiswa
Yang sibuk demo hingga
Lupa nyampo
Tunggu juga pada satnya
Ada yang berteriak
Omong kosong!!!

31/01/04

Negeri seribu surga

Oleh: Muhammad Nasir

Tuhan beritahu kami
Paranoid itu penyakit apa?
Kenapa gatal hati bila mulut bicara
Kenapa gatal tangan, bila damai tertunda?
Tuhan disini ada seribu surga
Ditawarkan dari meja-meja sampai kaki lima
Tapi tak ada sebaik surga yang kami minta!
Minta surga ini
Agar perut lepas dari neraka
Minta surga itu
Agar dada tidak mengharu biru
Minta lagi surga ini
Agar terang setengah hari
Tuhan! disini ada surga
Ditawarkan beraneka warna
Disini!
Di negara seribu bendera
Negara seribu surga
Tapi Tuhan!paranoid itu penyakit apa?
Kenapa tidak ada surga
Sebaik angan-angan kami ?
serbaik surga punya tuhan ?
Setiap bendera setiap surga
Setiap warna setiap rasa
Tuhan…!
Kami tercekat.

Maret 04

Bom

Oleh: Muhammad Nasir

Bom meledak!meledak juga dalam nadiku
Meledak sampai naik ke ubun-ubun
Pecahlah nadi buncahlah darah
Tunggu! Sampai bom meledak lagi
Di mulutku meledak tawa, meledak tangis
Meledak juga calon terdakwa
Meledaklah hakim, meledaklah jaksa
Siapa hakim, siapa jaksa
Siapa juga jadi terdakwa
Bom meledak di mana-mana
Siapa tangis siapa tawa, siapa berulah
Siapa tersangka???
Siapa mati ,siapa terluka
Siapa suka matilah rasa
Bom meledak
Bom siapaaaa…???

Agustus2003

Jangan pilih yang BA(r)UUU…

Oleh: Muhammad Nasir

Beberapa saat lagi
jangan pernah pergi
dari sana ke sini
ada yang bau dari politisi

endus..endus..
oaahk!!!
Aku muntah…
Orasi ini tak sedap sekali
Endus..endus…
Oaahk!!!
Aku muntah
Busuk di saku
Di mulut, di ketek
Dan di rumahnya
Oaahk..
Busuk juga di selokan
Di bis kota,di mana-mana
Dan di rumahnya
Endus..aha! ada yang wangi di...

Luar Biasa!

Oleh: Muhammad Nasir

Bangun pagi
Mulai lagi menjual mimpi semalam
Hari ini angka berapa ?
Bangun pagi
Setumpuk koran di meja
Luar biassaa,

Bangun pagi
Hitunglah sampai angka 24
Ada 24 mimpi besar semalam
Ada 24 tempat makan besar
Mungkin juga 24 jam dusta
Luar biasa!

Bangun pagi
Gosoklah gigi
Tersenyumlah kearah mentari
Yang pasti memberi,
dan tak pernah meminta
luar biassaaa!!!
Bangun pagi
Catatlah setumpuk dosa
Di meja
Meja si… si..Pulan.!!!
Luar biasa

Umpat

Oleh: Muhammad Nasir

banjir tanah mengapung batu meleleh bersama ketika
seketika itu juga membuat kelam keruh
tapi tidak mabuk bapak !
ketika itu saat yang bersamaan bapak lewat dengan
muka lipat rapat empat-empat, air muka kelam
demi segala umpat, umpatlah !
disaksikan oleh muka yang terbelah muka dua
susunan empat jari satu dilipat di dahi. Hormat !
juga oleh wajah basah
robek darah, paakk !

stpdn@ffair2003

Pemuda Kita

Oleh: Muhammad Nasir

adalah yang berada di belakan bambu runcing
di depan mitralieur..dulu!
adalah yang berpidato di Indische Beweging
waktu itu ia sekolah di Stovia
adalah yang berdiskusi sampai bertanduk
di Jong Java, Ambon, Celebes, Sumatra dan Bond-bond lainnya
adalah yang berada di KAMI, KAPPI dan arena dansa
waktu keringat darah menetes dari kepala hingga selangkangnya
adalah yang ganteng dan cantik di KNPI
waktu map agenda kerja berada di tangannya
adalah yang tawuran di jalan raya dan kampus-kampus
waktu jam sekolah belum usai
adalah yang mati di jalanan dan hotel berbintang
waktu di temukan pil setan di saku bajunya
adalah yang mati muda
waktu harapan dan masa depan tak mampu menuntunnya
pemuda kita adalah…ya itulah mungkin
yang tak sempat tercantum dalam sajak ini
ya sudah…
0kt 2003

Pahlawan pagi

Oleh: Muhammad Nasir

Berita: seorang manusia baik telah
Menyelamatkan seorang anak manusia
Dari bencana kelaparan
Karena bantuan dari ortunya belum datang
Oh pahlawanku..pagi ini
Aku akan berteriak…!!!

“bukan aku tak menghargai
jasa pahlawan sebagaimana kau teriaki
dalam orasimu pagi ini, di tujuhbelasagustusan
tapi kakek buyutku juga mati
sebagai pahlawan yang tak tersebutkan”

“pahlawanku adalah orang yang kudoakan
siang malam dan sampai pagi
karena mereka mati tragis sekali”

“pahlawanku juga termasuk
orang yang berani
yang tidak sempat masuk
ke sekolah kompeni.

Jadi waktu itu…
dengan jerit ngeri, mereka rebah ke bumi
tapi karena ideologi
mereka tak sempat ditangisi apalagi diperingati
dan dicatat dalam buku sejarah
yang dipelajari di sekolah-sekolah

sekedarprotesagust2003

25 Juni 2008

Reformasi; Pohon Tinggi itu masih berdiri

Oleh: Muhammad Nasir

Ingatkah engkau teman,
di mana kita hidup 32 tahun yang lalu?
Di tempat yang tinggi, di sangkar emas,
di kaki awan, di pohon rindang,
di... ? (sementara angin bertiup kencang)

Di dahan lapuk!
Orang-orang menyebutnya orde baru
Tiba-tiba saja dahan itu runtuh,
dan kita menfardhukan dahan baru
untuk bertengger. Kita namakan itu reformasi

Pada saat yang bersamaan,
ada yang tidak sabar mencarikan pijakan baru
untuk kembali ke atas pohon.
Alih-alih mencari pijakan,
justru yang terjadi saling injak
untuk menggapai dahan –yang celakanya-
Dahan itu tidak ada lagi di sana.

Sebagian orang berteriak,
inilah akibat pembangunan yang tidak
diletakkan pada dahan yang kokoh.
Jangankan dijadikan pegangan
untuk memanjat lebih tinggi,
sisa patahannyapun tidak ada lagi.

Apatah daya?
Satu dekade reformasi, seraya merenung,
Orang-orang kembali melihat ke atas,
di mana dahan bernama Orde Baru itu dulu bergantung?.
Ah, seandainya dahan itu masih di sana.
Ah, tiba-tiba ingat Soeharto. Kakek Pemilik dahan itu.
Ia sudah meninggal beberapa waktu yang lalu
Dua bagian terakhir ini yang perlu dilupakan.

Sekarang ini tinggal sebatang pohon tinggi
menjulang ke langit. Tanpa dahan
tempat berpegang dan berpijak.

Sekarang lupakan dahan yang patah,
lihatlah akar tunjang yang menghujam dalam ke bumi.
Masihkan ada harapan untuk hidup?
Jika ada mengapa tidak disiram bersama-sama?

Bukankah masih ada harapan
bagi tunas-tunas kecil yang akan tumbuh
menjadi dahan yang kokoh?
Sabtu, 22 Maret 2008

bila jujur, mengakulah

Oleh: Muhammad Nasir

bahwa kebenaran itu adalah teori
di sekolah-sekolah
dan pabila jujur
mengakulah
bahwa yang salah itu adalah
kerja sambil berulah
karena ada yang akan marah
bila kita bertumpah darah
karena tidak seulah

mei-2004

Anjal

Oleh: Muhammad Nasir



lima orsos bikin proposal
tentang angka-angka kemiskinan
angka pengangguran
angka kriminalitas
tentang kami para anjal

lima analisa
untuk tidak menyebut sepuluh
tentang sebab dan musabab
turun kami ke jalanan

lima program
dari lima masalah
dijual dengan harga murah
hanya milyaran rupiah
tentang kami yang tidak sekolah

katanya resah
masyarakat resah
pemerintah gundah
orsos buncah
atasi segera! katanya marah

lima waktu berlalu sudah
kepada siapa kami di jual
kepada siapa kami mengadu
jika semua merasa resah
ya, pasrahlah !
@mei 2004

Bergeserlah, waktu, Hingga jadi apa?

Oleh: Muhammad Nasir


Detik demi detik bergeser
hari ini pukul 20.14 WIB
persisnya, aku duduk di pojok warung
TV 21 inch menyala terang
seterang tubuh wanita yang eksploitasi paha
dan kilat tubuh mereka sendiri
dalam Montir-montir Cantik !
mengeksploitasi nafsu syahwat
di sepojok hati lelaki
hanya semenit bergeser
ke pukul 20.15
seorang polisi rebahkan diri
di kursi dekat lemari
sampai buyung si pewarung tawarkan
sebotol bir, vodka, entah apa…
“minum Pak ?”
“sudah, tadi di warung Edi!”
ringan jawaban pak polisi
seringan ciuman montir cantik
di televisi
17 Februari 2004

pun-tak ada jawab

Oleh: Muhammad Nasir


Benarlah Kau hai tuhan
Tuhan segala tuan
Akan ada yang tenggelam
Orang pandai tenggelam
di pusar zaman
jatuhlah ia di lubuk hati
lalu mati
sikaya lagi berharta
tenggelam dalam permata
lalu mati
si bodoh lagi dungu
tenggelam di usus hiu
juga mati
si miskin lagi berbudi
tenggelam dalam hutang negeri
tenggelam di harapan sunyi
lalu mati
ahai… duli tuhan segala tuan
benarlah kami tenggelam
beri jawaban untuk kami
selain mati
***january04

Bila terbuka, Masuklah!

Oleh: Muhammad Nasir


Jika pintu telah terbuka
Masuklah, siapa suka !
Seperti angin pada delapan penjuru
Aku menyentuh microsoft
Liem mengembang ceki
Noni melihat Paris dan mencium Yves
So, say hello to Kentucky (Fried Chicken)
Jika pintu terbuka angin akan berhembus
Bush…bush… kemana-mana
Bawa aroma tubruk kemanca negara
Teh telur dan wedang jahe
beserta rendang ke amerika.
Temukan kaleng cocacola di tong sampah
Jika pintu telah terbuka
Semua akan serba mudah
Lupakan JI…JI..
Jamaah Islamiyah, Jesuit Institution
Atau Just Issue
Pintu telah terbuka
Masuklah ke Indonesia !
Yang sedang terluka
Juli03

Jalan-jalan

Oleh: Muhammad Nasir



Kawan, aku kesepian
Tiada bekal uang sekantong
Tiada kawan yang benar omong
Tiada berbuat kecuali kosong
Lihatlah, bawalah aku jalan-jalan
Sebagaimana titah tuhan
Berjalanlah di muka bumi
Juga ke pinggir laut,
saksikan ombak berpalun
Berlomba mencium pantai
Lihat juga ombak pada dua dada
Yang bergelombang dielus nafsu
Kawan, aku kesepian
Sepi dari teman yang berkawan tuhan
Lihat juga jari bergoyang dibelahan dada
Yang tak tertutup rata
Kawan. Berjalanlah!
Sebelum terlena!
01januari04

Benar!

Oleh: Muhammad Nasir

Benarlah aku!
bila tiada yang berkata benar
Benar juga aku!kata yang lain
bila kebenaran adalah kata-katanya
jadilah, aku terima! ada seribu benar
jika ada seribu kata,
pasti ada bejuta-juta benar
jika ada seribu orang benar,
jadilah lautan benar
Benar aku! orang benar tahu ia benar
Benarlah aku! meski aku tahu aku salah
Benarlah aku! jika aku malu mengaku salah
Benarlah aku!
Benarlah aku! Benarlah aku!
sampai berkali-kali
benar ketemu benar, benar dimana-mana
benar ketemu benar, menyamarlah
dan salah dimana-mana
salah ketemu salah, benar dimana-mana
salah ketemu salah, salah juga rupanya
benar…salah… salah… islah…
itu baru benar
maret 04

Digusur lagi

Oleh: Muhammad Nasir


Hujan lagi
menghapus harapan penjaja es
yang memukul harapan
di setiap pukulan kentong
ada juga tangan-tangan tua
bergerak lincah mengumpulkan
ketimun dagangannya

Ah… sayang sekali !
peruntunganku tak sebaik luapan
air selokan yang bau
mendesah halus suara tuanya
Ah…ibu tua beranjak dari trotoar
tak lama air menggenang
setumit renta ibu tua
menggenang juga di matanya
ada dada yang bergetar
hujan lagi,ujarnya lirih.
April04

Serius, ada Mesum!

Oleh: Muhammad Nasir

Kau begitu akrab dengan bantal
Gugu tergugu pungguk dipinggir telaga
Ranting patah tercebur basah
Bulan tersenyum rekah
Hanya sebesar sabit
Ketika awan mengirai embun
Bertitik-titik, nyaris tak terdengar
Hari tetap jam satu
Meski detik bergeser riang
Hanya ada satu berita
Ada jantung berdetak berpacu menghela nafas
Ada keringat disana
Kau akrab dengan bantal
Akau terperangkap dalam hayal
Allah, yaahu
Rabbi
Okt98

Pecundang

Oleh: Muhammad Nasir


Biarkan tubuhnya pulang
Bukan karna takut berjuang
Atau kehabisan uang
Nyawanya pergi karena perang
Perang antar orang terpandang
Begini ceritanya…
yang bodoh maju tak hendak dihadang
yang licik tak sudi berbagi uang
yang pintar kecut tak mau datang
sibuk ngomong dengan lantang
habis itu terima uang
dari panitia yang ngundang
begitulah…
matinya mati orang pecundang
karena ditikam dari belakang
oleh ksatria jaman sekarang
yang takut kalah maunya menang
meski dengan cara yang curang
april04

Anyir bibir lenyap di pasir

Oleh: Muhammad Nasir

kasihan saudaraku
seperti kumpulan gelembung manusia
kata-kata mereka bersipongang
seperti gema tanpa sumber suara

lebih baik berteriak di ruang hampa
echoooo....
tanpa ooo...ooo..ooo...
tanpa eee...eee... eee...

kasihan!
di tengah lebuh raya dunia
mereka mencipta fatamorgana
seperti mengundang angin kebebalan

gelembung-gelembung terbang ke atas kepala
rambut santri dan sorban kiayi
basah di kepala pertanda panas di hati
biarlah, saatnya angin merangkai badai

mereka beralih membahas banjir
bilamana ada yang mati, saatnya bicara bangkai
jika saja kain putih menjadi tabir

takbir dan tahmid hinggap di bibir
bulir liur lenyap di pasir
1/26/2007 1:44:13 AM

Lupa otoritas tuhan

Oleh: Muhammad Nasir

tentang kebenaran yang dipatenkan;
bukankah itu diperbolehkan?
katakan itu pada siang malam
dan setiap kehidupan
bahwa kebenaran itu
mesti dipertahankan dan dipertuhankan

katakan saja; jangan dipaksakan
sayang, selah-olah semua paling berperan
bahkan lupa otoritas tuhan

apa yang ingin aku katakan?
kebenaran yang ada pada otak yang bebas
serta merta mati di kaki tuhan!

atas nama kebenaran
pada tuhan dan kebudayaan
berperanglah demi peradaban

saksikan persembelihan kebosanan
yang tua, beruban pada kenyataan
yang tak terbantahkan

aku bertahan antara manusia dan hewan
berperang melawan setan kebetulan
26/01/2007 1:39:57

Tuak Pyrrho

Oleh: Muhammad Nasir

Tuak Pyrrho tidak sampai dan kurang akal
saat mulutnya pecah;
bicara alim yang tak mungkin
tapi katakan saja mungkin!
jangan jadi orang-orang mumtarin
yang tidak mungkin,
kebenaran dari atas jatuh ke otak dingin

aow...seolah-olah
kebenaran sekarang adalah kebenaran dulu
yang dipelihara sejak berabad-abad
jadilah ia langgam dan pilihan berkata-kata
akhirnya, jembatan janji patah dua
seakan-akan tak hormat jika kebenaran mendua
membunuh yang tua-tua. dan

jangan katakan; yang muda tahu apa?
begitupun yang tua tahu apa?
katakan saja, kebenaran itu seperti
memberi wool pada domba-domba

tapi lihatlah
sekawanan srigala makan dengan lahapnya
daging domba serta bulunya
katakan; makanlah kebenaran itu sendiri
tinggalkan kami wool-nya
penyelimut otak yang dingin

1/26/2007 1:46:48 AM

Seolah kaulah Allah itu

Oleh: Muhammad Nasir

kebenaranmu; seolah kaulah Allah itu
sang maha benar, pemilik kebenaran
demi banyak al hallaj yang mati terbunuh
kaulah jahanam itu. membakar otak-otakku
dan melupakan kalbuku

mungkin saja kaulah perutusan dajjal
yang mengantarku ke pintu kematian
yang tertutup untuk tak beku
sekali lagi; kau lupakan kalbuku
lidahmu; membuatku mati lidah

mati kata mati mutiara
meski tak penting bagaimana matiku
mau mati ayam di lumbung padi
mati belanda di jurang keju
mati itik di kolam susu

aku akan usahakan otak-otak alim petelur
menetaskan qudrah di mana perlu
simpan pedangmu, selipkan di balik buku
masulah ke surauku
1/26/2007 1:48:35 AM

Mati Muda

Oleh: Muhammad Nasir

betapa sejuknya,
akal-akal yang menalar liar
menakar dunia yang lapang
tanpa sekat

seperti langkah kaki kecil di atap,
meratap pada telinga yang tertutup rapat
merpati terbang menjemput risalah

al farabi Cuma duduk di dunia fantasi;
meski mimpi yang tak terbeli
tubuh tidur memang tak mungkin berlari

ruh ada di mana-mana.
meniup jasad-jasad fana
oh, dengan demikian daun kering
yang tak terusik
tak dapat berguguran

hanya saja persyaratan untuk akal
hanyalah pertanyaan nakal
untuk apa membuat kapal?

berbagi tanya untuk nuh yang dahulu.
dasar bebal! akal hanya sejengkal
sebuah kapal hanya wujud
tak pun berlayar;

ladang akal alangkah suburnya.
meski pohon-pohon pengertian
tak dapat tumbuh
akar menjalar menyangga langit
bukit tebal;
salju-salju membangun bukit

edan, lihatlah kecerdasan
menjulang ke langit pertama
malaikat menjura mencium otaknya

alangkah terangnya!
mendungpun tak sanggup
memeluk matahari,
sunyi sepi terpental

akal-akal yang menjalar
menari-nari tiada henti
mengajak sesiapa untuk mencari;

al kindi! mana al razi, bajjah dan tusi
puah, semuanya berlalu tak tahu.
mungkin sudah mati

akal terjatuh di kamar mandi
lupa segalanya

24/01/2007 0:08:21

NARASI SUNYI

Cerpen: Muhammad Nasir

"Sendiri saja ?"
"Ya, aku sendiri. Suamiku sudah dibui"
Datar saja tanpa tonjolan nada yang berarti.
"Andai saja aku tahu bahwa aku tak hamil setelah diperkosa Tonyok, aku tak akan kawin dengannya" Perempuan itu mulai berkata-kata. Tidak ada kesan geram penuh dendam di wajah perempuan itu.

Perempuan itu memperhatikan asesoris yang mengerubuti badankau. Kamera, ID Card, tas kecil. Aku yakin ia telah mengenaliku sebagai wartawan.

“Aku masuk koran lagi?”
“Belum tentu, bisa ya, bisa tidak. Tergantung seberapa menarik kisahnya ”
“Aku Sarni. Kau tentu tahu ada apa denganku. Aku perempuan yang gantung diri tapi tak jadi mati. Suamiku masuk bui, menunggu diadili. Aku pun tahu, bukankah kau orang yang tinggal di ujung gang ini ?“

Dingin sekali caranya memperkenalkan diri.

“Ya, aku memang tinggal di sana. Dan aku adalah wartawan baik-baik, Aku tahu kau adalah perempuan yang merasa takut mendengar sayup-sayup adzan maghrib. Kau bukan setan dan bukan iblis. Kata ustadz, hanya setan laknat yang lari terbirit-birit mendengar adzan.”

“Ya, itu aku!” Saat itu aku dan Tonyok bergulingan. Hijab terbuka, peraturan “syara’ mengenai peraturan hubungan laki-laki perempuan tidak berlaku lagi. Statistik kejahatan laki-laki terhadap perempuan bertambah lagi, itupun kalau tercatat. Langit gelap. Gerimis turun. Sebentar saja magribpun datang bersama gelap. Syafa’ merah pun tidak tampak lagi. Aku menangis bersama gerimis”
Sarni bercerita seperti batu jatuh ke bumi. Pasti dan tanpa ekspresi. Ia terus bercerita, aku hanya mendengar.

"Sejak saat itu aku membenci gerimis. Membenci kegelapan. Setahun bersama Tonyok membuat aku lupa maghrib. Soalnya sederhana saja. Bahwa Aku tidak bisa melaksanakan sholat maghrib bila Tonyok belum makan. Kebiasaan Tonyok keluar malam adalah pada waktu maghrib. Rejeki makhluk malam dimulai waktu maghrib, seiring keluarnya kelelawar menjarah segala yang berbuah. Lebih dari itu aku diperkosa Tonyok diwaktu gerimis dan maghrib"

“Menurut cerita orang-orang kau kawin dengan Tonyok karena kecelakaan, atau tepatnya dicelakai"
“Ya”
“Tonyok adalah laki-laki yang paling kau benci. Kebencianmu jika diukur akan mencapai dua kali bentangan dasar sumur ke ujung langit.”
“Begitulah kira-kira. Celakanya kebencian ini juga yang membuat aku harus kawin dengan Tonyok ”

“Kau bodoh Sarni, setidaknya kau bisa menuntut suamimu”.
“Tidak, aku tidak mau jadi bulan-bulanan hakim, surat kabar, televisi dan entah siapa lagi. Lebih baik aku bekerja untuk sesuap nasi sampai saatnya mati."

Demikian profil Sarni. Setidaknya aku berhasil mengkonfirmasi apa yang aku ketahui tentang perempuan hebat tersebut dengan keserbaapaadanya. Perempuan Hebat?. Mungkin ya. Setahuku, akhir-akhir ini ia sering menjadi headline suratkabar. Aku melihat kehebatannya pada keadaannya yang biasa-biasa saja. Namun ia telah terlanjur menjadi icon, alat verifikasi ketertindasan perempuan di negari ini. Dan yang lebih dahsyat, Sarni bisa bertahan dengan Tonyok -- Suaminya -- tanpa harus ngotot, menuntut keadilan ke Pengadilan Agama seperti pasangan selebriti di televisi. Sekali-lagi…Sarni merasa biasa-biasa saja.

“Baiklah, wartawan. Aku akan bercerita kepadamu tentang daur kesedihan. Kebahagianku bukanlah hal yang layak untuk dipertanyakan. Aku khawatir, wawancaramu tidak berhak masuk koran”
“Oo, ya teruskan, akan ku coba mendengarkan”

****

Tentang maghrib, adalah pertanyaan yang menarik bagiku. Barangkali ini bisa menjadi cerita yang menarik untuk surat kabarku. Aku sudah memutuskan untuk berdalam-dalam masalah Sarni. Entah apa jadinya nanti. Entah berita investigasi atau puisi. Aku kembali mengenang wawancara mendalam siang tadi bersama Sarni.

Sarni bicara seperti sedang berpuisi

"Aku tak berani datang ke surau untuk mengaji,disana banyak ibu-ibu yang tak tahu diri. Seolah tak sadar mereka sedang dinilai ilahi rabbi"

"Oh, Ya ? Teruskan Sarni aku mulai menikmati". Tangan Sarni rajin memetik setiap panci dari dalam almari, lalu melapnya dengan kain. Sejak aku hadir ke rumahnya, baru saat ini aku sadari, setiap barang yang disentuh Sarni menghadir cerita berbulir puisi. Dan ini piring kelima.

"Oleh sebab aku tak punya harta berlian; tak berhak aku duduk di shaf terdepan"

Aku hanya bisa menahan hati, bila aku disuruh mundur ke barisan belakang. Katanya shaf terdepan sudah di "carter" Ibu Tasripan. Ibu Tasripan adalah bendahara arisan. Mereka berkumpul dari pekan-ke pekan. Mulai dari arisan pakaian hingga arisan berlian".

Piring ke lima sudah mengkilap.

"Ini piring yang kupakai untuk jualan. Sekadar pembeli beras untuk makan", terang Sarni seolah tahu yang ingin kutanyakan. Ia mengangkat piring itu ke arah mentari. Entah menyigi, entah sekedar berkaca diri. "Cantik!" katanya tiba-tiba. Ia mengambil kesimpulan untuk diri sendiri.

"Siapa?" Tak sadar, ternyata aku hanyut dan tercekat.
"Aku, aku lebih cantik di banding Nyonya Tasripan. Dan rasanya ia tidak berhak mengusirku dari saf terdepan. "Aku juga berhak berhadapan langsung dengan tuhan".
"Setidaknya kau bisa protes Sarni". Kau bisa katakan, bahwa semua manusia sama di mata tuhan. Dan bukankah saf terdepan merupakan tempat yang patut diperebutkan ?"
"Ya, bagiku dan tidak bagi nyonya Tasripan. Bahkan aku pernah diusir di depan Ustadz Nurzaman. Tetapi ustadz hanya menegur dengan sopan.

Selebihnya ia seakan membenarkan tindakan ibu Tasripan, dan tidak mencoba mempertahankan aku mengambil saf terdepan. Di surau itu, jadilah aku orang kalah tanpa pembelaan. Kecuali tuhan tempat segala pengaduan. Dan aku tak pernah tahu, apakah do’aku dikabulkan. Kenyataannya, sampai saat ini aku tidak pernah mengisi saf terdepan. Bahkan lambat laun aku tak lagi ke surau untuk bertemu tuhan".

Satu piring lagi selesai. Piring itu diletakkan di lantai. Tidak jauh dari tempat aku bersantai. Aku membayangkan betapa beratnya beban Sarni. Sampai di surau pun ia tidak punya tempat. Apa ini tidak termasuk penyakit masyarakat?

Nalarku menjalar. Aku teringat betapa Surau pun kadang tak nyaman bagiku. Aku merasa, surau --- apalagi yang berada di komplek perumahan padat seperti ini --- seakan menjadi milik orang berpangkat atau orang berpunya di masyarakat. Kelas-kelas masyarakat seperti disitir Marx ternyata juga ada di surau. Tapi ini tentu tidak pada semua surau. Paling tidak sejauh yang kutemui, selalu saja ada pembeda di rumah suci ini. Sebelum menjadi wartawan, aku pernah menjadi garin di surau. Saf terdepan laki-laki diisi oleh pengurus surau. Yang lain seolah tahu diri. Lima orang dibelakang Imam pada saf pertama, kalau tidak pengurus surau, ya… pak haji, atau orang terpandang di komplek ini.

"Apa kau tidak termasuk orang yang disantuni, Sarni? Maksudku disedekahi atau diberi zakat fitrah di Idul Fitri?"

"Ya, kadang-kadang aku menerimanya. Tetapi tidak dari surau ini. Dari pribadi-pribadi yang peduli. Aku tidak tahu kenapa jama’ah jadi begini. Mereka tak memberiku zakat karena aku jarang hadir ke surau"

"Kenapa? tanyaku. Aku merasa perlu bertanya. Dua tahun lalu, akulah yang menjadi garin di surau yang dimaksud Sarni. Ya. Di komplek ini. Aku memang jarang melihat Sarni shalat berjama’ah di surau, apalagi ikut wirid mengaji.

"Aku hanya bisa ke surau di waktu maghrib. Aku pergi di waktu fajar. Menjual lontong untuk penghuni pasar. Pulangku setelah Ashar. Kau tadi bertanya, kenapa aku takut mendengar azan maghrib. Aku dianiya Tonyok diwaktu maghrib. Saat itu seorangpun tak hendak menolong aku yang sedang terhimpit. Dan akupun tahu, di surau ini aku tidak dipandang sebagi orang. Jadi aku jawab, bukan aku membenci maghrib, tetapi waktu maghrib sering memberiku kenangan suram. Bila Maghrib datang aku harus melayani Tonyok yang hendak gentayangan. Mau ke surau, aku sudah terlambat. Di suraupun tak nyaman. Aku tidak bisa bersedekah, meski untuk kotak yang menerima recehan. Ibu-ibu itu selalu melecehkan. Mereka bersedekah dengan angka ribuan. Recehanku mereka singkirkan, tidak masuk hitungan.

"Kasihan!" Itu saja yang bisa ku katakan. Sewaktu menjadi garin, recehan itu aku yang kumpulkan. Setalah beberapa bulan recehan itu kutukarkan. Jumlahnya tentu sudah ribuan. Ketika ku setor ke pengurus surau, mereka mengembalikan. "Sudahlah, ambil untukmu saja, hitung-hitung tambahan gaji bulanan," demikian kata pengurus surau. Jadi kesimpulannya, sedekah recehan Sarni itu aku yang makan. Ya tuhan…

Aku mencatat semua curahan kata Sarni. Yang jelas,bagian sedekah recehan itu tidak akan ku tulis sebagai berita di koran.

"Tuan wartawan, apalagi yang akan kau pertanyakan?"
Aku gelagapan. "Ya..terus, apa lagi yang akan kau ceritakan? Aku akan dengarkan, dan kutulis di buku catatan. (Aku mulai mencatat untuk ku masukkan ke koran dan untukku sebagai bahan renungan).

"Sehari-hari, sepulang dari pasar kerjaku mencuci. Termasuk mencuci celana dalam suami. Oh ya, kau boleh menulis dengan sedikit penekanan pada bagian ini." Sarni mengambil piring ke tujuh dan berbalik. Ia sedikit berharap agar aku lebih perhatian pada bagian ini.

"Apa istimewanya? Mencuci celana dalam suami? Bukankah itu biasa?" Aku berusaha meraba-raba.
"Tonyok itu penjudi. Uang yang aku dapatkan dari jualan, kadang-kadang ia minta untuk modal berjudi. Ia memang punya uang sendiri. Di pangkalan ojek gang ini, ia minta persenan. Maklum, ia setengah preman."

"Apa hubungannya dengan celana dalam?"

"Memang tidak ada hubungan secara langsung. Tetapi bagiku sangat mengesankan. Kau tahu celana dalam tonyok itu sangat bau. Basah peluh. Aku memperkirakan, semalaman, ia duduk dibangku judi. Apalagi bila ia kalah berkali-kali. Ia akan betah main sampai pagi. Seketika aku mual saat mencuci, mual ketika mencium bau celana dalam itu karena asyik berjudi. Bagiku, celana dalam tonyok itu identik dengan judi."
Aku baru ingat, sejauh ini masalah judi baru sebatas umpatan di khutbah jum’at. Atau komoditas tokoh masyarakat. Tak jarang judi itu dibekingi aparat. Termasuk Tonyok yang aku lihat, terlihat akrab dengan aparat, di meja judi, di beberapa tempat. Aku ingat! Aku ingat! Aku mengangguk-angguk.
Sarni menaruh piring dan mengambil mangkuk.

"Lantas, kenapa Tonyok sampai di bui?"
"Hey, bukankah sudah kau baca di koran?" Sarni heran.
"Ya, sudah. Tapi tolong jelaskan, bisa saja ceritamu berlainan dengan di koran!"
"Persis! Memang beda dengan cerita di koran. Aku tak tahu mengapa demikian," Sarni seperti menyesalkan.

"Sepertinya Tonyok memaksaku untuk menjadi pelacur. Aku tidak tahu mengapa demikian. Tiba-tiba saja seorang pria telah ada di rumahku, sore itu sepulang aku dari pasar. Kehadirannya tidak aku acuhkan. Soalnya Tonyok biasa membawa teman. Tonyok, pergi begitu saja. Tinggallah aku sendirian. Singkat cerita, pria itu berusaha menyeduh kopi di tabung maduku. Aku berteriak maling, rampok. Kebetulan saja ada patroli polisi lewat di depan rumah. Pria itu tak mengaku sebagai malaing. Mana ada maling yang mau mengaku. Ia hanya mengambil haknya. Ia telah bayar pada Tonyok suamiku. Makanya pria itu dan Tonyok di gelandang ke kantor polisi. Begitu ceritanya. Biasa saja kan?"

Sarni bercerita tanpa ekspresi. Panjang lebar seperti rel kereta api.
Aku merenung tentang apa yang akan kutulis nanti. Perenunganku ini sejalan dengan heningnya suasana.

"Eh, apakah ini akan dikorankan?" Tanya Sarni
"Iya, kalau memungkinkan"
"Ini kan peristiwa biasa? Di mana-mana juga sering terjadi. Saya sering baca juga" komentarnya.

Hanya senyum dariku untuk Sarni.

"Aku ingin menyampaikan sesuatu. Maukah kau merahasiakannya?"
Apakah gerangan? pikirku. Jangan-jangan ini berita sesungguhnya. Dasar, sudah tahu ia minta dirahasiakan, aku masih berkenan menjadikannya berita.

"Silakan, aku simpan sebisanya" jawabku meyakinkannya meski dengan ekspresi kurang meyakinkan.

Sarni berdiri menuju jendela. Memegang jeruji seperti perempuan pingitan. Terpenjara orang tua.

"Tadi aku sudah katakan, andai saja aku tahu, aku tak hamil setelah diperkosa Tonyok, aku tak akan kawin dengannya. Tonyok yal menginginkan anak di rumah ini!" akupun sepertinya tak ingin Tonyok menjadi bapak bagi anak-anakku.

"Haa? Itu penting diberitakan, Sarni. Agar perempuan yang senasib denganmu tak buru-buru nikah. Bukankah MUI membolehkan aborsi sebelum janin berusia empatpuluh hari?"

"Terserah kau lah. Sekarang kau boleh pulang. Wawancara kuanggap selesai"
Suasana itu memaksaku pergi dari rumah Sarni

***

"Kau bawa berita apa?" Pria tanpa wajah yang kami sebut korlip itu bertanya seperti biasa. Tanpa pernah melihat wajah kami cecunguk pemburu berita. Seperti biasa, akupun tak perlu menjawab apa-apa. Kecuali menyodorkan flash disk.

Beberapa saat, tuan korlip tak berkedip membaca tulisanku.

"Sudahlah, kau tak layak jadi wartawan. Yang kau tulis itu cerita biasa dan ada di mana-mana. Cerita ini untuk apa?" Untuk menguras air mata atau murka para pembaca?"

Blek!!! Tiba-tiba dinding kamar korlip yang pengap itu berubah jadi layar tancap. Di dinding itu tertulis ungkapan Sarni di akhir wawancara.

"Ini kan peristiwa biasa? Di mana-mana juga sering terjadi!"
"Maaak....!!!"

Aku mengenangnya. Mengenang peristiwa yang pada akhirnya hanya kenang-kenangan semasa menjalani masa kemanusiaan.
Ah, Apakah saja di dunia ini yang boleh diketahui? Sekilas masalah ini konyol dan menggelikan. Betapa banyak orang yang mengingkari pengetahuan atau meragukan pengetahuan.

Aku teringat bapak kaum sophis Georgias; "Segala sesuatu tidak ada. Jika adapun, maka tidak dapat diketahui, atau jika dapat diketahui, maka tidak bisa diinformasikan."

***

Tiga bulan berlalu, Sarni seperti hilang dalam ingatanku. Sepucuk undangan yang ditujukan kepadaku; Mohon Meliput Acara. Itu dari Koalisi Perempuan Melawan Kekerasan. Acaranya diskusi film dokumenter dan kesaksian sang saksi.

Setengah jam saja yang aku butuhkan sudah membawa pantatku di kursi rotan milik LSM wanita itu. Layar infocus menghadirkan suasana muram. Satu titik hitam berjalan lamban. Ketika membesar menjadi sosok Sarni. Kesalahan dalam akal dan indra terlalu pilih kasih. Uang memperkosa ingatan orang banyak.

Perempuan itu akhirnya hanya menjadi narasi sunyi pena dan mulut-mulut cantik pegiat LSM.
Padang, Januari 2007

Harimau Terakhir

Cerpen: Muhammad Nasir





"Harimau yang datang tadi malam, betul-betul harimau!"kata Inyiak Sati

"Inyiak balang?" Tanya Palimo

"Apapun sebutannya, harimau tetaplah binatang. Sekali
binatang tetap binatang!" putus Inyiak Sati

Inyiak Sati, orang tua sepuh itu tak lagi
berkata-kata. Rokok daun tembakau dimulutnya dihisap
senikmat-nikmatnya seraya mencungkil kotoran di ibu
jari kakinya.

Diam. Tak ada yang berbicara. Asap tembakau Inyiak
Sati menjalar ke awang-awang. Ada juga yang singgah di
hidung enam pria yang datang kepada Inyiak Sati.

Oh, ya, agaknya penting juga memperkenalkan enam pria
yang minta petunjuk kepada lelaki tua yang sudah
didaulat jadi tetua kampung seumur hidup. Palimo,
agaknya ia pemimpin rombongan. Jabatannya adalah
kepala Jorong. Pengiringnya adalah Kutar, Sulan,
Saman, Masri dan Aswar. Sejak Palimo terpilih jadi
kepala Jorong, kelima tim suksesnya ini senantiasa
membuntut seperti kerbau dan pedatinya.

Enam pembesar jorong ini sengaja mengunjungi Inyiak
Sati. Mereka tahu persis, kakek tua itu meski bukan
zoologist, tahu banyak tentang harimau. Riwayat
hidupnya tidak lepas dari pergaulan liarnya denga
harimau atau inyiak baling, sebutan takzimnya. Konon
semenjak muda Inyiak Sati sering berkelahi dengan
harimau. Baik sewaktu berprofesi sebagai petani
ataupus sebagai pejuang yang sering bergerilya masuk
keluar hutan melawan kompeni. Kadang-kadang ia juga
sengaja bergelut dengan harimau sekedar mempermahir
gerak bela diri. Paling spektakuler adalah melawan
harimau jadi-jadian, jelmaan dukun kafir yang tak
pernah mandi dan sembahyang. Oleh sebab itu, masalah
harimau yang menyatroni kampung, mereka anggap Inyiak
Sati lah expert-nya.

Keheningan itu pecah juga. Seperti bisul mengkal yang
menunggu bernanah.

"Tolonglah Nyiak,pagari kampung kita" pinta Palimo.

"Iya, Nyiak" Kutar turut pula menukuk.

"Bisa habis ternak kita nantinya Nyiak" si Sulan ikut
menyela.

"Saya juga takut menakik getah Nyiak, bisa rengkah
kepala saya" Saman bicara pula.

"Konon kampung sebelah juga diserang. Ibu-ibu pencari
kayu baker sampai terkencing di celana mendengar
aumannya" Masri sekedar mencontohkan.

Sudah lima orang bermohon. Inyiak Sati seolah tidak
mendengar. Sehabis mencungkil kuku, kini ia mencabut
bulu hidung. Asap rokok sesekali ia tiupkan ke langit.
Ia menerawang seperti berpikir. Tetapi sebenarnya
tidak. Ia sedang mengamati kemana perginya asap rokok
daun enaunya. Yang tersisa kembali diam. Bahkan
anginpun tidak bertiup di ruang tertutup itu. Sampai…

"Hey, Aswar, kenapa kau menggigil?" tiba-tiba pria
gaek itu menunjuk Aswar,lelaki keenam yang belum
bicara.

Aswar tergagap.

"Anu, Nyiak, saya punya pusa-pusa di kening. Apa saya
juga diincar harimau itu Nyiak?"

Dalam pertanyaannya Aswar mengandung harap. Berita
baik dan jawaban "bukan" dari Inyiak Sati.

"Kau sudah dipilih Aswar. Ajalmu akan tiba.
Bersiap-siaplah!" jawab Inyiak Sati.

"Haaa?" Aswar terperanjat. Pantatnya melompat sepuluh
senti dari tempat semula.

"Apa usaha kita Nyiak?" kecuali Aswar, kelima pria itu
bertanya serempak.

"Entahlah". Itu saja yang keluar dari mulut keriput
Inyiak Sati.

Ia melangkah ke luar rumah. Jelas mengarah ke bangunan
kayu di samping rumahnya. Jika ada yang bertanya,
bangunan itu adalah surau Inyiak Sati, warisan ayahnya
Angku Imam.

Entah apa maksudnya.orang tua itu berputar-putar di
dalam surau kecil empat kali enam meter itu. Tumpukan
kitab kuning, alqur'an dan entah tulisan apalagi yang
ada di sana ia tepuk-tepuk. Beliau bersin. Dinding
papan tanpa cat itu juga ia guguh, dan berbunyi
bukk…bukk. Setelah itu terdengan bunyi seperti orang
pipis, atau seperti pasir berseluncur di atap. Itu
bunyi bubuk kayu. Anak-anak sini menyebutnya cirik
anai-anai.

Enam pria itu mengikuti Inyiak Sati ke dalam surau.

"Inyiak, bagaiman tentang harimau tadi?" ulang Palimo
bertanya.

"Papan ini mulai lapuk" jawab Inyiak Sati. Tentu saja
tidak menyambung dengan pertanyaan. Tetapi lelaki tua
it uterus saja bercerita.

"Dulu bapakmu sampai terkencing-kencing memikul papan
ini. Ia ikut menebang, membelah dan mengetam kayu ini.
Bapakmu punya andil membangun surau ini" kenang Inyiak
Sati.

Pernah merasakan bingung? Itulah yang dialami Palimo.
Lain ditanya lain pula dijawab.

"Kami tahu, Nyiak" jawab Palimo seadanya.

"Sudah berapa lama surau ini tidak dipakai? Tanya
Inyiak Sati.

"Kurang lebih duapuluh tahun Nyiak" jawan enam orang
itu serempak.

"Ada berapa buah surau di jorong ini selain surauku
ini?

"Dua Nyiak," jawab Palimo.

Kalau begitu kembalilah ke suraumu, rubuhkan dan
bangun surauku ini, seperti dulu.

Dalam hati Palimo, mengumpat "gaek tea". Tapi ia
teringat masa kecilnya.

Surau Inyiak Sati adalah tempat ia mengaji alif-ba-ta.
Tempat ia tidur sewaktu jejaka. Tempat Kak Ciah dan
Uwan Sirun menyelesaikan perkara rumah tangga. Tempat
bersaksi orang yang melakukan pagang gadai pada
hartanya. Tempat orang berdebat masalah adapt. Hampir
semua urusan pribadi atau bersama terjadi di surau
ini. Bukan apa-apa, semua hanya karena Inyiak Sati
berdiam di surau ini. Tak sekalipun ia mau pergi ke
balai nagari atau ke kantor desa. Meski parewa, Inyiak
Sati tak kalah dalam bidang agama. Makanya ia berani
tinggal di surau.

Sekarang surau itu tidak berfungsi. Tak sekalipun azan
terdengar dari surau ini. Apa sebab? Inyiak Sati tak
tinggal lagi di surau sejak Surau Baru berbahan batu
dan semen di bangun di Balik Air, kampung seberang
surau Inyiak Sati, masih di jorng yang sama. Kata
orang-orang sebelum membangun surau bariu, surau
Inyiak Sati sudah sempit. Tak muat lagi untuk
bersembahyang orang se jorong.

Setelah dibangunpun, Surau Baru tak pernah ramai.
Sedikit saja orang yang sembahyang. Tak ada yang mau
tetap menjadi imam. Imam sembahyang adalah orang yang
dulu tiba di surau kemudian didaulat jadi imam.
Kadang-kadang orang teringat Inyiak Sati. Sejak pagi
hingga malam hari ia tak pernah henti datang ke surau.
Menjadi imam dan mengajar mengaji.

Inyiak Sati tak pernah datang ke Surau Baru. Dingin,
katanya. Maklum Surau Baru sudah permanent. Berdinding
bata berlantai semen. Surau Baru langsung diresmikan
bupati.Sejak itu pula Inyiak Sati tak berpenghuni.
Sekarang Surau Baru itu disuruh rubuhkan. Orang tua
edan. Begitu pikir Palimo.

"Rubuhkan Nyiak? Kenapa? Itukan surau permanent?"
protes Palimo.

"Ya. Kalian tea. Sudah jelas kampung kita dingin,
dibangun pula surau batu. Itu bukan surau, tetapi
ngalau batu. Masuk angin lah kalian!" Inyiak Sati
memaki-maki.

"Tapi Nyiak" Palimo mencoba protes.

"Tak ada tapi-tapian, kerjakan!" pangkas Inyiak Sati
pertanda protes ditolak.

"Bagaimana Harimau itu Nyiak?"

"Sekali binatang tetap binatang!" Inyiak Sati seperti
bersemboyan.

Pembicaraan usai.

***

Malam harinya, sesudah Isya'. Tak biasanya Palimo
menjadi Imam. Gara-gara harimau seekor ia terpaksa
berkumpul dengan beberapa orang yang dianggap perlu.
Membahas bagaimana caranya membujuk Inyiak Sati.

Ada sembilan orang pria termasuk Palimo. Apa cerita
mereka?

"Apa kalian mendengar auman harimau senja tadi?" Tanya
Palimo.

"Ya," jawab seseorang. Yang tujuh lagi
mengangguk-angguk pertanda iya.

"Menyedihkan sekali. Mungkin harimau itu sedang lapar.
Tapi kenapa ia melenguh melengking setinggi langit?"

Tidak ada yang menjawab. Palimo gelisah.

"Sebelum ke surau, tadi saya singgah ke rumah Inyiak
Sati. Tapi orang tua itu tak di rumah" Palimo
bersandar ke dinding. Kiblat berada di sisi kirinya.

"Saya kehilangan seekor kambing" kata seseorang.

"Korban mulai jatuh!"

"Apa usaha kita? Hey kalian cobalah berpikir. Sudah
mati otak kalian rupanya, semprot Palimo.

"Kemana Inyiak Sati?"

"Entahlah, saya sudah tanyakan kepadaTek Ciah. Tidak
tahu. Besok ia pulang, kata bininya itu"

Palimo mencaplok rokok di tangan seseorang. Ia merokok
mencari inspirasi.

"Aku tahu perangai gaek itu. Kalau ia perintahkan
memperbaiki suraunya, pasti ada gunanya. Tetapi yang
aku tak mengerti, kenapa Surau Baru ini harus
dirubuhkan? Apa pikiran kalian?" tawar Palimo.

Lama berdebat, tak seorangpun yang tahu apa maksud dan
tujuan dari perintah Inyiak Sati itu. Kalau membangun,
bolehlah bisa diterka manfaatnya. Tetapi kalau
merubuhkan, tak ada terlihat kegunaannya. Namanya saja
merubuhkan. Pasti maknanya buruk, merusak, begitu
pikir mereka. Sampai seseorang mengusulkan….

"Begini saja, kita perbaiki surau Inyiak Sati, tapi
Surau Baru ini jangan dirubuhkan dulu, siapa tahu
surau Inyiak Sati berguna untuk mengusir harimau"

Apa pula hubungan surau dengan harimau? Tetapi tentang
yang ini tak banyak yang berdebat. Semua setuju
memperbaiki surau Inyiak Sati. Palimo bahkan
menawarkan papan yang banyak tersandar dirumahnya.

"Ini, strategi namanya. Taktik…taktiiiik…!" teriak
Palimo seperti Jendral Sudirman.

Mereka pulang dengan muka cerah. Namun rasa cemas
tidak hilang dari hati mereka. Harap-harap cemas.
Harap sampai dirumah dengan selamat. Cemas,seandainya
di jalan bertemu inyiak balang.

***

Belum selesai ayam jantan berkokok, Palimo sudah
gerilya dari rumah kerumah. "Gotong royong ke Surau
Inyiak Sati!" itu saja perintahnya.

Singkat cerita, saat tanah sudah terlihat wujudnya,
saat embun sudah pasti pergi meninggalkan bumi, saat
itu pula terkumpul puluhan laki-laki yang dikenai
wajib goro berkumpul di surau Inyiak Sati. Tetapi
masalah muncul lagi. Ke mana Inyiak Sati? Kurang
taratik namanya membongkar surau Inyiak Sati tanpa
seizinnya. Meskipun pekerjaan ini atas permintaan yang
bersangkutan.

Hari makin tinggi. Kopi sudah lama terhidang. Yang
tersisa cuma ampas di ekor teko. Inyiak Sati belum
juga berhasil ditemui. Orang tua itu bagai hilang di
telan bumi. Palimo gelisah. Warga peserta goro mulai
macam-macam ada yang mengancam akan pulang, bila
pekerja belum dimulai. Beberapa orang mulai minta
tambah kopi. Ada juga yang minta dibelikan rokok.
Bahkan ada yang minta nasi. Palimo mulai tak enak
hati. Matahari tegak tali.

Elang memekik di angkasa. Induk ayam mulai menyurukkan
anaknya satu persatu di bawah perut dan ketiaknya.

Seiring pekik elang, terdengar bunyi menggelegar di
dalam surau Inyiak Sati. Suara dinding papan dihantam
mortir.

Orang-orang yang berkumpul di halaman surau tergagau.
Ada yang menyebut abak mandehnya. Ada yang menyebut
nama tuhan. Ada yang memegang dadanya berharap tali
jantungnya tidak ada yang putus. Palimo cepat
mengendalikan diri, melihat ke dalam surau.

"Ondeh mandeh!" Palimo tergagau untuk kedua kalinya.
Mukanya pias, putih seperti telapak kaki.

Sesosok wajah yang bersirobok dengan wajah Palimo itu
adalah wajah Inyiak Sati.

"Ada apa Nyiak? Terlongsong benar garah Inyiak" sesal
Palimo.

"He…he…maaf, ketika saya masuk dari pintu samping,
engselnya lepas. Pintu terhempas" Inyiak Sati tertawa
puas.

"Ini, bukalah!". Inyiak Sati menyodorkan bungkusan
daun pisang.

"Apa itu Nyiak?" tanya Palimo.

"Telinga Harimau! Simpan baik-baik. Ini harimau
terakhir di kampung kita. Setelah ini, aku tak akan
berburu lagi"

Muka Palimo membesar saking gembiranya.

“Oh, ya, sampaikan juha ke orang-orang, seekor
kambingnya dimakan harimau. Aku yang memberikan”
Inyiak Sati kembali menyulut sebatang rokok.

"Hoyy, harimau itu sudah mati!"

Orang-orang berteriak kegirangan. Ronaldo baru saja
menjebol gawang Atletico Madrid. Penonton bersorak.
Begitu pula euphoria di halaman surau Inyiak Sati.

"Sekarang, kerjakan surauku. Ini adalah surau terakhir
yang dibangun di kampung ini. Jangan ada lagi surau
sesudah ini. Surau ini adalah kenang-kenanganku untuk
kalian. Surau kalian itu hanya gedung batu. Tak ada
artinya" perintah Inyiak Sati.

Semua orang bekerja dengan rajinnya. Kaki jadi kepala,
kepala jadi kaki. Begitulah, kalau orang bekerja
dengan sukarela. Sebentar saja, surau itu selesai.

Surau Inyiak Sati tegak seperti baru. Orang-orang
terperangah kelelahan. Tak sadar mereka, saat bekerja
tadi Inyiak Sati sudah tersandar di tonggak pagar.
Palimo berjalan menuju Inyiak Sati. Ia akan menanyakan
kenapa Surau Baru harus dirubuhkan? Sekarang surau
Inyiak Sati sudah berdiri.

Inyiak Sati diam seperti tidur nyenyak. Lelaki tua itu
tak bereaksi. Palimo mencoba menyentuhnya. Inyiak Sati
diam saja. Meski matanya tertuju ke arah suraunya, ia
tak melihat apa-apa. Inyiak Sati tak bernyawa.

Palimo tak mendapat jawaban apa-apa tentang semuanya


Padang, 10 Agustus 2007

Mimpi Kartinipun berakhir


(II)
Tentang wanita yang kulihat di televisi;adalah cewek cantik pembaca beita, reporternya biasa-biasa saja. Kadang cantik-kadang tidak biasanya tetap asyik di mulut nona pembaca berita.
Atau juga host sebuah entertainment, gosip selebriti. Cantik dan berbadan seksi. Atau perempuan dengan tanktop, ketiak mulus bekas cukuran, badan mulus bekas luluran bibir sensual bekas gincuan. Tapi ada juga yang begoyang seperti orang sedang ‘gituan’ paha dan dadanya bersembulan.
Atau tentang perempuan korban kekerasan atau perkosaan. Sesekali tentang wanita kerudung dalam pengajian. pakai mukena pegang alqur’an. Dan sering juga tentang perempuan kelelahan tak dapat kerjaan, malah dideportasi ulah majikan, saat ia menjadi TKI di negeri jiran.
Tentang perempuan di televisi; adalah hiburan dan kumpulan kesedihan. Yang cantik seksi diumbar sepeti makanan. Yang kurus kumal demi berita kesedihan. Yang pintar-pintar untuk perdebatan. Tetapi masih sering untuk konsumsi penjantan.
Ah, perempuan, lembar demi lembar hanya analisa penelitian. Bundel besar di lemari teman anya kumpulan; tentang mimpi kartini yang berakhir seri.
291106

mimpi kartinipun berakhir

Oleh: Muhammad Nasir

(I)
dulu ceritanya tentang kartini dan perempan berkemben. menunduk-nunduk rikuk di keramaian. Tinggalkan tangis bayi di rumah. Pergi madi dan mencuci di kali. Begitu pulang menyandang air di dandang. Kartini merasa malang, tak bebas di alam lapang.
Dan dulu juga, ceritanya tentang wanita yang dikebiri, di puri dan rumah-rumah para bupati. Eksploitasi tak cukup sepenanakan nasi. Air mendidihpun untuk melayani pembesar negeri. Kartini merasa resah dan ngeri. Mau jadi apa perempuan ini?
Sekarang tentang debu-debu yang ditiup angin adalah sempalan cerita-cerita tentang permpuan kita. Darah yang mengalir di tubuhnya adalah darahdarah anak manusia yang bisa tumpah di mana saja. Perempuan yang seperti itu bisa hinggap di mata mana saja, dan seluruh dunia.
angin yang tak berkelamin menghembus lara. Tubuh-tubuh yang terbuka adalah suatu yang biasa. Seperti angin, pun wanita bisa kemana saja. Berdagang komoditas tubuh dan wacana hampa [pornografi]. daging-daging itu menemukan harganya!
Kartini dan wanita sekolahan, adalah kumpulan manusia dari taman kanak-kanak hingga profesor. Matinyapun sama, dimakan cacing. Yang sehat dan yang sakit. Yang bejat dan laknat. Yang baik dan teramat baik. Kartini yang baik dan teramat baik. Idenya yang cantik
Kini kartini dan wanita penambah semangat. Dipakai bila terasa kuat dan dipecat pabila cekat. Angin bertiup di sela kebaya.kartini berakhir bersama takdir. Tak ada lagi kartini kecuali hanya daging dan kumpulan aurat.
291106

Gubraggubraggubrag…

Oleh: Muhammad Nasir

Ahh…
Aku masih ingat, 17.56 angka yang tertera di layar HP
Gubraggubraggubrag…suara yang tidak indah
Tak ada lagi tanda dari ayam-ayam yang berterbangan
Semua dengan sukarela sudah dimusnahkan
Dipatahkan lehernya, dibakar dan dijebloskan ke lobang panas

Tak ada kelelawar yang beterbangan, tak ada, tak kelihatan
Tapi pekik itu melejit setinggi langit yang merah saga
Orang orang melayang-layang seolah melepas bobotnya
Berjatuhan dan bangkit lagi laksana mabuk

Gubraggubraggubrag…
Plester semen itu melepaskan semennya
Luruh sudah semangat anak zaman, yang tadinya beringas
Meludahi zaman yang tak lagi suci dari cita-cita negeri
Dan sesaat saja ada yang mati, ya, mati! Pasti!

Gubraggubraggubrag…
Suara yang tak indah itu tak segera hilang dari ingatan
Meski berjuta ungkapan simpatik berlompatan
Dari mulut-mulut yang terbiasa mencibir maut
Dan menurut mereka, itulah kata terindah
Yang mereka lombakan pada sayembara berdarah itu

Tapi cukupkah itu menolak duka?
Semua pembesar negeri berlomba-lomba memberi ucapan,
seolah itulah obat yang paling mempan bagi korban-korban
yang terombang ambing di tanah yang mendadak terban

oh, berlomba-lomba
bantuan-bantuan memang berdatangan
dari kiri, kanan dan dari mana saja
hanya saja, ungkapan-ungkapan dan bantuan itu
menuntut pamrih yang tak sedikit, yaitu julukan pahlawan

berbagai atribut yang mereka gunakan berujung ke tahun 2009
akulah relawan, akulah pahlawan
bumi gonjang ganjing
menyebut nasib yang tak pernah seiring
dengan tulang yang hampir mengering

Gubraggubraggubrag…
Bumi telah memecahkan piring-piring
Di manakah lagi nasi berlauk daging dan puing-puing?
13 September 2007

Do’a minta rasa

Oleh: Muhammad Nasir

Ya Tuhan ku dan tuhan mereka juga
Aku termangu, terkagum-kagum dengan dunia ini
Bumi tempat kami tinggal suguhkan keajaiban
Indahnya alam dan kejamnya pengalaman
Jika engkau jadikan alam itu tempat kami belajar
Jadikan juga keindahan itu sebagai guru
Bagi orang yang terburu nafsu dan
terhimpit cemburu

Wednesday, June 25, 2008

Diaspora lendir

Oleh: Muhammad Nasir

Hasil perkawinan resmi manusia pertama
melahirkan aku pada lelehan yang ke sekian!
penting ku katakan, berton-ton lendir telah meleleh
dan pada senggama yang kesekian
serta jejeritan nyeri para ibu, lahirlah aku.
aku hanya percikan dari perjalanan letih lendir itu
hingga beku di segenap sendiku
namun selalu ada tanya: apa maksud-Mu dengan semua itu?

beberapa waktu yang tidak sedikit telah berlalu
lahir, tumbuh, berkembang, kerdil, tak makan makanya kecil.
sesekali membesar, mengkerut lalu mati seperti itu!
dan tak ku ikuti mati itu kecuali aku mengerti

isi dulu hidra otak kecilku
dengan detik-demi detik pada setiap kronik.
setiap denyut pada otak kanaku adalah nama
setiap nyalang adalah ruang-ruang lapang
otang yang bebal itu lalu menerawang
sebelum tertunduk ripuk.

ahai, ibarat kain buruk pada layar lanun tua
angin tak pernah menyapanya pada laut lepas
yang amat luas
mata yang lamur itu nanar dengan aneka warna
yang sama sekali tak indah pada jiwa yang tak henti resah

lembar-perlembar ingatanku seperti layar tiga dimensi,
tanpa lakon dan narasi, juga tanpa durasi
lalu bagaimana aku menyebutnya sejarah?

lendir itu pada akhirnya menjadi kata-kata
kata-kata itu menjadi logika, lendir hari ini, lelehan keberapa?
bagaimana menghitungnya pada senggama segala apa?

aku hanyalah urutan-urutan kekinian yang aku temukan
pada otak-otak yang menalar liar.
aku temukan itu pada daftar di alam yang tak lebar

sekarang lendir itu menutupi lembah tanpa dasar
lendir-lendir itu tumpahan sejarah
luapannya menjadi sawah yang menumbuhkan
segenap makhluk yang sama sekali tak berbeda,
kecuali hanya species dengan urutan tugas yang berbeda
katakanlah aku manusia, selebihnya engkau
ular, biawak, buaya dan segenap yang melata
yang berotak besar berubah menjadi raksasa bodoh
besarnya dia; menginjak-injak mesti itu normal untuknya
personi yang lain tak lebih baik dari cahaya cemerlang
yang menyilaukan
di antara kaki mereka juga mengalirkan lendir;
darah campur nanah
13/04/2007 19:58

24 Juni 2008

Apapun yang terjadi; eh!

Oleh: Muhammad NAsir

eh!
(buka mata,bung!)
sekedar berita;
penyair di kandang kuda
bicara makna berkata-kata

eh!
entah siapa pula namanya
tidak siang berminyak peluh
tak malam bermandi bulan
hingga langit merah tua keesokan harinya
ayam betina bekotekpun disanggahnya

demi sebuah wibawa;orang pintar mesti bicara
demi syair segala raja
tak peduli air liur pagi menetes
memaki-maki setinggi hati
katanya;hey penyair tak berbudi!
kau taruhlah tuhan antara kepala dan ujung kaki

eh!
mana ada tuhan di kepala sepi
otak yang tak mandi dan jarang ngaji?
untung aku bukan penyair
kecuali penulis puisi yang saban hari
butuh publikasi

eh!
apapula yang jadi soal?
bagaimana mungkin kau yang berkurung
seperti kadal bicara soal sosial
memaki-maki ala orang tak bermodal

eh!
manusia hewan yang berkata-kata
adat kata kadang tak butuh makna
di mulut si gila dan buta aksara
termasuk lidah di ujung pena

eh!
mana kupercaya
pada penyair di kandang kuda
tak kemana-mana, bicara pula baratayudha
dasar, murid kuda
(27/11/06)

nasionalisme biru lebam!

Oleh: Muhammad Nasir

nasionalisme tinggallah semangat
pada dada anak-anak pencari bendera
yang terseret ombak
landas menuju samudera luas
yang katanya milik Indonesia

tiang-tiang yang tersisa
menjadi milik merpati
yang tak tahu jalan pulang
pada sarang yang dibuat anak bangsa
ditimpa beban sejarah resah
bak tsunami!

nasib pulau yang ibarat perca
mengapung ragu di sekat-sekat
karang gigi pembesar negeri
benang-benang itu tidak ada lagi
kecuali pembersih gigi orang-orang kenyang

dengan apa hendak dijahitkan
luka-luka lebar tak berdarah?

dan negeri ini semakin takut pada air,
air mata ibu-ibu yang ditakuti suami
karena tak satupun yang bisa menjadi nasi
juga takut pada air ludah demonstran
juga pada air seni orang malnutrisi
di antara mereka yang berkutat
dengan alotnya serat daging Kentucky

ah, nasionalisme
hanya orgasme musim kawin
orang-orang tak berpelamin
kepada apa negeri ini hendak berkelamin,
bila tak ada yang benar-benar hendak memimpin
bangsa ini tak beranak
kecuali kutu-kutu yang begitu saja muncul
dari tepi pulau yang semakin perca
kutu-kutu hanya menggerogotinya

nasionalisme apa yang hendak dimimpikan?
jarum-jarum itu tidak menyatukan
kecuali hanya menikam di tempat yang kelam
nasionalisme biru lebam!

09 Juni 2008

Rapun

Oleh: Muhammad Nasir

Mak Maun, perempuan beranjak tua itu kembali termenung-menung di palanta depan rumahnya. Sendiri menikmati hampanya senyap. Hanya ada seekor anjing di halamannya. Sekedar untuk penjaga rumah. Saat-saat seperti inilah ia sangat mersakan dan memaknai kepunahannya. Sebelumnya ia tidak begitu memikirkan perkataan orang-orang tentangnya.

"Beginilah rasanya jadi orang punah" bisik Mak Maun selaras dengan hembusan angin yang membuatnya terkantuk-kantuk.

"Di mana kamu sekarang, Maun ? Apa yang kamu lakukan bersama istrimu di Mudiak sana ?"

Untung saja orang kampung tidak menganggapnya gila. Orang-orang sudah mengetahui kebiasaan Mak Maun di sore hari. Berdendang melagukan nyanyian rindu perempuan-perempuan Minang.

"Aku sudah katakan, kenapa harus jauh-jauh babini ke kampung orang ? Apa di sini sudah tidak ada lagi perempuan yang ingin menjadi suamimu ?"

Mak Maun kembali teringat saat-saat Maun, putra tungga babeleang bersikeras hendak menikah dengan gadis muda dari kampung Mudiak. Mak Maun sudah habis alasan untuk mencegah niat Maun. Meski alasan utama Mak Maun cuma tak ingin putra satu-satunya itu jauh dari sisinya.

Di Minangkabau, jika anak laki-laki menikah ia akan tinggal di rumah istrinya. Seandainya Mak Maun berhasil mencegah Maun, dan Maun bersedia menikah dengan orang kampungya, mungkin saja setiap saat Maun bisa pulang ke rumah ibunya untuk melihat kesedihan dan kesepian yang dialami perempuan gaek itu.

" Mak, bukan aku tidak mau menikah dengan orang kampung sini. Tetapi apa mak tidak tahu kalau setiap saat aku mencintai gadis sini, selalu ditentang habis-habisan oleh orang tuanya. Meskipun anak gadisnya sudah menyembah-nyembah mohon dinikahkan denganku? Mak, katanya kita ini orang-orang palasik, aku anak palasik!"

Palasik itu juga manusia biasa, hanya saja mereka berperangai aneh lagi mengerikan,
yaitu gemar memakan daging dan tulang orang mati yang sudah dikubur. Ada juga yang erpendapat, palasik itu suka menghisap darah. Kata orang, jika seseorang yang berperangai palasik bertemu dengan seorang anak berusia di bawah tiga tahun atau anak yang dalam gendongan ibunya, bila digoda seperti layak biasanya seseorang menggoda anak kecil, maka sakitlah anak tersebut.

Atau ditatap melalui mata batinnya, maka sehari atau dua hari kemudian sakitlah anak itu. Ia demam berkepanjangan, suhu badannya meninggi, badannya menjadi kurus, kulitnya mengeriput, matanya selalu bercirit, bila menangis seperti berhiba-hiba, jika tidak segera diobati, dipastikan anak itu akan meninggal dunia.

Mak Maun terhenyak. Meski sudah berulangkali ia menyatakan bahwa ia bukan palasik, tetapi orang kampung tidak pernah peduli. Sekali palasik tetap palasik. "Mana ada maling yang mengaku" demikian analogi mereka.
Anjing putih kesayangan Mak Maun menyalak. Entah apa yang disalaknya.

"Husy… diam. Gara-gara kau anjing sial, aku dan keluargaku dituduh palasik" umpat Mak Maun.

Entah mengapa, anjing putih itupun menjadi penguat tuduhan orang kepada Mak Maun. Dalam cerita palasik disebutkan, anjing putih itu muncul secara tiba-tiba. Anjing itulah nantinya yang datang menyeruak di kegelapan malam, barulah sesudah itu muncul sang palasik. Kata orang badannya besar sebesar gajah, daun telinga lebar selebar nyiru dan wajahnya hitam menakutkan. Maka dikeluarkannya mayat anak yang baru dikubur itu dengan lidi keramatnya dan segera dibawa pulang ke rumah untuk disembelih.

Apabila seseorang yang diduga berperangai palasik datang ke rumah seorang ibu yang mempunyai anak kecil, maka si empunya rumah atau yang lainnya segera mengu¬nyah pinang sinawal atau pinang penawar lalu disemburkan kepada tamu yang tidak diundang itu. Kalau benar seorang palasik, ketika itu juga jatuhlah ia terguling. Bercucuran keringatnya dan dari mulutnya keluar air liur berbusa, tak obahnya seperti orang diserang penyakit ayan. Namun yang umum dilakukan or¬ang, ialah membuat sebungkus obat penangkal yang diletakkan di dalam baju atau selimut anak yang dilindungi itu.

Adapun isi bungkusan tersebut ialah obat penyembur seperti lada kecil (merica hitam), dasun (bawang putih tunggal), pinang sinawal, buah pala, cengkeh dan kunyit. Dengan demikian palasik tidak akan berani mendekat, apalagi mengusik anak yang telah diberi penangkal tersebut.

"Aku tidak pernah jatuh terguling. Bercucuran keringat dan dari mulutku keluar air liur berbusa, tak obahnya seperti orang diserang penyakit ayan. Jelas aku bukan palasik" Mak Maun menyesali orang-orang kampung.

Tapi, lagi-lagi mana peduli orang-orang kampung, meski Mak Maun mengaku orang biasa layaknya perempuan-perempuan lain di kampungnya.
Kata orang-orang kampung, "palasik itu ialah manusia biasa seperti kita-kita juga.

Dalam pergaulan sehari-hari mustahil dapat dibedakan mana yang palasik dan mana pula yang bukan. Orang berperangai palasik itu tidak hilang bangsa dalam adat. Sebab mereka turunan yang jelas asal usulnya dan bukan berasal dari bangsa budak. Dalam jamuan yang terkembang atau medan yang sekata, mereka dapat setanding duduk.

Demikian juga mereka makan dapat sejambar (makan bersama satu talam atau piring besar) dengan orang lain yang tidak berperangai palasik. Kalau ia seorang penghulu, duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan penghulu lain di nagarinya. Hanya saja yang dikhawatirkan orang, ialah kalau-kalau terambil menjadi urang sumando (menantu laki-laki). Bila hal semacam itu terjadi, bisa celaka tiga belas. Sebab anak-cucu kaum tersebut akan berperangai palasik pula seperti bapaknya.

"Maun juga bukan palasik. Ia pemuda biasa" gumam Mak Maun.
"Mauun….Maun. malangnya nasibmu nak"

Bersamaan dengan azan maghrib, Mak Maun masuk ke rumah, hendak menunaikan shalat Maghrib.

Mak Maun menghela nafas sepanjang tubuh rentanya. Maun putranya memang pantas membenci orang kampungnya. Gara-gara tuduhan palasik yang tidak pernah ada bukti dan kebenarannya, Maun terpaksa berkali-kali putus cinta. Kalau saja Maun tidak ia sekolahkan ke pesantren Angku Katik, mungkin saja Maun sudah bunuh diri. Rasa marah inilah yang membuat Maun bersikukuh kawin dengan Herni anak kampung Mudiak yang jaraknya kurang lebih 90 Km.

Mak Maun kembali mengingat peristiwa itu.

"Maun, Kampung Mudiak itu jauh. Mak takut, tak kuat menjenguk cucu mak nantinya".
"Jauh Mak? Tidak Mak. Dulu memang jauh, karena Mak dulu ke sana pakai pedati.
Sekarang ada bus Mak".

Sekarang apa buktinya? Maun tidak pernah lagi pulang menjenguk badan tua itu semenjak menikah delapan bulan yang lalu.
Mak Maun merasakan jauhnya Kampung Mudiak itu dalam kesepiannya.


Seusai shalat maghrib, Mak Maun kembali termenung. Masih bermukena di atas sajadah lusuh.

"Terasa benar malang nasibku sebagai orang punah. Siti, kenapa umurmu begitu pendek. Coba saja kau dan anakmu hidup, mungkin masih ada penerus keturunan kita"

Siti adalah adik perempuan Mak Maun. Dua puluh lima tahun yang lalu Siti meninggal dalam usia yang masih sangat muda, enambelas tahun. Siti meninggal waktu melahirkan bayi pertamanya yang kebetulan perempuan. Limabelas belas menit setelah melahirkan Siti pun pergi menghadap ilahi. Kini tinggal bayi perempuan merah. Harapan kembali muncul. Namun harapan itu tidak bertahan lama. Dua hari setelah kematian Siti, bayi perempuan itupun menyusul ibunya ke alam baka.

Di Minangkabau, perempuan adalah pelanjut silsilah keturunan. Maklum Minangkabau menganut system matrilineal, menurut garis ibu. Suku seseorangpun mengikut kepada suku ibu.

Duka masih terus berlanjut. Belum lagi kering tanah pekuburan muncul lagi isu, bayi perempuan itu mati karena palasik. Palasiknya siapa lagi, kalu bukan Mak Maun, kata masyarakat.

Ketika Mak Maun melahirkan bayi laki-laki, Maun sekarang, ia tidak begitu gembira. Sebenarnya ia berharap kelahiran anak perempuan biar keturunannya berkembang dan dapat berkuasa atas segenap tanah ulayat. Tanah ulayat itu sekarang, satu persatu sudah dipakai oleh mamak jauhnya, mamak sepesukuan. Terakhir tanah yang di bawah penguasaannya sudah dihibahkan untuk membangu mushalla.

Sayang sekali, saat ia tengah berusaha mendapatkan keturunan baru, seorang anak perempuan, suaminya meninggal dunia diseruduk babi hutan. Maun saat itu masih berumur 6 bulan. Sejak saat itu Mak Maun hidup menjanda. Bukan ia tak mau kawin lagi, tetapi tak seorangpun pria yang sudi menikah dengan dirinya. Takut anaknya menjadi palasik. Padahal, Mak Maun tidak kalah cantik bila di banding perempuan lain seusianya. Kalau tidak tercantik ke dua, mungkin ke tiga di kampungnya.

Mak Maun, mau tidak mau, terpaksa menerima kenyataan bahwa ia termasuk orang-orang punah.

Di sebuah dapur yang sangat sederhana duduklah seorang perempuan yang beranjak tua. Mak Maun. Di depan tungku Mak Maun terlihat sibuk mengacau rendang. Sesekali ia berbicara seolah-olah hanya untuk dirinya sendiri .

“Mmh… makan sendiri, tidur sendiri, segalanya sendiri” keluhnya sambil menghela nafas. Bikin kalio…, dimakan sendiri. Bikin rendang…, tak ada yang makan. Yoo… beginilah nasib padusi di Minangkabau.
Mak Maun terus mengaduk-aduk sesuatu yang berbau enak di dalam kuali. Dan mulutnyapun tetap komat-kamit meneruskan curhatnya kepada tungku api yang menyala-nyala…

“Punya anak laki-laki, ini mah… susah.. susaaah..!” Selusinpun anak laki-laki, kalau
tak ada yang padusi, eeh, setelah besar, terbang semuanya ke rumah orang. Inilah contohnya.. kapan lagi bisa makan enak.

Mak Maun mendadak kesal dan berhenti mengaduk. Mungkin isi kuali itu kalio. Mungkin
juga sudah jadi randang.
Tiba-tiba terdengar suara laki-laki berdehem. Berdehem, batuk-batuk kecil. Begitulah orang laki-laki Minang, sebelum mengucap salam, terlebih dahulu berdehem, supaya perempuan yang ada di rumah itu bersiap-siap, siapa tahu pada saat itu auratnya tersingkap.

“Assalamu’alaikum, Ondee, harumnya. Masak apa mak? Bikin rendang ya. Sepertinya aku akan makan enak nih. Mmmh, lapar perutku jadinya,mak…ada nasinya, mak?”

Sesosok wajah muncul dan langsung bertanya bertubi-tubi dan langsung mencari-cari tempat nasi.

“Oi, waang Maun. Masih ingat waang sama amak rupanya. Rupanya waang belum lupa dengan rendang amak sejak waang tergadai ke Mudiak ? ucap Mak Maun tanpa sempat menjawab salam Maun.

Ya, ternyata lelaki itu adalah Maun anak lelakinya yang babini ke Kampung Mudiak. Blok M, bahasa kerennya.

“Kenapa sih mak, protes Maun sambil memijit sayang bahu emaknya. Mana mungkin seorang anak lupa sama ibunya.. Ada-ada saja si Amak ini. Cepat lah mak…saya sudah tak tahan lagi, lapar sekali aku Mak” pinta Maun manja.

Mak Maun berjalan ke sudut dapur. Disitu terletak rak-rak piring yang sudah lusuh, tetapi masih terawat sehingga meninggalkan kesan bersih. Nampaknya Mak Maun cukup memperhatikan masalah kebersihan dapurnya. Apalagi yang menyangkut peralatan makan. Piring yang di tangannya ia isi dengan nasi hangat. Buktinya nasi itu mengepulkan asap.

“Makanlah,Nak, rendang ini enak apalagi sedang hangat-hangat. Aa..ini gulai pangek yang amak bikin kemarin. Cobalah..!”

“Amak betul-betul mengerti dengan selera aku. Ayo, Mak. makanlah Amak sekalian, kita makan sama-sama”

Segera Maun mencuci tangan dengan bersih dan setelah mengucek nasi yang bercampur lauk, tangannyapun rajin turun naik dari piring ke mulut. Mak Maun memandang anaknya dengan penuh kasih sayang. Ia pun ikut makan bersama Maun.

“Ondeh, Enak sekali makan Amak, Nak. Sudah lama Amak tidak dapat menikmati makanan yang Amak masak”
“Iya mak, sampai berkeringat aku...
“Karena makan bersama kamu mungkin. E..ee, itu lah Amak kan sudah bilang dahulu, bila waang memang sayang sama Amak,, jika…
“Apa mak?” Maun langsung memotong.“Cepat-cepat beranak, itu kan mak ?”
“Iya, kalau begini terus , rumah ini akan lengang selamanya. Kesepian kata anak-anak sekarang. Apa lagi istrimu yang cantik itu tidak mau pula tinggal di sini. Oi, sekarang di mana dia?” Kenapa tidak diajak kemari?, Apa dia jajok naik ke rumahku yang jelek ini?”

Mak Maun mengejar dengan pertanyaan beruntun.
Maun menghela nafas. Perlahan nasi yang ada dimulutnya ia telan. Entah sudah lumat atau belum.

“Tidak Mak. Tadi dia mampir ke rumah bidan Mai, sebentar lagi mungkin tiba di sini”
“Rumah bidan Mai?, Apa yang dia lakukan di sana?. Apa ia sudah terlambat?” Mendadak

Mak Maun melurus punggungya yang sebentar lagi bongkok. Tangannya berhenti menyuap.

“Tidak Mak! Masih belum Mak. Herni, menantu Amak itu 'kan baru tujuhbelas tahun umurnya” Maun menghela nafas panjang. Lantas ia bertanya, suaranya sangat pelan, nyaris seperti orang berbisik. “Mak, padi yang masih muda itu apa bisa dijadikan benih?. Apa bagus tumbuhnya?”

“Bisa ! sahut Mak Maun sigap. Kenapa tidak! Ampo barek saja bisa tumbuh, tapi hasilnya kurang bagus”.

“Ooh...Iya..ya. Kalau begitu, orang pasti seperti itu juga Mak! Si Herni, jika aku paksa, mungkin ia bisa hamil. Tapi, seperti apalah anaknya nanti” Maun membela diri.

“Phuah..! sudah pintar kamu sekarang ya. Sejak kapan istri kamu itu kau samakan dengan tanaman ?. Percuma saja waang sekolah tinggi. Di beri apa kamu oleh wanita mandul itu, haa ?..” Mak Maun langsung tegak, tangannya bertumpu di pinggang. “Biarlah, sekarang saya cari dia ke rumah Bidan Mai. Kenapa ia di sana…? Apa dia bersuntik KB?”

Maun ikut berdiri sembari memegang bahu ibunya, tentunya menenangkan orang tua itu.

“Amak…tenanglah amak dulu. Tak ada yang bisa kita selesaikan dengan muka kusut dan hati panas seperti ini! KB itu tidak selalu dengan suntik, Mak, haa…haa…ha…”
“Apa katamu ! apa kamu tidak malu. Lihatlah si Lepai, baru kemarin menikah, kini sudah besar pula perut istrinya”

Mak Maun masih emosi.
Maun kembali duduk. Nasi yang masih tersisa dipermainkan dengan ujung jarinya.

“Mak…, anak itu amanah dari Allah. Makanya perlu dipersiapkan”
“Entahlah, sekarang ini, orang tidak menikah saja bisa bunting. Malang nasib ku, dapat menantu mandul” sungut Mak Maun.

"He…he… itu kecelakaan namanya Mak…, hamil di luar nikah. Kambing yang tidak nikah juga bisa bunting, Mak"

Mak Maun membelakangi Maun dan merajuk seperti anak remaja.

“Mak, Herni tidak mandul. Ia cuma menunda kehamilannya saja. Usianya masih tujuhbelas tahun. Saya khawatir, kalau ia hamil sekarang, nanti mengganggu kesehatannya. Mak tidak lupa 'kan, dengan etek Siti ? Ia meninggal dalam usia muda. Anak perempuannya meninggal bukan karena palasik, tetapi karena memang tidak sehat sejak dalam kandungan" terang Maun panjang lebar.

"Iya, Maun. Amak ingat. Tetapi meskipun kita ini orang punah, Amak tidak ingin mati dalam kesepian. Biarlah Amak terhibur dengan tangis dan keceriaan anak-anakmu nantinya. Kalau bisa lahirkan anak-anak perempuan. Usahakanlah, tak usah lah bini waang ber-KB"

"Begini saja Mak, habiskan saja makan Mak, dulu. Nanti kita lanjutkan ceritanya "
"Maun, Amak sudah tak tahan lagi sendiri di hari tua. Kau bisa enak-enak tidur bersama istrimu. Sementara Amak di sini?...

"Biarlah, Mak, kita terima kenyataan ini apa adanya. Nanti kalau Allah mempercayai akau, kotrasepsi itu akan jebol sendiri. Herni pasti hamil Mak. Nanti anak-anaknya akan aku bawa ke sini, menemani Amak"

"Maun, Amak sudah putus harapan. Selusinpun anakmu, tetap akan tinggal di rumah istrimu.kalau kau tidak cepat-cepat punya anak biarlah Amak mati saja, biar punah sekalian"

"He..he… jangan begitu, Mak. Saya janji, akan segera punya anak. Tetapi dengan syarat…."

“Baik, dengan syarat istrimu kau larang ber KB. Habiskan nasimu, mari kita ke rumah bidan Mai. Tanyakan ke bidan, kenapa sampai sekarang istrimu belum hamil juga..? Kalau kau tak mau bertanya, biar Amak yang bertanya…!”. Mak Maun bersemangat.

“Ondeh,!”, Maun geleng-geleng kepala. (Padang Agustus 2006)

Catatan kata-kata /istilah Minangkabau :
1. Ondeeh, kata seru, aduh
2. Rapun , habis,punah, hancur lebur.
3. Palanta, tempat duduk santai di halaman rumah, warung. Biasanya terbuat dari bamboo.
4. Babini, kawin
5. Tungga babeleang, anak tunggal, semata wayang
6. Palasik, mitos orang Minangkabau tentang orang yang suka menghisap darah anak kecil di bawah tiga tahun. Dalam kepercayaan orang Minangka, mereka suka menggunakan ilmu hitam
7. Bercirit, berkotoran, tahi mata
8. Sajamba, makan bersama satu talam atau piring besar
9. Kalio, gulai daging sebelum menjadi rendang. Rendang merupakan makanan penting dan persyaratan yang mesti ada fdalam perjamuan adapt di Minangkabau.
10. Padusi, perempuan.
11. Ondee, kata seru, sama dengan aduhai.
12. Amak, ibu, mandeh.
13. Pangek, gulai pepes ikan.
14. Jajok, jijik
15. Waang, kamu (untuk anak laki-laki)
16. Ampo barek, sisa gabah yang selesai dianginkan. Biasanya berbentuk padi hampa, tak berisi. Jika terserak di sawah bisa tumbuh dan berbuah bulir padi yang kurang bagus.
17. Etek, bibi, adik perempuan ibu atau ayah.

Cerpen ini nominee Lomba Penulisan Cerpen CWI dan Menpora 2006. Cerpen ini dapat juga dibaca di "Loktong" Antologi Cerpen CWI 2006
Special Thank to :
Terima Kasih Buat Inyiak Anas Nafis atas informasinya tentang Palasik

TASAPO

Cerpen: Muhammad Nasir


Jam 06.40 Waktu Indonesia Barat. Embun serasa enggan melepas pagi, sementara siang memaksakan diri menguasai hari. Demi sunnatullah. Pagi itu Jorong* Batu Baru didatangi tamu tak diundang. Maling tidak, lanunpun entah. Tamu itu berjumlah tiga orang. Sepertinya mereka orang asing. Tak sekalipun wajah mereka pernah tampak di Jorong tersebut.

Satu orang pria gemuk, tidak terlalu pendek. Berputar-putar seperti bocah kehilangan kelereng di rerumputan. Satu lagi lelaki kurus, agak tinggi. Berkumis jarang dan memegang ladiang.* Satu yang terakhir adalah seorang wanita putih, berkacamata hitam. Bibir tipisnya makin manis ditimpa gincu. Sayang ia sudah tua, sekitar limapuluh lima atau enampuluh tahunan.


"Siapa mereka?" tanya Mak* Katik
"Entahlah" Kutar langsung menyerah.

Kedua laki-laki yang bicara tadi adalah warga Batu Baru. Mak Katik enampuluhan. Kutar tigapuluhlimaan. Mereka berdua baru saja pulang dari surau Angku Mudo Ka'anin. Biasa, habis sholat shubuh. Ketiga tamu asing itu acuh tak acuh. Rumput di Parak Sati tempat mereka berdiri masih basah embun. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Yang kurus sibuk merambah perdu dengan golok di tangan. Pria gemuk sedang asyik menyibak dan menginjak semak. Nenek yang cantik cuma berdiri saja di atas semak.

"Ini mobil mereka?" Mak Katik mendekati sedan biru tua yang parkir anggun di aspal kacang. Kutar juga mendekat.

"Iya mungkin" Kutar menjawab tak yakin. seperti agar-agar dilempar ke batu saja agaknya.

Tuit...tuit...tuit...
"Ya Allah!"
"Putus tali jantung saya!"

Tuit...tuit...tuit...

Sedan itu berteriak marah. Sirene alarm itu memanggil tuannya.

"Apa yang kau lakukan Kutar?" Mak Katik mendelik ke arah utara. Kaget bercampur malu. Betapa tidak, ketiga orang asing itu memandang kompak ke arah mereka.
"Anu...saya hanya menyentuhnya, lalu..."

Pria gemuk itu mendekat. Selepas memandang keduanya ia berkata, "Tidak apa-apa, itu hanya alarm." Setelah itu ia kembali ke semak-semak. Tidak peduli dengan keheranan Mak Katik dan Kutar. Tinggallah mereka berdua bertukar pandang.

"Dasar kutar!" umpat Mak Katik.
"Apa ? Kenapa saya?" protes Kutar.
"Kurang taratik!"*
"Siapa?"
"Mereka!" tunjuk Mak Katik.

Tak lama kemudian, tiga makhluk aneh itu kembali menuju mobil. Mak Katik dan Kutar bersiap-siap. Entah untuk apa. Berkelahi mungkin. Pria kurus berkumis makin mendekat ke arah Mak Katik.

"Ini, Jorong Batu Baru, Pak?" tanyanya.
"Iya, kenapa?" jawab dan tanya Kutar.

Tak ada jawaban. Pria kurus itu menoleh ke arah temannya. Sepasang sejoli tua itu tersenyum aneh seraya mengangguk. Anggukan itu dijawab dengan membukakan pintu mobil untuk kedua pasangan tua tersebut. Sebentar saja mereka bertiga sudah di atas mobil untuk orang kaya tersebut.

Cuit...bruuuumm mesin mobil menyala lembut. Beberapa saat mobil itu sudah hilang di balik alang-alang. Tinggalah bau asam dari knalpot mobil.

"Bertegur sapa tidak, bersalaman juga tidak, apalagi berkenalan. dasar tidak sopan!" Mak Katik kembali menyemburkan umpat.

"Sabar mak, begitulah adat orang kaya. Biar mereka terima pembalasan di neraka sana"

Kutar berusaha menyabarkan lelaki tua sesepuh Jorong Batu Baru.

"Pantang bagiku dianggap angin lalu. Apalagi oleh orang yang dikenal. belum tahu mereka siapa saya?" Mak Katik makin panas.
"Sabar Mak, mereka belum tahu kalau mamak itu parewa,* tapi itu kan dulu, mak. Ha...ha...ha..." Kutar tertawa selepas-lepasnya.
"Tenang mak, naik pula tensi mamak nanti!"
"Kutar ada adat yang pantang dilanggar dariku. Adat bila salam wala kalam!"
"Apa pula itu mak?"
"Ini Bahasa Arab, Kutar! Belum tahu kamu rupanya, hee?"
"Hey, kapan pula Mak Katik belajar Bahasa Arab? Kutar tertawa campur cemeeh.
"Haa...? Bodoh waang Kutar. Makanya kalau Angku Mudo Ka'anin ceramah dengarkan baik-baik. Jangan tidur atau maota* saja kerja kamu. Bila salam wala kalam itu artinya tanpa salam dan tanpa bicara langsung kabur seperti hantu aru-aru," terang Mak Katik panjang lebar.
"Iya mak, aku tertidur, soalnya kaji Angku Mudo terlalu panjang"
"Kalau mereka tasapo bagaimana? Aku juga yang susah. ِApalagi harga rempah, kunik bau dan kemenyan lagi mahal. Dengan apa aku sembur?"
"Hiii...sudahlah Mak, mari kita pulang!"

Peristiwa tadi masih menyangkut di benak Mak Katik. Siapa pula gerangan ketiga orang itu? Maling, rampok atau siapakah? Jangan-jangan mereka orang kaya dari kota yang sedang membuang anak haram jadah. Atau mereka sedang membuang potongan kepala korban yang sudah mereka bunuh. pikiran Mak Katik berbalik ke acara TV yang ia tonton tadi malam.

"Aneh, siapa orang-orang tadi? Berani-beraninya ia menginjak Parak Sati tanpa seizinku. Tidak tahukah mereka jika sewaktu-waktu hantu si Angku Radin bangkit dan mencekik mereka, matilah mereka dengan mata mendelik," desis Mak Katik untuk dirinya sendiri.

Mak Katik menghirup kopi. Tak lengkap pagi ini tanpa lintingan tembakau dan daun enau. Sebentar saja, lintingan rokok daun enau itu hinggap di bibirnya dan crick...mancis antik itu membakar ujung rokok. "pufff...aahh....asap mengepul. Mak Katik mengebul.

Tok...tok...tok...

Suara ketukan pintu mebuyarkan kenikmatan Mak Katik, namun asap rokok masih bersileweran.

"Masuk!" perintah Mak Katik layaknya pejabat eselon satu A.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikum salam"

Seorang pria gemuk masuk dan langsuk duduk. Ia langsung menjulurkan kaki layaknya di rumah sendiri. Sungguh tak sopan.Mak Katik terpana seperti melihat buaya.

"Mak Katik?" tanya pria itu tiba-tiba.
"He...eh!" jawab Mak Katik curiga.

Pria itu menyodorkan sebuah kartu nama. Mak Katik langsung menyambarnya seperti elang menangkap mangsa. Ia mengeja kartu nama itu. mulutnya mendesis, matanya reflek memandang ke arah pria gemuk itu.

"Doktorandus Haji Ajirun Radin Esha" eja Mak Katik.
"Pengacara garis miring Lawyer" lanjutnya.
"Ya, saya mak. Saya Drs. H. Ajirun Radin,SH.," jawab pria itu membenarkan.
"Wa'ang* si Ajin? Anak angku Radin?" jerit Mak Katik tak percaya. begitulah Mak

Katik melafalkan nama pria tersebut. Ajin. Seperti kebiasaan orang kampungnya, tak ada nama seseorang yang dipanggil dengan becus. Syamsiah menjadi Ciah. Nur menjadi Inun. Angku Radin sendiri sebenarnya bernama Ardin, tetapi dilafalkan Radin.

Begitulah, Ajirun-pun dipanggil Ajin.

"Iya, maaf tadi tak menyapa," jawab Drs H.Ajirun Radin,SH biasa saja.
Tiba-tiba Mak Katik menggigil seperti orang diserang demam Chikunguya. Tak tahu apa yang hendak dikata.

"Begini saja, mak. Nantilah kita bicara. Saya hendak ke pusara Angku Radin, ayah saya. Permisi Mak, Assalamu'alaikum." Drs H.Ajirun Radin, SH pergi begitu saja meninggalkan Mak Katik yang terpana.

Mak Katik mendadak mati rasa. Peluh dingin menyembur di sela-sela ketiaknya. Semestinya ia menahan pria itu agak sejenak. Hilanglah sifat parewa-nya. Tanggal kehormatannya. Setelah itu mak katik tak ingat apa-apa.

"Mak Katik...Mak...Mak...Mak Katik!"
Tok...tok...tok...

Mak Katik terjaga. Sedikit pusing di kepala dan nanar di mata.

"Siapa?"
"Saya, Mak. Si Kutar"

Kutar masuk tergesa-gesa. Langsung duduk terjerembab seperti orang tak bertenaga.
"Ada apa Kutar, kenapa seperti dikejar hantu?" tanya Mak Katik.
"Celaka mak. Laki-laki yang kita lihat tadi pagi..."
"Kenapa? Ada apa dengan dia?"
"Dia mati, Mak!"
"Innalillahi wainna ilaihi raji'un! Kutar cepat kau pergi ke surau. Guguah tabuah tiga-tiga!"* perintah Mak Katik.

Kutar segera pergi ke surau.
Mak Katik kembali terpana. Entah kenapa ia merasa tak berdaya. Tak biasanya terjadi pada parewa seperti dia. Ia kembali mati rasa, pingsan untuk kedua kalinya.

Begitu terjaga, Mak Katik bergegas ke arah jendela. Tak kuat melihat cahaya ia kembali duduk. Jam dinding menunjukkan angka 08.11 WIB.

"Oi Ajin, kenapa begini jadinya?" Mak Katik menangis seperti anak remaja. Meremas dada, menepuk paha dan memukul kepala. Ia merebahkan badannya ke lantai. Pikirannya menerawang ke masa silam.

"Aku membunuh ke dua-duanya! Ya Allah, ampuni aku.
Mak Katik tak menyangka kedatangan Drs H.Ajirun Radin,SH yang tiba-tiba. Ia teringat masa mudanya sebagai parewa.

Mak Katik melayang ke pertengahan tahun 1958, Mak Katik hampir lupa tanggal pastinya. Zaman itu digenal zaman bagolak. Orang tua-tua menyebutnya zaman peri-peri. yang benarnya adalah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI, perang saudara antara pendukung PRRI di Sumatera Tengah dengan pemerintah pusat. Orang kampung Mak Katik menyebutnya tentara pusat. Konon tentara pusat itu didrop dari pulau Jawa. Ibu kota negara.

Tentang Angku Radin, ayah Drs H. Ajirun Radin,SH adalah orang yang dipercaya jadi mata-mata. Menurut laporan Angku Radin, tentara pusat akan masuk menyerang kampung Batu Baru hari Rabu. Ia bicara tergesa-gesa dan penuh curiga. Seolah-olah ada banyak rahasia di kepalanya. Sekarang hari Selasa. berarti tentara pusat akan masuk esok hari. Maka pemuka kampung segera memerintahkan penduduk mengungsi. Termasuk keluarga Angku Radin. Tinggallah di kampung beberapa orang muda-muda sekedar berjaga-jaga. Juga Mak Katik sebagai ketua pemuda.

Batu Baru adalah negeri di lingkung bukit. Penat mata memandang, hanya bertumbuk dengan bukit berkeliling. Satu-satunya jalan masuk ke Batu Baru adalah Jorong tetangga, Batu Gaba-Gaba. sesuai namanya, gaba-gaba mirip gapura. Di situlah Angku Radin berjaga-jaga. Hari itu masih hari Selasa. penduduk sudah diungsikan semua.

Tanpa diduga-duga hari itu juga tentara pusat memasuki desa. Tidak hari Rabu sebagaimana laporan intelijen Angku Radin. Sebentar saja api menyala di angkasa Batu Baru. Langit Batu Baru merah saga. asap hitam seolah menjeput senja. Tentara pusat merajalela membakar rumah yang ada. Setiap rumah gadang disatroni, diperiksa lalu dibakar. Maklum rumah gadang merupakan tempat berembuknya para penghulu penggerak massa.

Melihat kondisi itu, Mak Katik muda naik pitam. Waktu itu ia sedang bersembunyi di belakang rumah Angku Radin tempat Drs H.Ajirun Radin,SH tergeletak tanpa nyawa tadi pagi. Di tengah angkara murka, Mak Katik melihat sosok Angku Radin bergegas memasuki rumahnya. Begitu keluar ia menggengam selembar bendera merah putih. Penggalan penopang batang pisang di depan rumah dijadikan tiang. Akhirnya bendera itu berkibar megah melambai-lambai menghimbau senja. Angku Radin berdiri tegap, mengambil sikap hormat ke arah bendera. Persis seperti Jenderal Sudirman, atau Letkol Ahmad Husein.
Melihat hal itu Mak Katik muda makin terbakar dan keluar dari persembunyian. Dengan ladiang terhunus ia melompat ke arah Angku Radin seraya berteriak,

"Matilah kau pengkhianat!" Angku Radin mati seketika.

Seraya menyeret jasad Angku Radin, Mak Katik muda terus mengomel, Jangan coba-coba mengambil muka mengibar bendera. Ternyata kau antek-antek tentara pusat!" tubuh Angku Radin ia lemparkan ke luak* di samping rumah. Luak itu langsung menjadi kuburnya.

Tak puas sampai di sana, bendera yang tengah berkibar ia turunkan. "Tak pantas kau berkibar dalam perang saudara. Tak seorangpun yang sungguh-sungguh menghormatimu," umpat Mak Katik. Bendera ia cabut dari tiangnya, lalu ia lemparkan ke dalam luak.

Mungkin jadi selimut Angku Radin. "Jika sebangsa berbunuh-bunuhan, kita tak butuh lagi bendera," Mak Katik melanjutkan ocehannya sebelum kabur ke semak-semak.
Tiga hari sesudah kejadian itu, Mak Katik kembali ke rumah Angku Radin. Kampung Batu
Baru masih lengang. Ia mencoba menggali kubur untuk Angku Radin. Tetapi ia putus asa kehabisan tenaga. Tiba-tiba ia dapat akal. Tanah penggalian yang belum selesai ia jadikan gundukan. Anggap saja ini kubur Angku Radin.
Satu setengah bulan setelah peristiwa itu Mak Katik baru tahu, ternyata Angku Katik bukan pengkhianat. Bendera yang ia kibarkan ternyata seperintah Sersan Busra Sutan Mangkuto, mantan komandan PRRI di kecamatan. "Bendera itu tanda cinta kita, PRRI dan tentara pusat, sebagai orang Indonesia," kata Sersan Busra.

Mak Katik menyesal sejadi-jadinya. Itulah, kenapa sampai sekarang mendengar nama Angku Radin ia berpeluh. Pias seperti habis ditegur hantu.
"Untunglah ada kuburan buatan," batin Mak Katik ketika keluarga Angku Radin yaitu yang menjadi Drs H.Ajirun Radin,SH sekarang ini bertanya tentang bapaknya. Waktu itu ia masih remaja.

"Angku Radin mati ditembak tentara, ini kuburnya. Aku yang menyelenggarakannya," jelas Mak Kati kepada Ajin atau Drs H.Ajirun Radin,SH, dahulu, empat puluh tahun yang lalu. Semenjak itu keluarga Angku Radin merantau ke Medan. ٍSampai waktu yang lama, tak ada lagi kabar beritanya.

Lokasi rumah dan kuburan palsu Angku Radin itu sekarang dikenal dengan Parak Sati. Luak tempat berkuburnya Angku Radin menjadi Luak Sati. Kata orang lokasi itu angker. Tetapi sejauh ini, hanya Mak Katik yang dapat merasakan keangkerannya.

"Mak Katik, semua orang sudah diberi tahu. Mayat itu sudah diangkat dari luak. Mungkin ia terpeleset dan langsung mati ketakutan," lapor Kutar.

"Ehem..." Mak Katik cuma berdehem.
"Bersama mayat itu ditemukan juga satu tengkorak kepala. Mungkin saja ia mati karena tak kuat melihat tengkorak itu," terang Kutar melanjutkan laporannya.
"Apa? Mak Katik berteriak kaget. Tengkorak kepalanya seolah lepas.
"Tengkorak mak, tengkoraaak!!!" tegas Kutar.

Mata Mak Katik juga ingin lepas.
"Aku tidak membunuhnya, Angku Radin!" Mak Katik berteriak histeris.
"Angku Radin? Siapa dia Mak?" tanya Kutar tak mengerti.
Mak Katik tak menjawab. Sebab ia pingsan untuk ketiga kalinya.

Padang 20 Oktober 2006


Tasapo : Kerasukan roh halus.
Jorong : Unit terkecil dalam pemerintahan nagari di Sumatera Barat
Ladiang : Parang, golok.
Mak : Panggilan yang lazim untuk mamak (paman) di Minangkabau
Taratik : Sopan santun, tata tertib.
Parewa : Preman di Minangkabau. Meski preman, orang ini berfungsi penjaga nagari (paga nagari), dan bertugas membela kehormatan anak dan kemenakan.
Maota : Bercakap-cakap, ngobrol
Wa'ang : Engkau, (laki-laki)
Guguah tabuah tiga-tiga : Memukul bedug dengan tiga ketukan berulang-ulang. Biasanya di daerah tertentu di Minangkabau berarti ada kemalangan, orang meninggal dan sebagainya.
Luak : Sumur gali